Hadis ke-15 Kitab Arbain Imam Nawawi tentang berkata yang baik atau diam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت , ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم جاره, ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه. [ رواه البخاري ومسلم]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka selanjutnyalah baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari ia akhirat, makalah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka tunggulah ia memuliakan ". [Bukhari no. 6018, Muslim no. 47]
Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat”, maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang
sempurna, yang (keimanannya itu) menyelamatkannya dari azab Allah dan
membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam”
karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut
kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah
mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan
dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana
tersebut pada firman Allah :
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan
dimintai tanggung jawabnya”(QS. Al Isra’ : 36).
dan firman-Nya: “Apapun kata yang terucap pasti
disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”(QS. Qaff : 18).
Bahaya lisan itu sangat banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga
bersabda:
“Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak dapat mengendalikan
lidahnya”.
Beliau juga bersabda :
“Tiap ucapan anak Adam menjadi tanggung jawabnya, kecuali menyebut nama Allah,
menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran”.
Barang siapa memahami hal ini dan beriman kepada-Nya dengan keimanan yang
sungguh-sungguh, maka Allah akan memelihara lidahnya sehingga dia tidak akan
berkata kecuali perkataan yang baik atau diam.
Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber pada empat hadis, antara lain adalah hadis: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Sebagian ulama memaknakan hadis ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang
ia katakan itu baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh karena itu, ia
mengatakan hal yang baik itu. Jika tidak, hendaklah dia menahan diri, baik
perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau mubah”. Dalam hal ini maka perkataan
yang mubah diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan untuk dijauhi
Karena takut terjerumus kepada yang haram atau makruh dan seringkali hal
semacam inilah yang banyak terjadi pada manusia. Allah berfirman :
“Apapun kata yang terucapkan pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”(QS.Qaaf :
18).
Para ulama berbeda pendapat, apakah semua yang diucapkan manusia itu dicatat
oleh malaikat, sekalipun hal itu mubah, ataukah tidak dicatat kecuali perkataan
yang akan memperoleh pahala atau siksa. Ibnu ‘Abbas dan lain-lain mengikuti
pendapat yang kedua. Menurut pendapat ini maka ayat di atas berlaku khusus,
yaitu pada setiap perkataan yang diucapkan seseorang yang berakibat orang
tersebut mendapat pembalasan.
Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya…….., maka hendaklah ia memuliakan
tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik
kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik terhadap mereka. Allah
telah menetapkan di dalam Al-Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Jibril selalu menasehati diriku tentang urusan tetangga, sampai-sampai aku
beranggapan bahwa tetangga itu dapat mewarisi harta tetangganya”.
Bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang salih.
Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari mereka
berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.
Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadis ini mengandung hukum, hendaklah
kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang tidak boleh
dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang lain. Juga anjuran
untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun sedikit.
Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan wajah
senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah ia segera
memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”. Pengarang
juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.
Selanjutnya ia berkata: Adapun sabda Nabi Shallahu 'alaihi wa Sallam “maka haruslah ia berkata baik atau diam”, menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu lebih utama dari yang diberikan, dan diam itu lebih utama yang buruk. Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam sabdanya menggunakan kata-kata “digunakanlah untuk berkata benar” didahulukan dari perkataan “diam”. Berkata baik dalam Hadis ini menyampaikan menyampaikan ajaran Allah dan rasul-Nya dan memberikan menerapkan kepada kaum muslim, amar ma'ruf dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, menyatakan yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan mempersembahkannya.
0 comments:
Post a Comment