Melatih dan Mencerahkan Jiwa

Friday, October 2, 2020

New Normal: Merubah Kecemasan Menjadi Harapan Baru

 


Diskursus new normal menjadi wacana global setelah pandemi covid 19 menerpa di berbagai belahan dunia, yang berdampak pada berbagai dimensi kehidupan; politik, sosial, ekonomi, budaya, dan praktek keagamaan.

Perubahan tatanan dunia secara drastis ini membuat shock [keterkejutan] semua strata masyarakat; rakyat biasa, para tokoh politik, ekonomi, bahkan para pemuka agama. Itulah habitat adaptasi besar-besaran dalam praktek kehidupan di berbagai lini kehidupan.

Kondisi normal sebelum covid 19 dunia melanda, semua lapisan masyarakat melakukan aktifitas kehidupan biasa. Namun, ketika virus ini mewabah menjadi pandemi, semua Negara mengalami dampak buruknya, maka diberlakukan aktivitas yang dilakukan: ada yang mengambil keputusan lockdown total di suatu Negara, ada lockdown kota, ada juga menggunakan istilah PSBB [Pembatasan Sosial Berskala Besar] seperti kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia. Intinya, kebijakan kebijakan yang diambil oleh suatu Negara membawa konsekuensi masing-masing dan tergantung kemampuan finansialnya.

Dalam menghadapi kondisi new normal tentu membawa kondisi dan kerugian baru. Setiap orang yang berbeda cara menyikapinya. Ada rasa cemas, khawatir, takut dan perasaan-perasaan lainya berkecamuk di dalam hati dan pikiran setiap orang. Oleh karena itu, penulis di sini yang mencoba melakukan upaya pemulihan solusi menjadi harapan baru dengan pendekatan tasawuf positif.

Pada abad ke-21 ini dengan segala permasalahannya yang begitu kompleks, tasawuf dituntut untuk lebih humanistik, empirik, dan fungsional. Penghayatan terhadap ajaran Islam bukan hanya reaktif, tetapi   juga aktif   serta memberikan   arah   kepada sikap   manusia di dunia ini. Tasawuf yang aktif, yang humanistik, empiris dan fungsional ini disebut oleh Hamka sebagai tasawuf modern.   Belakangan tasawuf modern ini juga dikenal dengan Tasawuf Positif dan Neosufisme [istilah Fazlur Rahman]

Secara rinci, terdapat delapan doktrin yang mengajar dalam Tasawuf Positif, di antaranya: 1) Allah sebagai Perwujudan Jalal dan Jamal; 2) Insan Kamil sebagai wujud Multidimensi; 3) Dunia dalam Eskatologi Islam; 4) Syariat sebagai unsur Integral Tasawuf; 5) Hikmah sebagai    alternatif    terhadap    sufisme    anti-intelektual;    6)    Alam semesta sebagai tanda-tanda Allah; 7) Akhlak sebagai sasaran tasawuf; dan 8) Amal shaleh sebagai fungsi profetis tasawuf. [A Najib Burhani, Tasawuf Positif].

Dalam tulisan ini penulis kemukan pandangan Ibnu Athaillah yang kami angkat sebagai tasawuf positif; Yaitu: Kalahkan Nafsu dengan Ilmu, Rasakan Nikmat Allah Atas Hamba, dan  Ridha Menerima Pengaturan Allah SWT. Berikut ini penjelasan selengkapnya.

1. Kalahkan Nafsu dengan Ilmu

Ilmu menjadi sesuatu yang buruk dan merusak pemiliknya jauh dari Tuhan, berorientasi pada populeritas, dan selalu disibukkan oleh dunia. Ilmu yang dimiliki manusia semacam itu hanya menjadi ilmu yang   merusak dan berbahaya. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mendekatkan dirimu kepada Allah. Ilmu yang bermanfaat membuatmu mampu mengalahkan nafsu dan menjauhkan dirimu dari segala keinginannya. [Ibnu Athaillah, Tajul Arus].

Begitu pentingnya ilmu pengetahuan, dipertegas di dalam Al-Qur'an surat Al-Isra ayat 36 artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan memantau pertanggungan jawabnya. ”

Terkait dengan new normal atau adaptasi baru masyarakat dalam hidup ditengah covid 19 maka yang harus dikedepankan adalah ilmu, pengetahuan tentang covid 19 dan protokol kesehatan yang harus diimplementasikan  oleh seluruh elemen masyarakat. Dengan pengetahuan pengetahuan yang memadai tentang bahaya dan cara mencegah virus menjadi lebih penting diutamakan yang terus menurus dihantui oleh yang tidak ada solusinya. Ilmu harus mengalahkan nafsu keinginan untuk berkegiatan normal, sebab menyadari bahaya virus dan memahami pengawasan kesehatan dan kebersihan adalah tindakan bodoh.

2) Rasakan Nikmat Allah Atas Hamba

Betapa banyak nikmat Allah yang bertebaran di muka bumi dan sepantasnya kita rasakan dengan penuh pengalaman agar kita lebih menghargai hidup dan lebih dari. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Nahl ayat 18 artinya: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan perintah. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ”

Nikmat Allah atas hamba tidak datang dan tidak terhingga. Kita tidak akan mampu menghitung dan mensyukuri semua nikmat-Nya. Jangankan bersyukur atas semua nikmat dari Allah, kepada ibu kita sendiripun kita tidak dapat menahan diri. Betapa karunia Allah kepada kita sangat banyak melebihi kasih dan limpahan kasih sayang ibu. Ibnu Athaillah [Tajul Arus] berkata, “Jika kau tidak berbaik sangka kepada-Nya lantaran sifat-Nya, berbaik sangkalah kepada-Nya lantaran karunia-Nya kepadamu. Bukanlah Dia selalu sakit hati baik kepadamu dan mencurahkan berbagai macam karunia? “.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Bumi dijadikan untukku sebagai masjid yang suci, maka dimanapun salah seorang dari umatku memasuki waktu shalat, dirikanlah shalat.” [Bukhari Muslim].

Jangan sampai kau kotori bumi yang suci ini dengan dosa dan maksiat. Allah menundukkan alam ini untukmu dan mencurahkan nikmat-Nya yang tampak maupun yang tersembunyi, semestinya kau bersyukur   atas semua nikmat itu, bukan malah mengotori bumi yang suci ni dengan segala dosa dan maksiat.

Dalam kondisi new normal atau adaptasi baru, semua masyarakat dapat merasakan nikmat Tuhan yang selama kondisi normal begitu banyak Tuhan memberikan segalanya kepada kita. Sekarang dalam kondisi adaptasi baru begitu terasa segala sesuatu yang terlihat berbeda menjadi berbeda karena harus mengikuti prosedur kesehatan.

Dengan merasakan nikmat Tuhan dalam kondisi sekarang ini kita bisa berkegiatan lagi maka Tuhanpun akan memberikan tambahan nikmat-Nya yang lebih luas dan lebih baik lagi sehingga perasaan yang menyelimuti kita dapat dihilangkan oleh Dia yang Maha Pemberi Kasih Sayang kepada hamba-Nya yang pandai bersyukur. Allah mengingatkan dalam Al-Qur'an yang artinya "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sebenarnya azab-Ku sangat pedih". [Ibrahim: 7].

3) Ridha Menerima Pengaturan Allah SWT

Ibnu Athaillah [Tajul Arus] berkata, “Hai hamba Allah, jika kau meminta kepada Allah, mintalah agar Dia memperbaiki dirimu secara total serta memperbaiki dirimu untuk bisa menerima pengaturan-Nya.”

Manusia dituntut untuk berusaha, akhirnya diserahkan kepada pengaturan Allah. Karena itu, laksanakanlah ketaatan kepada-Nya seperti yang Dia perintahkan dan berusahalah seperti yang Dia suruh. Adapun hasilnya, serahkanlah kepada pengaturan-Nya. Mintalah agar Allah memperbaiki diri kita sehingga kita dapat membatalkan kesalahan tersebut pada pengaturan-Nya, dan Allah pun akan menyerahkan perbuatan kita, perintah Allah yang artinya:

“… Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. ” [Al-Bayyinah: 8].

Kondisi baru atau adaptasi baru bagi umat beriman harus disikapi sebagai harapan baru yang   berasal dari pengaturan Tuhan kepada manusia. Kita menerima dan ridha dengan kondisi ini semata-mata karena pengaturan Tuhan yang terbaik dalam pandangan Tuhan tampak buruk dalam pandangan manusia.

Kita berbaik sangka kepada Tuhan dengan kondisi saat ini maka kita dapat menjalani kehidupan dengan tenang dan kita berkeyakinan Tuhan akan memberikan energi positif yang besar untuk menghadapi kondisi bahkan.

Dalam literasi tasawuf klasik, korelasi dan harapan dirumuskan dengan narasi khauf dan raja yang  diperkenalkan oleh Imam Hasan Al-Bashri. Khauf adalah rasa takut termasuk di dalamnya kecemasan, khauf harus diimbangi dengan raja, pengharapan, sikap optimis dalam menata hidup yang lebih baik dengan bantuan rahmat Allah SWT.

 

Share:

0 comments:

Post a Comment

Konsultasi dengan Gus Abduh

Blog Archive

Data Kunjungan