Dalam kitab “Makrifatu Muhammad”
saya mendapati sebuah kisah menarik tentang kisah nyata yang dikisahkan oleh
para ulama.
Terkisahlah
pada zaman dahulu ada seorang ulama yang memiliki kharisma, berilmu luas, serta
memiliki murid yang banyak.
Namun sayangnya dibalik jubah keulamaannya, dia tidak memiliki kebersihan hati. Sehingga tidak mampu membedakan kemuliaan ahli bait Rasulillah.
Pada
saat yang sama di kawasan tempat tinggal ulama itu terdapat seorang habib
zuriat Rasulullah yang senang berbuat maksiat, mabuk-mabukkan, serta berjudi.
Si
ulama yang sedemikian tidak menyenangi keturunan para habaib itu semakin
menjadi-jadi kebenciannya.
Dalam
setiap kesempatan ceramah maupun bertemu dengan siapa pun si ulama besar itu
selalu mencela dan memaki si habib yang senang mengerjakan maksiat itu. Si
ulama mengajak dan menyerukan para murid-muridnya untuk membenci dan menjauhi
si habib tersebut.
Sampai
pada suatu malam, si habib bermimpi bertemu dengan baginda Rasulullah
al-Musthafa. Dalam mimpinya memang diyakini beliau adalah Rasulullah. Dikuatkan
dengan suara, “Inilah Rasulullah yang mulia!”
Namun
sayang seribu kali sayang, mimpi mulia yang seharusnya menjadi anugerah
terbesar dan idaman semua orang yang beriman, justru mimpi buruk
bagi sang ulama yang berbuah kekecewaan dan kesedihan. Apa pasalnya?
Dalam
mimpi itu baginda Rasulullah shallahu alaihi wassalam tidak berkenan
menampakkan wajah mulianya. Baginda berpaling punggung.
Si
ulama pun bermohon dalam mimpinya,
“Wahai
Rasulillah yang mulia, mohon kiranya saya diperkenankan untuk menatap wajah
mulia engkau Rasulullah! Berilah syafaat padaku” pintanya.
Lantas
apa jawaban Rasulullah dalam mimpi tersebut?
“Wahai
fulan! Bagaimana mungkin aku memperlihatkan wajahku padamu, sedangkan engkau
tak mengenali anak cucuku? Bagaimana mungkin aku menatapmu, sedangkan engkau
memalingkan wajahmu dari menatap anak cucuku? Bagaimana mungkin aku memberimu
syafaat, sedangkan engkau memusuhi anak cucuku dan engkau mengajak orang lain
untuk membenci dan menjauhi anak cucuku?!”
Demi
mendengar jawaban itu, sang ulama menangis sejadi-jadinya, hingga ia terbangun
dari tidurnya.
Keesokan
harinya, si ulama bergegas mencari seorang habib yang sering dicapnya sebagai
ahli maksiat.
Namun,
si habib tidak didadapi keberadaannya di tempat ia biasa berada. Si habib
seperti menghilang di telan bumi.
Berselang
beberapa minggu kemudian, tepatnya 40 hari, semenjak peristiwa mimpi itu, sang
ulama mendengar kabar bahwa si habib itu meninggal dunia di sebuah masjid dalam
keadaan bersujud. Si habib telah bertaubat atas bimbingan kakeknya, Rasulullah
al-Mustahafa shallahu alaihi wasallam.
Masya
Allah tabarakallah.
Tinggal
si ulama itu dengan penuh penyesalan.
Akhir
dari kisah itu, Allah mencabut keberkahan ilmu dari ulama itu. Murid-muidnya
satu persatu berhenti dari majlis pengajiannya. Si ulama terfitnah dan
dipenjarakan. Dan akhir dari perjalanan hidupanya si ulama meninggal dalam
keadaan su'ul khatimah.
✍ IBROH
Kisah
ini bukan sebuah legitimasi dan pembenaran bahwa para ahli bait Rasulillah
boleh melakukan kemaksiatan serta melanggar hukum ketentuan Allah.
Namun,
kisah ini mengajarkan kepada kita tentang sebuah pengajaran adab dan akhlak
menghormati dan memuliakan ahli bait dzuriat Rasulullah. Sebab keberkahan ilmu,
keberkahan amal shaleh, keberkahan syafaat tidak akan diperoleh, melainkan dari
kecintaan dan keridhaan Rasulullah.
Salah
satu jalan mencapai keridhaan tersebut adalah mencintai dan menghormati ahli
bait zuriat Rasulillah
Kata
guru kami Syaikhuna Al-Alimul al-Allamah Syekh Zaini Abdul Ghani Guru Sekumpul
beliau mengatakan :
“Seseorang
masih terhalang memperoleh kecintaan Rasulullah, selama masih ada permasalahan
dengan ahli bait Rasulullah.”
Para
habaib, para syarif, para syarifah bukanlah manusia suci yang terbebas dari
dosa dan kemaksiatan. Mereka sama seperti kita. Namun membedakan antara mereka
dengan kita, di dalam aliran darah dan daging mereka mengalir darah daging
manusia teragung dan termulia, Rasulullah al-Musthafa.
Biarlah
soal dosa dan kesalahan yang mereka lakukan menjadi urusan mereka dengan Allah
dan kakeknya. Tugas kita mendoakan agar mereka mendapatkan petunjuk hidayah.
Oleh
karena itulah, adab dan sikap terbaik kita ketika menemui mereka yang melakukan
maksiat, janganlah kita ikut-ikutan memusuhi dan membenci mereka. Buru-buru
memvonis mereka, menjauhi mereka.
Jangan
sampai mencela dan memaki mereka. Apalagi memfitnah dan mempolitisasi mereka
atas dasar dugaan yang belum pasti hingga menginginkan mereka celaka atau masuk
penjara.
Hukum
tetaplah hukum yang tetap dijunjung tinggi, baik hukum syariat maupun hukum
konstitusi.
Biarkan
para pakar ahli hukum dan pihak pengadilan yang berwenang memutuskan bersalah
atau tidaknya.
Sikap
terbaik kita adalah mendoakan jika mereka memang benar bersalah agar Allah
segera mengampuni dan memberikan hidayah.
Dan
jika mereka berada di jalan yang benar, semoga Allah melindungi mereka atas
kejahatan dan makar dari orang-orang yang membenci mereka.
Hal
ini kita lakukan semata-mata atas dasar kecintaan kita kepada Rasulullah
shallahu alaihi wassalam.
Sekali
lagi, sikap ini bukan pengkultusan terhadap ahli bait keturunannya, namun
sebuah sikap adab cara menghormati dan memuliakan Rasulullah shallahu
alaihiwasallam.
Bukankah
Rasulullah tidak pernah meminta apapun dari perjuangan beliau? melainkan agar
kita umatnya menyanyangi dan memuliakan anak cucu keturunannya yang pada
hakikatnya mencintai kakeknya baginda Rasulullah shallahu alaihiwasallam.
Jelas di dalam al-Qur’an secara eksplisit Allah menyebutkan keutamaan para ahli
bait Rasulillah serta menyucikan mereka.
Dan
bagi dzuriat Rasulillah, alangkah bagusnya menjadi figur yang mengajarkan
kecintaan kepada Allah dan Rasulullah. Jika mereka mengamalkan kebaikan, maka
mereka akan memperoleh pahala dan keutamaan berganda lipat.
Sebaliknya
jika dengan posisi mereka sebagai ahli bait Rasulullah mengerjakan kemaksiatan
tentu dosanya juga berkali lipat. Allah Maha Adil.
Semoga
kita termasuk orang-orang yang mendapatkan kecintaan Baginda Rasulullah serta
menjadi bagian orang yang mencintai ahli keluarga dzuriat beliau bukankah di
setiap shalat ketika bershalawat kepada Rasulullah dan kepada ahli dzuriat aali
Muhammad shallahu alaihi wassalam.
Semoga
bermanfaat.
وعلى اله وصحبه وسلم تسليما كثيرا
يا كريم يا كريم يا كريم يا تريم واهلها
0 comments:
Post a Comment