Melatih dan Mencerahkan Jiwa

Dr. KH. Abduh Al-Manar, M.Ag.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah. Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

PAUD Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MI Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MTS Al-Iryadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Saturday, March 28, 2020

Amalan Bulan Sya'ban

Ada beberapa hadis shahih yang menunjukkan keistimewaan di bulan Sya’ban, di antara amalan tersebut adalah memperbanyak puasa sunnah selama bulan Sya’ban.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan,
يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يَصُومُ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa beberapa hari sampai kami katakan, ‘Beliau tidak pernah tidak puasa, dan terkadang beliau tidak puasa terus, hingga kami katakan: Beliau tidak melakukan puasa. Dan saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan, saya juga tidak melihat beliau berpuasa yang lebih sering ketika di bulan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Aisyah mengatakan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Belum pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Aisyah mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلَالِ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ، ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ، عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا، ثُمَّ صَامَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perhatian terhadap hilal bulan Sya’ban, tidak sebagaimana perhatian beliau terhadap bulan-bulan yang lain. Kemudian beliau berpuasa ketika melihat hilal Ramadhan. Jika hilal tidak kelihatan, beliau genapkan Sya’ban sampai 30 hari.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa’i dan sanad-nya disahihkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengatakan,
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلَّا شَعْبَانَ، وَيَصِلُ بِهِ رَمَضَانَ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah puasa satu bulan penuh selain Sya’ban, kemudian beliau sambung dengan Ramadhan.” (HR. An Nasa’i)
Hadis-hadis di atas merupakan dalil keutamaan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, melebihi puasa di bulan lainnya.
Apa Hikmahnya?
Ulama berselisih pendapat tentang hikmah dianjurkannya memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, mengingat adanya banyak riwayat tentang puasa ini.
Pendapat yang paling kuat adalah keterangan yang sesuai dengan hadis dari Usamah bin Zaid, beliau bertanya: “Wahai Rasulullah, saya belum pernah melihat Anda berpuasa dalam satu bulan sebagaimana Anda berpuasa di bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.” (HR. An Nasa’i, Ahmad,)
Memperbanyak Ibadah di Malam Nishfu Sya’ban
Ulama berselisih pendapat tentang status keutamaan malam nishfu Sya’ban. Setidaknya ada dua pendapat yang saling bertolak belakang dalam masalah ini. Berikut keterangannya:
Pendapat pertama, tidak ada keutamaan khusus untuk malam nishfu Sya’ban. Statusnya sama dengan malam-malam biasa lainnya. Mereka menyatakan bahwa semua dalil yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadis lemah. Al Hafidz Abu Syamah mengatakan: Al Hafidz Abul Khithab bin Dihyah –dalam kitabnya tentang bulan Sya’ban– mengatakan, “Para ulama ahli hadis dan kritik perawi mengatakan, ‘Tidak terdapat satupun hadis shahih yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban’.” (Al Ba’its ‘ala Inkaril Bida’, Hal. 33).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengingkari adanya keutamaan bulan Sya’ban dan nishfu Sya’ban. Beliau mengatakan, “Terdapat beberapa hadis dhaif tentang keutamaan malam nishfu Sya’ban, yang tidak boleh dijadikan landasan. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat di malam nishfu Sya’ban, semuanya statusnya palsu, sebagaimana keterangan para ulama (pakar hadis).” (At Tahdzir min Al Bida’, Hal. 11)
Sementara riwayat yang menganjurkan ibadah khusus pada hari tertentu di bulan Sya’ban untuk berpuasa atau qiyamul lail, seperti pada malam Nisfu Sya’ban, hadisnya lemah bahkan palsu. Di antaranya adalah hadis yang menyatakan,
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللهَ يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Jika datang malam pertengahan bulan Sya’ban, maka lakukanlah qiyamul lail, dan berpuasalah di siang harinya, karena Allah turun ke langit dunia saat itu pada waktu matahari tenggelam, lalu Allah berkata, ‘Adakah orang yang minta ampun kepada-Ku, maka Aku akan ampuni dia. Adakah orang yang meminta rezeki kepada-Ku, maka Aku akan memberi rezeki kepadanya. Adakah orang yang diuji, maka Aku akan selamatkan dia. Adakah demikian dan demikian?’ (Allah mengatakan hal ini) sampai terbit fajar.” (HR. Ibnu Majah: 1/421; HR. al-Baihaqi dalam Su’abul Iman: 3/378)

Share:

Wednesday, March 25, 2020

Syiar Isra Mi'raj Di Saat Wabah



سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ 

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Isra : 1).

Umat Islam di Indonesia pada bulan Rajab tahun ini sungguh mendapat ujian yang sangat berat dari Allah SWT yaitu merebaknya wabah virus. Wabah virus baru yang dinamakan Covid 19, karena peristiwa terjadinya di tahun 2019 di Wuhan China. Berawal terbatas hanya di satu kota yang akhirnya menjadi epidemic lalu manjadi wabah global bersifat pandemic. Maka muncullah Fatwa MUI Pusat agar daerah yang terpapar virus tidak perlu melaksakan shalat Jum’at di Mesjid tetapi cukup dilakukan di rumah dengan shalat melaksanakan shalat Zuhur. Walaupun sempat pro kontra terhadap fatwa tersebut akhirnya masyarakat menyadari dan melaksanakannya dengan bijak. Bagi yang ingin tetap melaksanakan shalat Jum’at di Mesjid dipersilahkan dengan catatan harus melakukan sterilisasi terhadap tempat ibadah dan jamaah yang datang.


Sekalipun wabah virus ini menyita perhatian masyarakat Indonesia. Akan tetapi umat Islam di Indonesia masih saja ada yang melaksanakan syiar peringatan Isra Mi’raj. Peringatan hari besar keagamaan ini sudah menjadi tradisi yang sulit dihilangkan. Kita ambil hikmahnya saja semoga mereka yang tetap melaksanakan syiar Islam tersebut dilindungi Allah SWT dari segala musibah khususnya  terhindar dari Virus Covid 19.  

Hikmah terpenting dari syiar Islam melalui peringatan Isra Mi’raj adalah sebagai berikut:
1. Isra Mi’raj merupakan ujian iman bagi umat Islam pada masa Nabi Muhammad SAW. Hal ini juga memperteguh keimanan umat Islam di tengah wabah ini agar semakin yakin dan percaya bahwa pada hakikatnya penyakit tersebut adalah makhluk Allah dan kita hanya bermohon kepada Allah saja penyembuhan dan terangkatnya virus tersebut di bumi kaum muslimin.
2. Kewajiban shalat yang diterima Nabi Muhammad SAW untuk dirinya dan umatnya, menjadikan shalat itu wajib dilaksanakan umat Islam dimanapun berada dan apapun musibah yang terjadi tetap shalat ditegakkan.
3. Kebersamaan dalam menegakkan syiar Islam menjadi momentum kebersamaan dalam menghadapi dan melawan wabah virus Covid 19 dengan semangat tolong menolong satu sama lain agar wabah ini segera berakhir dengan cepat.

Akhirnya kita berdoa kepada Allah SWT semoga kita semua dihindari dari segala musibah wabah virus termasuk Covid 19. Aamiin ya Allah.

Share:

Tuesday, March 24, 2020

Info Penting Tentang Corona

INFORMASI PENTING UNICEF (PBB)

1. Corona merupakan virus berukuran besar. Diameter virus ini 400-500 micro, sehingga masker jenis apa pun dapat mencegah masuknya ke tubuh kita dan tidak perlu menggunakan masker yang mahal.

2. Virus corona tidak melayang di udara, tapi menempel pada benda, sehingga penularannya tidak melalui udara.

3. Apabila menempel di permukaan logam, virus corona dapat hidup selama 12 jam. Mencuci tangan dengan sabun dan air sudah cukup. 

4. Apabila menempel di kain, virus corona dapat hidup selama 9 jam, sehingg mencuci pakaian atau menjemurnya di bawah sinar matahari selama 2 jam sudah cukup untuk membunuhnya.

5. Apabila menempel di tangan, virus corona dapat hidup selama 10 menit, sehingga menyediakan _sterilizer_ berbahan dasar alkohol cukup untuk berjaga-jaga.

6.Apabila berada di udara bersuhu 26-27 °C, virus corona akan mati sehinga tidak hidup di daerah panas . Di samping itu, minum air panas dan berjemur di bawah sinar matahari sudah cukup sebagai pencegahan.
Menghindari makanan dan minuman dingin termasuk ice cream sangat penting.

7. Berkumur sampai dalam dengan air hangat dan garam akan membunuh virus corona di sekitar anak tekak (telak - Jw.) dan mencegahnya masuk kedalam paru-paru.

Dengan mengikuti petunjuk ini cukup untuk mencegah virus corona.
UNICEF

Tolong sebarkan informasi ini untuk mencegah timbulnya ketakutan yang tidak perlu.semoga bermanfaat 🙏🏼🙏🏼

Share:

Sunday, March 22, 2020

Doa Saat Wabah Melanda

Doa saat dilanda wabah penyakit :

 ‏اللهُم إن هذا المرض هو جند من جنودك تصيبُ به من تشاء وتصرفهُ عن من تشاء ، اللهم أصرفه عن بيوتنا وعن بلاد المسلمين وقنا شر الداء ونجنا من الطعن والطاعون والبلاء بلطفك يالطيف إنك على كل شيءٍ قدير.
Allahumma Inna hadzal maradh huwa jundun min junuudika tushiibu bihi man tasyaa' wa tusyrifuhu man tasyaa'. Allahumma ishrifhu 'an buyuutinaa wa 'an bilaadil muslimin, wa qinaa syarrad daa' wa najjinaa minath tha'ni wat tha'uun wal balaa biluthfika ya lathiif innaka 'ala kulli syai'in qadiir

Ya Allah sungguh penyakit ini adalah bagian dari tentaraMu. Engkau bisa menimpakannya kepada siapapun yg Engkau kehendaki, dan Engkau bisa memalingkannya dari siapapun yang Engkau kehendaki.
Karena itu ya Allah palingkanlah penyakit dan wabah ini dari diri kami, rumah kami dan negeri kaum muslimin. Lindungilah kami dari keburukan penyakit ini dan selamatkan kami dari thaun dan balas dgn kelembutanMu wahai dzat yg Maha Lembut, sesungguhnya Engkau maha kuasa atas segala sesuatu.

اللهم إن كان هذا الوباء والبلاء ذنبا ارتكبناه أو ظلما ظلمناه أو فرضا تركناه أو نفلا ضيعناه أو عصيانا فعلناه أو نهيا اتيناه أو بصرا اطلقناه فإنا تائبون إليك منه، ونادمون إليك عليه فتب علينا يا رباه.
Allahumma in kaana hadzal wabaa wal balaa dzanbun irtakabnaahu aw zhulmun zholamnaahu, aw fardhun taraknaahu aw naflun dhoyya'naahu aw 'ishyaanun fa'alnaahu aw nahyun atainaahu aw basharun athlaqnaahu fainnaa taaibuuna ilaika minhu wa naadimuuna ilaika alaihi Fatub alainaa ya Rabbaah

Ya Allah sekiranya wabah dan bala ini disebabkan dosa yg kami lakukan, kedzaliman yg kami perbuat, kewajiban yg kami tinggalkan, sunnah yg kami abaikan, maksiat dan larangan yg kami langgar, dan pandangan yg tidak terjaga, kami bertaubat ya Allah, kami menyesal ya Allah, terimalah taubat kami

اللهم ابعد الوباء عن أهل بيتي و عن أحبتي و عن أصحابي و جيراني و كل من رأيت منهم خيرا و كل من رأيت منهم سوءا و احفظ كل خلقك بعينك التي لا تنام
Allahumma ab'id al wabaa 'an ahli baiti wa 'an ahibbati wa 'an ashhaabi wa jiirani wa Kullu man raaita minhum khairan wa Kullu man raaita minhum suu'an wa ihfazh kulla kholqika bi 'Ainika allati laa tanaam

Ya Allah jauhkanlah wabah ini dari keluarga kami, orang-orang yg kami sayangi, teman-teman kami, tetangga-tetangga kami, dan untuk semua orang yg baik dan yg buruk dalam pandanganMu.. lindungilah semua makhlukMu dgn penglihatanMu yg tidak pernah tidur.

اللهم نستودعك انفسنا واهلينا وبلادنا فاحفظنا بحفظك ياحفيظ وانت خير الحافظين.
Allahumma nastaudi'uka anfusanaa wa ahliina wa bilaadinaa, fahfazhnaa bi hifzhika ya hafiizh wa Anta Khairul haafizhiin

Ya Allah kami menitipkan kepadaMu diri kami, keluarga kami, negeri kami, lindungilah kami semua dgn perlindunganMu wahai Dzat yg Maha Pelindung dan Engkaulah sebaik-baiknya pelindung.

Aamiin.

Share:

Thursday, March 19, 2020

Jangan Marah

Hadits ke 16

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي، قَالَ : لاَ تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَاراً، قَالَ: لاَ تَغْضَبْ
[رواه البخاري]

Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu sesungguhnya seseorang bertanya kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam : (Ya Rasulullah) nasihatilah saya. Beliau bersabda : Jangan kamu marah. Beliau menanyakan hal itu berkali-kali. Maka beliau bersabda : Jangan engkau marah.
(Riwayat Bukhori )

Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
  1. Anjuran bagi setiap muslim untuk memberikan nasihat dan mengenal perbuatan-perbuatan kebajikan, menambah wawasan ilmu yang bermanfaat serta memberikan nasihat yang baik.
  2. Larangan marah.
  3. Dianjurkan untuk mengulangi pembicaraan hingga pendengar menyadari pentingnya dan kedudukannya.

  4. Dunia saat ini dihebohkan dengan kasus Penyakit bahaya seperti virus. Semua orang harus mengisolasi diri jika tidak maka negara memaksa dengan melakukan lockdown menghentikan seluruh kegiatan. 

  5. Oleh karena itu mari kita menahan marah agar kita selamat dari bahaya ini. Biasakan hidup sehat bersih diri dan lingkungan. Perhatikan anjuran ulama dan pemerintah atas peristiwa wabah korona. 
  6. Kita berharap dan berdoa kepada Allah agar wabah korona segera berakhir.
Share:

Tuesday, March 17, 2020

Takutlah Kepada Allah

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (Al-Maidah: 44).
Salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim adalah takut kepada Allah. Sifat ini akan menjaga pemiliknya untuk tidak berbuat maksiat kepada Allah.

Menelusuri kehidupan untuk mencari kebahagiaan yang hakiki sungguh sangat sulit. Kita harus melalui pertarungan-pertarungan yang sengit, jalan-jalan yang terjal dan berjurang penuh dengan duri. Jika salah melangkah hanya akan didapati dua kemungkinan dan tidak ada kemungkinan yang ketiga. Pertama, akan menjadi orang yang terselamatkan sehingga selamat (dunia akhirat) dan kedua, menjadi orang yang binasa dan celaka.
Masih beruntung jika terselamatkan sehingga bisa kembali berjuang dengan menerjang badai yang ganas dan dahsyat tersebut. Namun sungguh malang jika setelah terselamatkan tidak bisa berjuang, dan tidak bisa bangkit menyelamatkan diri. Lawan bertarung adalah sangat kuat. Itulah Iblis dan tentara-tentaranya dari kalangan jin dan manusia serta lawan yang ada pada diri kita yang disebut nafsu.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan kepada yang jelek.” (Yusuf: 53)
Adapun jalan-jalan yang terjal dan berjurang serta penuh dengan duri itu adalah segala yang diharamkan Allah yang menghiasi kehidupan ini.

Di sinilah letak pentingnya rasa takut yang harus menghiasi perjuangan kita. Yang akan membentengi diri kita dari terjatuh ke lubang yang penuh dengan duri dan mengokohkan kita agar tidak terseret hawa nafsu yang dikendarai oleh Iblis dan tentara-tentaranya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Amalan hati seperti tawakkal, takut, berharap, dan sejenisnya serta sabar adalah wajib menurut kesepakatan para ulama.” (Al-Ikhtiyarat, hal. 85)

Kedudukan Takut dalam Agama.
Takut merupakan bentuk ibadah hati yang memiliki kedudukan agung dan mulia di dalam agama bahkan mencakup seluruh jenis ibadah. Takut adalah salah satu dari rukun ibadah dan merupakan syarat iman. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Ighatsatul Lahfan (1/30) berkata: “Termasuk dari tipu daya musuh Allah adalah menakut-nakuti orang beriman dari bala tentara dan wali-wali mereka (wali setan) agar orang-orang beriman tidak memerangi mereka, menyeru mereka (orang-orang yang beriman) kepada kemungkaran dan mencegah mereka dari kebajikan. Allah subhanahu wa ta’ala memberitahukan kepada kita bahwa yang demikian ini adalah tipu daya setan dan merupakan ketakutan yang mereka tanamkan. Allah subhanahu wa ta’ala telah melarang kita untuk takut kepada setan tersebut, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Sesungguhnya mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang menakut-nakuti kamu, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar beriman.” (Ali Imran: 175)

Tatkala iman seorang hamba kuat, maka akan hilang rasa takut terhadap wali-wali setan. Dan tatkala melemah imannya akan menjadi kuat ketakutan tersebut. Maka ayat ini (Ali Imran: 175) menunjukkan bahwa keikhlasan untuk memiliki rasa takut kepada Allah termasuk syarat iman.”

Takut adalah Ibadah.
Disamping memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama, ‘takut’ juga merupakan salah satu dari perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana di dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang menakut-nakuti (kamu), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 175)

“Maka janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (Al-Maidah: 44).

Dari kedua ayat di atas dan ayat-ayat yang lain maka sungguh sangat jelas bahwa takut itu termasuk dari ibadah, bahkan ibadah yang paling mulia. Dan Allah tidak akan memerintahkan melainkan untuk suatu kemuliaan.

Macam-macam ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah seperti Islam, Iman, dan Ihsan, dan juga termasuk berdoa, semuanya milik Allah semata berdasarkan firman-Nya:

“Dan bahwasanya masjid-masjid ini adalah milik Allah maka janganlah kamu berdoa kepada selain-Nya disamping berdoa kepada Allah.” (Al-Jin: 18)

Barangsiapa berpaling sedikit saja kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala maka dia seorang musyrik dan kafir.

Dalam kitab Fathul Majid mengatakan: “Takut berkedudukan tinggi dan mulia di dalam agama dan termasuk jenis ibadah yang banyak cakupannya yang wajib hanya diberikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”

Dalil Takut adalah Ibadah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Mereka (malaikat) takut kepada Rabb mereka dan melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (An-Nahl: 50)

“Orang-orang yang menyampaikan risalah Allah mereka takut kepada-Nya dan mereka tidak merasa takut kepada seorang pun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.” (Al-Ahzab: 39).

“Maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kalian kepada-Ku.” (Al-Baqarah: 150).

Masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang takut. Adapun dari Sunnah Rasulullah, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tujuh golongan orang yang akan mendapatkan perlindungan pada hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan dari Allah, di antaranya seorang hamba yang “diajak” oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, dan dia mengatakan: ‘Aku takut kepada Allah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no.629 dan Muslim no. 1031 dari hadits Abu Hurairah) Syaddad bin Aus radiallahuanhu berkata: telah berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Demi kemuliaan dan keagunganku, aku tidak akan menghimpun pada diri hamba-hamba-Ku dua rasa aman dan dua rasa takut. Jika dia merasa aman dari-Ku di dunia, maka Aku akan beri rasa takut pada hari Aku menghimpun hamba-hamba-Ku. Dan jika dia takut kepada-Ku di dunia maka Aku akan berikan rasa aman pada hari Aku menghimpun hamba-hamba-Ku.” (HR. Abu Nu’aim)

Macam-macam Takut:
Para ulama telah membagi jenis takut menjadi beberapa bagian, di antara mereka ada yang membagi lima, empat, dan ada yang membagi menjadi tiga, yaitu:

Pertama, takut ibadah.
Yaitu takut yang diiringi dengan penghinaan diri, pengagungan, dan ketundukan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Kedua, takut syirik.
Takut syirik yaitu memberikan takut ibadah kepada selain Allah. Barang siapa yang memberikannya kepada selain Allah maka dia telah melakukan kesyirikan yang besar, seperti takut kepada orang mati, takut kepada dukun-dukun, takut kepada wali-wali yang dianggap bisa memberikan manfaat dan mudharat, dsb.

Perbuatan ini akan mengekalkan pelakunya di dalam neraka, mengeluarkannya dari Islam, dan menghalalkan darah dan hartanya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (Al-Maidah: 44)

Ketiga, takut tabiat.
Yaitu takut kepada hal-hal yang bisa membahayakan jiwa seseorang, seperti takut kepada musuh, binatang buas, api, dan sebagainya. Takut jenis ini dibolehkan selama tidak melampaui batas. Allah  subhanahu wa ta’ala berfirman menceritakan kisah Nabi Musa alaihisallam:

“Dia keluar dari negerinya dalam keadaan takut yang sangat.” (Al-Qashash: 21)
Pertanyaannya, bagaimana hukumnya takut kepada selain Allah? Jawabannya harus dirinci. Bila takut kepada selain Allah menyebabkan sampai menghinakan diri di hadapannya maka termasuk syirik. Jika ketakutannya itu menyebabkan ia melakukan yang diharamkan dan meninggalkan kewajiban maka takut ini termasuk maksiat dan berdosa. Jika takutnya adalah takut tabiat seperti takut kepada air deras yang bisa menghanyutkan dirinya, hartanya, atau anaknya, maka takut yang demikian itu adalah boleh. Wallahu a’lam
Share:

Monday, March 16, 2020

Untuk Apa Libur Sekolah

السلام عليكم ورحمةالله وبركا ته
Anak2 senang libur sekolah 14 hari, sayangnya banyak orang tidak memahami.
Mengapa 14 hari dan untuk apa, maklum himbauan itu tanpa disertai penjelasan yg memadai.
14 hari itu sangat penting dan harus disertai tindakan kepatuhan.
14 hari itu mampu menghentikan laju penularan Covid-19.
14 hari itu mampu menyelamatkan ribuan orang.
Mengapa?
Penjelasannya demikian,
-Ketika seseorang kontak dgn apapun yg bisa menginfeksinya dgn Covid-19, maka harus ditunggu 14 hari minimal, jika tidak terjadi apa2, maka orang itu aman.
-Libur 14 hari untuk memotong rantai penularan, ini baru akan berhasil jika semua orang tetap tinggal di rumah masing2 selama 14 hari itu, kenapa?
Contoh, seorang anak mulai libur tgl 16 Maret selama 14 hari, dia akan masuk sekolah lagi pd hari ke-15. Ternyata anak ini dan keluarganya menggunakan waktu libur itu untuk jalan2, mengunjungi kumpulan orang, atau ketempat saudara, ke mall dll, seandainya dia jalan2 di hari ke 10 dan terlular Covid-19 di tempat yg ia kunjungi, mungkin pada hari ke 14/15 belum ada tanda2 dia sakit, tetapi dia sudah membawa Covid-19 di tubuhnya dan berpotensi menularkan, andai dia masuk sekolah pada hari ke 15 dst. Maka 14 hari libur sekolahnya itu, tidak ada gunanya, penularan terjadi juga di sekolah, efek domino akan berlangsung, rantai penularan tidak terputus.
Untuk itu, semua orang harus bekerjasama, semua warga Indonesia harus membantu, warga DKI harus kompak, yaitu patuh untuk tidak kemana-mana dalam 14 hari itu kecuali untuk hal yang sangat perlu.
Waktu 14 hari itu, berguna untuk saling pantau, jika ada orang yg menunjukkan gejala2 menderita serangan Covid-19, bisa segera ditangani dan penularan stop hanya pada dia, karena dia tidak kontak dgn orang lain dalam 14 hari itu.
Jadi, mari kita mengisolasi diri, untuk diri sendiri dan orang lain,  mungkin pula dalam skala besar untuk umat manusia

Mohon jelaskan kpd orang2 lain, supaya semua patuh dan pemerintah terbantu untuk stop penularan Covid-19, jika tidak, maka 14 hari libur itu percuma, 14 tahun pun tak bisa stop penularan.

Semoga kondisi dunia segera pulih. 🙏

#SocialDistancingNow (menjaga jarak dalam pergaulan sehari-hari)
Ayo tertib, disiplin dan jaga kesehatan kebersihan lingkungan kita masing-masing semoga wabah segera berakhir.
حسبنا الله ونعم الوكيل
Share:

Sunday, March 15, 2020

Solusi Hadapi Musibah Wabah

Solusi menghadapi wabah penyakit dan bencana adalah tobat dan memperbanyak istighfar. Pada artikel ini, insya Allah subhanahu wa ta’ala akan dibahas secara ringkas tentang solusi penting berikutnya dalam menghadapi wabah penyakit dan musibah, yakni doa.

Doa Adalah Ibadah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah.”    Kemudian beliau membaca ayat,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِي سَيَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Rabb mu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk Neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60) (HR. at-Tirmidzi no. 2969).

Beliau menjelaskan bahwa doa itu seluruhnya adalah ibadah. Dalam ayat yang dibaca oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sangat jelas bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memerintah para hamba-Nya untuk berdoa hanya kepada-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala juga menjanjikan bahwa doa yang dipanjatkan pasti akan dikabulkan. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala mengancam hamba-hamba-Nya yang tidak mau berdoa dan beribadah hanya kepada-Nya akan dimasukkan ke dalam Neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.

Oleh karena itu, ketika seorang yang berdoa kepada Allah, sangat penting menghadirkan di dalam kalbunya dengan penuh ketundukan, kerendahan diri, dan kekhusyukan; bahwa dia sedang beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala (bukan sekadar meminta hajat dan menyampaikan permohonannya). Hal ini sebagaimana ibadah-ibadah yang lain, seperti shalat, zakat, puasa, haji, umrah, sedekah, dll.

Seseorang yang sedang berdoa meminta agar diberi kesehatan dan dilindungi dari berbagai penyakit, hendaknya sadar dan paham bahwa dia sedang tunduk dan merendahkan diri beribadah kepada Allah; bukan hanya melafalkan untaian permohonan. Terkadang seseorang yang berdoa terlalu memikirkan materi permintaan dan permohonan hajatnya hingga dia lupa bahwasanya dia sedang beribadah kepada Allah.

Lebih dari itu, doa adalah salah satu ibadah yang paling afdal. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ

“Tidak ada sesuatu pun yang lebih mulia di sisi Allah subhanahu wa ta’ala daripada doa.” (HR. at-Tirmidzi no. 3370 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu).

Doa adalah salah satu ibadah yang paling agung, tetapi sangat mudah dilakukan. Orang yang berdoa tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar, tidak pula harus mengerahkan banyak tenaga. Doa bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja (kecuali di tempat yang terlarang).

Jika demikian, mengapa kita tidak memperbanyak doa? Mari kita memperbanyak doa, terkhusus memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala supaya kita dilindungi oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari berbagai bencana dan wabah penyakit.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَعْجَزُ النَّاسِ مَنْ عَجَزَ عَنِ الدُّعَاءِ

“Manusia yang paling lemah adalah yang lemah dalam berdoa.” (HR. Abu Ya’la no. 6649, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu).

Manusia adalah Makhluk yang Lemah dan Sangat Membutuhkan Allah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفًا

“Manusia diciptakan penuh dengan kelemahan.” (an-Nisa: 28).
Dalam menghadapi segala macam permasalahan hidup, seharusnya doa adalah yang pertama, di tengah, di akhir, dan di seluruh keadaan. Jangan sampai semua ikhtiar dan usaha-usaha kita untuk mencegah wabah dan mengobati suatu penyakit menyebabkan kita terlalaikan dari berdoa dan bergantung hanya kepada Allah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلۡغَنِيُّ ٱلۡحَمِيدُ

“Hai manusia, sungguh kalian adalah hamba yang fakir (sangat butuh) kepada Allah; dan Allah subhanahu wa ta’ala Dialah Yang Mahakaya (tidak membutuhkan makhluk-Nya) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)

Oleh karena itu, hendaknya kalian terus menerus berdoa kepada Allah, seumur hidupmu.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ

“Apabila engkau meminta, mintalah hanya kepada Allah. Jika engkau membutuhkan pertolongan, minta tolonglah hanya kepada Allah.” (HR. at-Tirmidzi no. 2516, dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma. At-Tirmidzi no. 2516)

Sebagaimana dalam ayat yang dibacakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada awal pembahasan, Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan pengabulan doa bagi para hamba-Nya. Pada ayat yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu terbimbing dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186)

Selanjutnya, kita juga harus memahami makna dikabulkannya doa. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إثْمٌ، وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ؛ إِلاَّ أَعْطَاهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوْءِ مِثْلَهَا. قَالُوا: إذًا نُكْثِرُ. قَالَ: اللهُ أَكْثَرُ

“Tidaklah seorang muslim berdoa dengan sesuatu pun, selama (doanya) tidak mengandung dosa atau memutus silaturahmi; kecuali Alah akan memberinya salah satu dari tiga hal:

disegerakan baginya pengabulannya,
atau disimpan baginya di akhirat,
atau dihindarkan darinya bencana atau keburukan yang semisal dengannya.”
(Ketika mendengar hadits ini) para sahabat bertanya, “Kalau demikian (yakni setiap orang yang berdoa pasti akan mendapatkan salah satu dari tiga hal tersebut), kami akan memperbanyak doa.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Sungguh, pengabulan Allah subhanahu wa ta’ala lebih banyak daripada doa kalian.” (HR. Ahmad no. 11133, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu)

Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu berkata,

ﺇِﻧِّﻲ ﻻَ ﺃَﺣْﻤِﻞُ ﻫَﻢَّ اﻹِْﺟَﺎﺑَﺔِ، ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻫَﻢَّ اﻟﺪُّﻋَﺎءِ، ﻓَﺈِﺫَا ﺃُﻟْﻬِﻤْﺖُ اﻟﺪُّﻋَﺎءَ ﻓَﺈِﻥَّ اﻹِْﺟَﺎﺑَﺔَ ﻣَﻌَﻪُ

“Sungguh, aku tidak terlalu merisaukan apakah doaku dikabulkan atau tidak (karena pasti dikabulkan). Akan tetapi, yang aku khawatirkan, apakah aku mendapatkan taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk berdoa ataukah tidak. Sebab, apabila aku telah diberi taufik untuk berdoa, sungguh pengabulan itu pasti menyertainya.” (ad-Da’u wa ad-Dawa’ hlm. 17)

Ketika kita berdoa, terkadang kita hanya mengulang-ulang permintaan kita. Pada saat berdoa, biasanya seseorang akan memulai dengan dirinya sendiri, keluarganya, anak-anaknya, orang tuanya, rezekinya, dst. Saking seringnya kita melafalkan suatu doa dan urutannya, terkadang membuat hati ini lalai dan tidak khusyuk. Bahkan, sering kalbu kita tidak hadir atau tidak memahami apa yang kita ucapkan ketika berdoa.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ، وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

“Hendaknya kalian berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam keadaan yakin bahwa doa kalian pasti akan dikabulkan. Ketahuilah, Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengabulkan doa yang berasal dari kalbu yang lalai dan kosong.” (HR. at-Tirmidzi no. 3479, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 3479)

Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa tunduk khusyuk dan menghadirkan hati ketika berdoa kepada Allah. Ketika meminta perlindungan dari virus Corona misalnya, jangan lupa hati kita benar-benar khuyuk dan khidmat memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala seraya bersandar sepenuhnya kepada-Nya, disertai perasaan yakin bahwa hanya Allah-lah yang mampu dan akan memberikan perlindungan kepada kita dari segala macam penyakit, termasuk dari virus Corona.

Banyak doa supaya terhindar dari penyakit yang parah, salah satunya yang diajarkan Rasulullah SAW yang bacaannya seperti berikut ini:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ ، وَالجُنُونِ ، والجُذَامِ ، وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ

Artinya: “Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari penyakit belang, gila, lepra, dan keburukan segala macam penyakit”.

Semoga segala doa kita dikabulkan Allah SWT dan segala musibah wabah segera berakhir.
Share:

Saturday, March 14, 2020

Petunjuk Nabi Tentang Wabah

Dunia saat ini dihebohkan dengan Virus Corona sebagai penyakit menular memang sering kali menggemparkan. Apalagi ketika wabah tersebut bisa menyebar dengan cepat dan mematikan. Wabah penyakit yang demikian tak hanya terjadi pada masa sekarang.

Wabah atau penyakit menular sudah dikenal bahkan pada zaman Nabi Muhammad SAW. Pada masa itu, wabah yang cukup dikenal adalah pes dan lepra. Apa yang diperintahkan Nabi Muhammad SAW ketika itu?
Nabi  melarang umatnya untuk memasuki daerah yang terkena wabah, apakah itu pes, lepra, maupun penyakit menular lain. Beliau bersabda, “Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kelian meninggalkan tempat itu,” (HR Bukhari dan Muslim)

Untuk memastikan perintah tersebut dilaksanakan, Nabi Muhammad mendirikan tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah dan menjanjikan bahwa mereka yang bersabar dan tinggal akan mendapatkan pahala sebagai mujahid di jalan Allah, sedangkan mereka yang melarikan diri dari daerah tersebut diancam malapetaka dan kebinasaan.

Apa yang diperintahkan Nabi sangat relevan dengan metode karantina yang dilakukan dalam dunia medis saat ini.

Selain di masa Nabi, wabah juga pernah terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab. Saat itu Khalifah Umar bersama rombongan yang sedang dalam perjalanan menuju Syam, terpaksa menghentikan perjalanannya karena adanya wabah kolera.

Umar pun meminta pendapat kaum muhajirin dan kaum anshar untuk memilih melanjutkan perjalanan atau kembali ke Madinah. Sebagian dari mereka berpendapat untuk tetap melanjutkan perjalanan dan sebagian lagi berpendapat untuk membatalkan perjalanan.

Dikutip dari Buku Pesona Akhlak Nabi karya Ahmad Rofi’ Usmani, Umar pun kemudian meminta pendapat sesepuh Quraisy. Yang kemudian menyarankan agar Kholifah tidak melanjutkan perjalanan menuju kota yang sedang diserang wabah penyakit.

“Menurut kami, engkau beserta orang-orang yang bersamamu sebaiknya kembali ke Madinah dan janganlah engkau bawa mereka ke tempat yang terjangkit penyakit itu,” ujar sesepuh Quraisy.

Namun di antara rombongan, Abu Ubaidah bin Jarrah masih menyangsikan keputusan Khalifah.

“Kenapa engkau melarikan diri dari ketentuan Allah?” ujarnya.

Umar pun menjawab, bahwa apa yang dilakukannya bukanlah melarikan diri dari ketentuan Allah melainkan untuk menuju ketentuan-Nya yang lain.

Keputusan untuk tidak melanjutkan perjalanan pun semakin yakin saat mendapatkan informasi dari Abdurrahman bin Auf bahwa suatu ketika Rasulullah melarang seseorang untuk memasuki suatu wilayah yang terkena wabah penyakit. Begitupun masyarakat yang terkena wabah tersebut untuk tidak meninggalkan atau keluar dari wilayahnya. Ini merupakan cara mengisolasi agar wabah penyakit tersebut tidak menular ke daerah lain.

Sejarah mencatat, negeri Syam sekitar tahun 18 Hijriyyah diterjang wabah qu’ash. Wabah tersebut menelan korban jiwa sebanyak 25 ribu kaum muslimin. Di antara sahabat Nabi Muhammad saw yang menjadi korbannya adalah Mu’adz ibn Jabbal, Abu Ubaidah, Syarhbil ibn Hasanah, Al-Fadl ibn Al-Abbas ibn Abdul Muthallib. []

SUMBER: REPUBLIKA
Share:

Wednesday, March 11, 2020

Al Qur'an Sebagai Obat

Al-Quran sebagai kitab referensi utama sekaligus pedoman hidup,  mengandung fungsi medis, atau qur’anic healing. Al-Quran mengungkapkan pada berbagai ayat. Diantaranya dengan menggunakan istilah syifa’ dalam surah al-Isra’ ayat 82:

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan dari al–Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al–Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.

Ternyata, al-Quran tidak cuma menyebutkan kata syifa’ dalam ayat itu saja. Setidaknya enam kali al-Quran menggunakan kata syifa’ dengan segala derivasiya.

Al-Quran pertama kali menyebutkan term syifa’ ini pada surat al-Syuara’: 80. Ayat ini menjelaksan tentang pembicaraan nabi Ibrahim sehubungan dengan sakit dan penyembuhannya. Kata yasyfin dalam ayat ini adalah sebagai bentuk kontradiktif dari kata maradh(sakit)

Jadi yang dimaksud syifa’ di sini merupakan dawa’, yakni obat untuk menyembuhkan penyakit baik fisik maupun mental. Penyebutan syifa’ dalam ayat tersebut menujukkan bahwa Allah sebagai subjek dapat menyembuhkan. Adapun yang dimaksud objek yang dapat dijadikan sebagai sarana penyembuhan disebutkan dalam ayat yang lain, yaitu dalam QS. al-Nahl: 69 dan QS. al-Isra’:82.

Pada QS. al-Nahl: 69 disebutkan bahwa madu perupakan salah satu hal yang dapat disebut syifa’. Sedangkan dalam QS. al-Isra’: 82 disebutkan bahwa al-Quran sendiri merupakan syifa’ bagi orang yang beriman. Lalu apa yang dimaksud dengan syifa’ itu sendiri?

Secara bahasa, kata syifa’—yang tashrif-nya adalah syafa-yasyfi-syifa’—menurut Ibn Manzur ialah obat yang terkenal, yang dapat menyembuhkan dari suatu penyakit. Sejalan dengan pendapatnya, al-Ashfahani mengidentikkan term syifa’ dari al-maradh dengan syifa’ al-Salamah(selamat/sehat) yang pada perkembangannya istilah ini digunakan sebagai nama dalam penyembuhan.

Wahbah Zuhaili menafsirkan ayat 82 surat al-Isra’ dengan mensinyalir turunnya wahyu kepada Nabi sebuah bacaan yang di dalamnya terdapat obat. Ya, al-Quran itu merupakan obat bagi seluruh penyakit hati seperti iri, dengki, kafir, ragu-ragu, kebodohan, kegelapan hati, dan lain sebagainya.

Sementara itu, Tanthowi Jauhari yang dikenal sebagai mufassir era kontemporer dengan pendekatan saintifiknya juga menafsirkan kata syifa’ dalam QS. al-Isra’: 82 sebagai penyakit-penyakit hati.

Mufasir klasik juga menafsirkan ayat ini berkait dengan pengobatan dan penyakit. Sebut saja Muqatil bin Sulaiman yang menafsirkan bahwa al-Quran diturunkan sebagai obat hati, yakni untuk menjelaskan persoalan halal dan haram.

Dalam Mafatih al-Ghaib-nya, al-Razi menyebutkan bahwa al-Quran merupakan obat. Al-Quran secara keseluruhan berfungsi sebagai syifa’ (obat penawar atau penyembuh) bagi orang–orang yang beriman dengan alasan bahwa kata min pada ayat ini bukan dalam pengertian “sebagian”, melainkan menunjukkan jenis.

Jadi, al-Quran memungkinkan menjadi obat bagi seluruh penyakit yang ada di dunia baik itu obat ruhani maupun jasmani yang diderita manusia. Dalam hal ini al-Razi memperkuat pendapatnya dengan hadis Rasulullah yang kira-kira mengatakan bahwa barang siapa yang tidak berobat dengan al-Quran maka Allah swt tidak akan menyembuhkannya.

Mencengangkannya lagi, al-Razi memberikan indikasi bahwa dalam penyembuhan ruhani, al-Quran juga dapat digunakan. Ia mengatakan bahwa aktvitas tabarruk membaca al-Quran dapat menangkal berbagai penyakit.

Lebih jauh, al-Razi juga mendukung para ahli tafsir dan ahli perdukunan yang mengatakan bahwa bacaan mantra yang tidak diketahui artinya atau jimat yang sama sekali tidak bisa dipahami itu sama-sama memiliki pengaruh besar dalam memberikan manfaat dan menangkal kerusakan. Apalagi dengan membaca al-Quran al-Adhim yang jelas-jelas kesahihnnya, pastilah ia dapat mendatangkan kemanfaatan.

Al-Quran, dengan demikian, berpotensi menjadi obat segala penyakit baik jasmani dan rohani. Lalu siapa yang bisa membangkitkan atau memaksimalkan potensi itu?

Setiap orang pada dasarnya punya potensi itu. Akan tetapi secara spesifik, jawabnya tentu saja adalah mu’minin (orang beriman). Maksudnya mu’minin itu adalah orang yang yakin bahwa al-Quran itu syifa’. Sebab, bagaimana mau menggunakan dengan baik, kalau percaya saja tidak.
Share:

Friday, March 6, 2020

Setiap Penyakit Ada Obatnya

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam shahihnya, dari shahabat Abu Hurairah  bahwasanya Nabi  bersabda,

مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شَفَاءً

“Tidaklah Allah turunkan penyakit kecuali Allah turunkan pula obatnya”

Dari riwayat Imam Muslim dari Jabir bin Abdillah  dia berkata bahwa Nabi  bersabda,

لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أَصَابَ الدَّوَاءُ الدَّاءَ، بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan pula dari musnad Imam Ahmad dari shahabat Usamah bin Suraik , bahwasanya Nabi  bersabda,

كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَجَاءَتِ اْلأَعْرَابُ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَنَتَدَاوَى؟ فَقَالَ: نَعَمْ يَا عِبَادَ اللهِ، تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ. قَالُوا: مَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ

“Aku pernah berada di samping Rasulullah b. Lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah I tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit tua.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i menshahihkan hadits ini dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shahih mimma Laisa fish Shahihain, 4/486)

Dari Ibnu Mas’ud , bahwa Rasulullah  bersabda:

إِنَّ اللهَ لَمْ يَنْزِلْ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

“Sesungguhnya Allah I tidaklah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya. Obat itu diketahui oleh orang yang bisa mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak bisa mengetahuinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Al-Bushiri menshahihkan hadits ini dalam Zawa`id-nya. Lihat takhrij Al-Arnauth atas Zadul Ma’ad, 4/12-13)

Para pembaca yang mulia, hadits-hadits di atas memberikan pengertian kepada kita bahwa semua penyakit yang menimpa manusia maka Allah  turunkan obatnya. Kadang ada orang yang menemukan obatnya, ada juga orang yang belum bisa menemukannya. Oleh karenanya seseorang harus bersabar untuk selalu berobat dan terus berusaha untuk mencari obat ketika sakit sedang menimpanya.

Namun sangat disayangkan, di masa sekarang terkadang seorang terjatuh pada kesalahan dalam mencari obat. Itu semua disebabkan karena lemahnya kesabaran dan kurangnya ilmu pengetahuan, baik ilmu tentang agamanya maupun ilmu tentang pengobatan. Mereka berobat dengan cara yang berseberangan dengan syari’at bahkan terjatuh dalam pelanggaran syari’at. Bahkan ada pula yang sampai pada cara-cara kesyirikan dan kekufuran, yang mereka istilahkan dengan “Pengobatan Alternatif.”

Dalam beberapa penanganan pasien, sang “dokter alternatif” kadang membacakan bacaan-bacaan tertentu atau mantra-mantra tertentu yang semua mantra dan bacaan itu tidak dikenal dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (petunjuk Rasulullah). Mereka juga melakukan gerakan-gerakan tertentu atau mungkin dengan syarat-syarat tertentu yang harus disiapkan sebelum pengobatan.

Terkadang pula kaum muslimin dalam berobat datang kepada orang pinter (paranormal). Sebagian dari mereka tidak menamai diri mereka “dukun” atau “tukang santet”, tapi mereka menamakan diri mereka dengan sebutan “kiyai”. Atribut keislaman yang mereka (kiyai) sandang menjadikan sebab tertipunya kaum muslimin. Seperti jubah putih nan panjang, tasbih yang dikalungkan di lehernya, atau dengan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka baca atau yang lainnya menjadikan kaum muslimin tertipu. Kaum muslimin mengira mereka sebagai orang yang pinter, shaleh dan sakti mandraguna, sehingga langsung mempercayainya. Padahal Nabi kita yang mulia bersabda,

مَنْ أَتَي عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً

“Barang siapa yang mendatangi seorang dukun kemudian dia bertanya tentang sesuatu (dia mempercayainya) maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari.”

Ini adalah peringatan sekaligus ancaman dari Rasulullah  tentang besarnya dosa perbuatan tersebut.

Seorang muslim harus selalu berbaik sangka kepada Allah  dan selalu menyadari bahwa Allah  akan memberikan pahala dan ampunan dari dosa dan kesalahannya manakala dia sabar ketika musibah itu menimpa padanya dan harus selalu ingat sabda nabinya yang mulia, dimana Nabi  pernah bersabda,

مَا يُصِيْبَ الْمُسْلِمُ مِنْ نَصْبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حَزَنٍ وَلَا أَذَى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةَ يُشَاكِهَا إِلَّا كَفَرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah menimpa seorang muslim satu kelelahan, kesakitan, kesusahan, kesedihan, gangguan dan gundah gulana sampai terkena duri, maka itu semua menjadi penghapus dari dosa dan kesalahannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat yang lain Nabi  juga bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللهُ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

“Barang siapa yang Allah  kehendaki kebaikan maka Allah akan menimpakan ujian musibah kepadanya.”

Maka sikap yang paling tepat bagi seorang mukmin ketika diuji dengan suatu penyakit adalah bersabar menjalani sakitnya dan terus berusaha untuk mencari obatnya. Tentu saja dengan pengobatan-pengobatan yang sesuai dengan syari’at.

Para pembaca yang mulia… Lantas, bagaimana pengobatan yang syar’i itu? Alhamdulillah, Allah  dan Rasul-Nya b telah mengajarkan kepada kita, diantaranya:

A.        RUQYATUL QUR’AN (Dibacakan Ayat-ayat Al-Qur’an).

Hal ini berdasarkan firman Allah ,

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra’ : 82)

Dijelaskan oleh para ulama bahwa obat yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah obat lahiriyah dan batiniah.

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57)

Al-Qur’an bisa menjadi obat lahiriyah dengan dibacakan kepada orang yang sakit jasadnya. Adapun Al-Qur’an menjadi obat batiniyah yaitu dengan seorang mempelajarinya, merenungkan makna-makna yang terkandung di dalamnya dan mengamalkan dengan penih keyakinan menjadikan jiwanya tenang.

Syaikhul Islam Ibnul Qayyim -rahimahullahu- dalam kitabnya Zadul Ma’ad, berkata,

“Al-Qur`an adalah penyembuh yang sempurna dari seluruh penyakit hati dan jasmani, demikian pula penyakit dunia dan akhirat. Dan tidaklah setiap orang diberi keahlian dan taufiq untuk menjadikannya sebagai obat. Jika seorang yang sakit konsisten berobat dengannya dan meletakkan pada sakitnya dengan penuh kejujuran dan keimanan, penerimaan yang sempurna, keyakinan yang kokoh, dan menyempurnakan syaratnya, niscaya penyakit apapun tidak akan mampu menghadapinya selama-lamanya. Bagaimana mungkin penyakit tersebut mampu menghadapi firman Dzat yang memiliki langit dan bumi, yang seandainya diturunkan kepada gunung, maka ia akan menghancurkannya. Atau diturunkan kepada bumi, maka ia akan membelahnya. Maka tidak satu pun jenis penyakit, baik penyakit hati maupun jasmani, melainkan dalam Al-Qur`an ada cara yang membimbing kepada obat dan sebab (kesembuhan) nya.” (Zadul Ma’ad, 4/287)

Pembaca yang budiman, agar lebih meyakinkan kita akan perjelas pernyataan di atas, berikut ini kami sebutkan 3 riwayat berkenaan tentang pengobatan dengan Al-Qur`an.

1.         Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Muslim, dan lainnya dari hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Beliau radhiallahu ‘anha berkata,

“Adalah Rasulullah  terkena sihir, sehingga beliau menyangka bahwa beliau mendatangi istrinya padahal tidak mendatanginya. Lalu beliau berkata, ‘Wahai ‘Aisyah, tahukah kamu bahwa Allah  telah mengabulkan permohonanku? Dua lelaki telah datang kepadaku. Kemudian salah satunya duduk di sebelah kepalaku dan yang lain di sebelah kakiku. Yang di sisi kepalaku berkata kepada yang satunya: ‘Kenapa beliau?’ Dijawab: ‘Terkena sihir.’ Yang satu bertanya: ‘Siapa yang menyihirnya?’  Dijawab: ‘Labid bin Al-A’sham, lelaki dari Banu Zuraiq sekutu Yahudi, ia seorang munafiq.’ (Yang satu) bertanya: ‘Dengan apa?’ Dijawab: ‘Dengan sisir, rontokan rambut.’ (Yang satu) bertanya: ‘Di mana?’ Dijawab: ‘Pada mayang korma jantan di bawah batu yang ada di bawah sumur Dzarwan’.”

‘Aisyah -radhiallahu ‘anha- lalu berkata: “Nabi lalu mendatangi sumur tersebut hingga beliau mengeluarkannya”. Beliau lalu berkata: ‘Inilah sumur yang aku diperlihatkan seakan-akan airnya adalah air daun pacar dan pohon kormanya seperti kepala-kepala setan’. Lalu dikeluarkan. Aku bertanya: ‘Mengapa engkau tidak mengeluarkannya (dari mayang korma jantan tersebut, pen.)?’ Beliau menjawab: ‘Demi Allah, sungguh Allah telah menyembuhkanku dan aku membenci tersebarnya kejahatan di kalangan manusia’.” Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya dalam kitab At-Thib, bab Hal Yustakhrajus Sihr? jilid 10, no. 5765, dan diriwayatkan Imam Al-Lalaka`i dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah (2/2272). Namun ada tambahan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu’anha berkata: “Dan turunlah (firman Allah ):

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ…

Hingga selesai bacaan surah tersebut.”

2.         Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri , beliau berkata,

“Sekelompok shahabat Nabi  berangkat dalam suatu perjalanan yang mereka tempuh. Singgahlah mereka di sebuah kampung Arab. Mereka pun meminta agar dijamu sebagai tamu, namun penduduk kampung tersebut enggan menjamu mereka. Selang beberapa waktu kemudian, pemimpin kampung tersebut terkena sengatan kalajengking. Penduduk kampung tersebut pun berusaha mencari segala upaya penyembuhan, namun sedikitpun tak membuahkan hasil. Sebagian mereka ada yang berkata: ‘Kalau sekiranya kalian mendatangi sekelompok orang itu (yaitu para shahabat), mungkin sebagian mereka ada yang memiliki sesuatu.’ Mereka pun mendatanginya, lalu berkata: “Wahai rombongan, sesungguhnya pemimpin kami tersengat (kalajengking). Kami telah mengupayakan segala hal, namun tidak membuahkan hasil. Apakah salah seorang di antara kalian memiliki sesuatu?” Sebagian shahabat menjawab: ‘Iya. Demi Allah, aku bisa meruqyah. Namun demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kalian namun kalian tidak menjamu kami. Maka aku tidak akan meruqyah untuk kalian hingga kalian memberikan upah kepada kami.’ Mereka pun setuju untuk memberi upah beberapa ekor kambing. Maka dia (salah seorang shahabat) pun meludahinya dan membacakan atas pemimpin kaum itu “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin…” (Al-Fatihah). Pemimpin kampung tersebut pun merasa terlepas dari ikatan, lalu dia berjalan tanpa ada gangguan lagi. Mereka lalu memberikan upah sebagaimana telah disepakati. Sebagian shahabat berkata: ‘Bagikanlah.’ Sedangkan yang meruqyah berkata: ‘Jangan kalian lakukan, hingga kita menghadap Rasulullah  lalu kita menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Kemudian menunggu apa yang beliau perintahkan kepada kita.’ Merekapun menghadap Rasulullah  kemudian melaporkan hal tersebut. Maka beliau bersabda: ‘Tahu dari mana kalian bahwa itu (Al-Fatihah, pen.) memang ruqyah?’ Lalu Nabi  berkata: ‘Kalian telah benar. Bagilah (upahnya) dan berilah untukku bagian bersama kalian’, sambil beliau  tertawa.”

Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Rasulullah  bersabda:

خَيْرُ الدَّوَاءِ الْقُرْآنُ

“Sebaik-baik obat adalah Al-Qur`an.”

Dan hadits:

الْقُرْآنُ هُوَ الدَّوَاءُ

“Al-Qur`an adalah obat.”

Keduanya adalah hadits yang dha’if, telah dilemahkan oleh Al-Allamah Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 2885 dan 4135.

3.         Hadits dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi  melihat di rumahnya seorang budak wanita dan di wajahnya terdapat warna (kehitaman) maka (beliau berkata),

‘Ruqyahlah dia, sesungguhnya dia terkena penyakit ‘ain (pandangan jahat).” (HR. Bukhari no. 5739 dan Muslim no. 2197)

B.        DO’A

Nabi  bersabda,

الدُّعَاءُ سِلَاحُ الْمُؤْمِنِ وَعِمَادُ الدِّينِ وَنُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Do’a adalah senjatanya orang yang beriman dan tiangnya agama dan cahaya langit dan bumi.”

Hadits ini dilemahkan oleh syaikh Al-Albani, akan tetapi secara makna dijelaskan dalam riwayat yang shahih yaitu kisahnya seorang wanita hitam yang tertimpa penyakit asra’ (epilepsy). Dia datang kepada Nabi  dan berkata,

“Ya… rasulullah, saya menderita penyakit asra’. Tiap kali kambuh, auratku tersingkap. Maka do’akanlah aku supaya Allah menyembuhkan penyakitku”, Nabi  pun bersabda, “Kalau aku do’akan kepada Allah maka akan sembuh penyakitmu. Akan tetapi jika kamu sabar, maka bagimu surga.” Kemudian wanita itu memilih untuk bersabar.

Diterangkan oleh Syaikh Salim Al-hilaly bahwa berdo’a itu adalah salah satu sebab disembuhkannya penyakit.

Juga dalam hadits di atas memberikan faidah tentang bolehnya seorang datang kepada Ahlul Fadhli (orang yang mempunyai keutamaan) orang yang dikenal dengan ketaqwaannya kepada Allah , keshalihannnya, ahli ilmu, untuk meminta dido’akan kepada Allah  atas kesembuhan penyakitnya.

C.        IKHTIAR SYAR’IYAH (Melakukan Usaha Yang Dibenarkan Syari’at)

Artinya, seorang melakukan usaha yang dzahir (yang tampak) untuk mencari sebab datangnya kesembuhan. Misalnya, datang ke dokter yang ahli, minum madu, melakukan hijamah (bekam), atau usaha-usaha yang tidak dilarang oleh syari’at. Wallahu a’lam bish Shawab.

Maraji’ : Riyadhus Shalihin karya Al-Imam Abu Zakaria bin Syaraf An-Nawawi Ad-Dimasyqi (631-676 H) dan Ad-Daau wad-Dawaa karya Al-Imam Al-Muhaqqiq Al-‘Alaamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyah.
Share:

Konsultasi dengan Gus Abduh

Data Kunjungan