Hadis Arbain Ke 22
عن أبي عبد الله جابر بن عبد الله الأنصاري رضي الله عنهما: أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: أرأيت إذا صليت المكتوبات, وصمت رمضان, وأحللت الحلال, وحرمت الحرام, ولم أزد على ذلك شيئا, أأدخل الجنة? قَالَ: نَعَمْ. رواه مسلم
Dari Abu 'Abdullah, Jabir bin' Abdullah Al Anshari radhiyallahu anhuma, sungguh ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa Sallam: “Bagaimana pendapatmu jika aku melakukan shalat fardhu, puasa pada bulan Ramadhan, menghalalkan yang halal (melaksanakannya dengan penuh Keyakinan), mengharamkan yang haram (menjauhinya) dan aku tidak menambahkan itu sedikit pun, apakah aku akan masuk surga? "Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjawab:" Ya " [Muslim no. 15]
Sahabat yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam ini bernama Nu'man bin Qauqal Abu' Amr bin Shalah menyatakan bahwa secara zhahir yang dimaksud dengan perkataan “aku mengharamkan yang haram” termasuk dua hal, yaitu meyakini bahwa sesuatu itu benar-benar haram dan tidak melanggarnya. Hal ini berbeda dengan perkataan “menghalalkan yang halal”, yang mana cukup meyakini bahwa sesuatu benar-benar halal saja.
Pengarang kitab Al Mufhim mengatakan secara umum bahwa Nabi Shallahu 'alaihi wa Sallam tidak mengatakan kepada penanya di dalam Hadits ini sesuatu yang bersifat tathawwu' (sunnah). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum boleh meninggalkan yang sunnah. Akan tetapi, orang yang meninggalkan yang sunnah dan tidak mau melakukan sedikit pun, maka ia tidak memperoleh keuntungan yang besar dan pahala yang banyak. Akan tetapi, barang siapa terus-terus menerus meninggalkan hal-hal yang sunnah, berarti telah berkurang bobot badan dan berkurangnya nilai kesungguhannya dalam beragama. Barang siapa meninggalkan yang sunnah karena sikap yang meremehkan atau membencinya, maka hal itu merupakan perbuatan yang patut dicela.
Para ulama kita berpendapat : “Bila penduduk suatu negeri
bersepakat meninggalkan hal yang sunnah, maka mereka itu boleh diperangi sampai
mereka sadar. Hal ini karena pada masa sahabat dan sesudahnya, mereka sangat
tekun melakukan perbuatan-perbuatan sunnah dan perbuatan-perbuatan yang
dipandang utama untuk menyempurnakan perbuatan-perbuatan wajib. Mereka tidak
membedakan antara yang sunnah dan yang fiqih dalam memperbanyak pahala. Para
imam ahli fiqih perlu menjelaskan perbedaan antara sunnah dan wajib hanya untuk
menjelaskan konsekuensi hukum antara yang sunnah dan yang wajib jika hal itu
ditinggalkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menjelaskan
perbedaan sunnah dan wajib adalah untuk memudahkan dan melapangkan, karena kaum
muslim masih baru dengan Islamnya sehingga dikhawatirkan membuat mereka lari
dari Islam. Ketika telah diketahui kemantapannya di dalam Islam dan kerelaan
hatinya berpegang kepada agama ini, barulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
menggalakkan perbuatan-perbuatan sunnah. Demikian juga dengan urusan yang lain.
Atau dimaksudkan agar orang tidak beranggapan bahwa amalan tambahan dan amalan
utama keduanya merupakan hal yang wajib, sehingga jika meninggalkan
konsekuensinya sama. Sebagaimana yang diriwayatkan pada Hadits lain bahwa ada
seorang sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang
shalat, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberitahukan bahwa shalat
itu lima waktu. Lalu orang itu bertanya : “Apakah ada kewajiban bagiku selain
itu?” Beliau menjawab : “Tidak, kecuali engkau melakukan (shalat yang lain)
dengan kemauan sendiri”.
Orang itu kemudian bertanya tentanng puasa, haji dan
beberapa hukum lain, lalu beliau jawab semuanya. Kemudian, di akhir pembicaraan
orang itu berkata : “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau mengurangi
sedikitpun dari semua itu”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lalu bersabda :
“Dia akan beruntung jika benar”.
“Jika ia berpegang dengan apa yang telah diperintahkan
kepadanya, niscaya ia masuk surga”.
Artinya, bila ia memelihara hal-hal yang diwajibkan,
melaksanakan dan mengerjakan tepat pada waktunya, tanpa mengubahnya, maka dia
mendapatkan keselamatan dan keberuntungan yang besar. Alangkah baiknya bila
kita dapat berbuat seperti itu. Barang siapa dapat mengerjakan yang wajib lalu
diiringi dengan yang sunnah, niscaya dia akan mendapatkan keberuntungan yang
lebih besar.
Perbuatan sunnah yang disyari’atkan untuk menyempurnakan
yang wajib. Sahabat yang bertanya tersebut dan sahabat lain sebelumnya,
dibiarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam keadaan seperti itu untuk
memberikan kemudahan kepada kedua orang itu sampai hatinya mantap dan terbuka
memahaminya dengan baik serta memiliki semangat kuat untuk melaksanakan hal-hal
yang sunnah, sehingga dirinya menjadi ringan melaksanakannya.
0 comments:
Post a Comment