Melatih dan Mencerahkan Jiwa

Wednesday, August 14, 2019

Syukuri Nikmat Merdeka

Pada prinsipnya, kemerdekaan adalah salah satu nikmat Allah SWT yang diberikan kepada manusia dan seharusnya disyukuri. Allah SWT berfirman dalam surat al-Ma’idah [5]: 20
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَءَاتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
 “Dan ingatlah, ketika Musa berkata kepada kaumnya, wahai kaumku, ingatlah ni’mat Allah atas kamu Dia telah menjadikan banyak nabi untukmu dan telah menjadikan kamu bangsa yang mardeka.”
Hal yang sama Allah sebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 49, surat al-A’raf [7]: 141, dan surat Ibrahim [14]: 6.
Dalam ayat ini, Allah SWT menyebutkan betapa nikmat kemerdekaan adalah salah satu nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada suatu individu, masyarakat atau suatau bangsa. Nikmat mardeka setara dengan nikmat diutusnya para nabi kepapada suatu kaum. (اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا). Begitu ungkap Allah swt.
Kenapa Nikmat mardeka disetarakan Allah swt dengan nikmat diutusnya seorang nabi? Sebab, keduanya sama-sama menjadikan manusia hidup dalam taraf terhormat dan penuh kemuliaan. Kemerdekaan akan menyelamatkan seseorang atau suatu bangsa dari kezaliman, penindasan, kebodohan, keterbelakangan, kegelapan dan seterusnya. Lihatlah alinea kedua dan empat pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang dengan tegas menyebutkan tujuan kemerdekaan adalah “menciptakan bangsa yang mardeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Begitu juga disebutkan pada alenia empat bahwa kemerdekaan bertujuan, “melindungi kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan keadilan sosial”.
Begitu juga tujuan diutusnya seorang rasul kepada suatu kaum atau bangsa seperti dalam surat al-Baqarah [2]: 151
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِنْكُمْ يَتْلُوْ عَلَيْكُمْ آياَتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمْ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُوْنوْا تَعْلَمُوْنَ
Bahwa seorang rasul Allah utus kepada suatu kaum untuk menunjuki kaum itu ke jalan kebenaran dan menata kehidupan mereka, mensucikan mereka dari kubangan kezaliman, mengajarkan ilmu dan hikmah serta mengajarkan apa yang belum diketahui sehingga mereka selamat dari kebodohan.
Ada hal menarik untuk dicermati terkait nikmat kemerdekaan yang Allah sebutkan dalam surat al-Ma’idah ayat 20 di atas. Di mana nikmat mardeka tersebut Allah ungkapkan dalam bentuk kata kerja masa lalu (fi’il madhi) dalam ungkapan waja’alakum mulukan (وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا). Secara teori kebahasan bahwa kata kerja masa lalu adalah sesuatu yang pernah terjadi dan kondisinya tidak permanen. Pola kata ini berbeda dengan fi’il mudhari’ ”yaj’alu”  (يجعل) yang berarti selalu dan terus menerus (kontiniutas). Dengan menggunakan kata kerja masa lalu ja’ala (جعل), Allah ingin mengatakan bahwa nikmat mardeka itu tidak bersifat permanen dan abadi. Bisa saja dulu kamu mardeka, namun karena tidak bisa mensyukurinya akan kembali terjajah. Kondisi ini pernah dialami oleh kaum Bani Israel yang berkali-kali mardeka, namun berkali-kali pula dijajah karena tidak pandai bersyukur.
Begitu pula lah mungkin  dengan bangsa kita, Indonesia walaupun secara politik kita sudah mardeka dan menjadi bangsa berdaulat selama 68 tahun lamanya, namun rasanya kita masih terjajah dalam berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, budaya atau bahkan secara politik masih dijajah bangsa lain. Sepertinya bangsa kita masih belum berdaulat di banyak bidang kehidupan terutama ekonomi dan budaya. Hal itu salah satu penyebabnya adalah masih banyaknya penduduk negeri ini yang belum pandai mensyukuri nikmat kemerdekaan yang telah diberikan Allah.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana sikap kita terhadap nikmat kemerdekaan ini? Jawabannya bisa kita temukan dalam surat al-Nashr [110]: 1-3.
إذا جاء نصر الله والفتح. ورأيت الناس يدخلون في دين الله أفواجا. فسبح بحمد ربك واستغفره إنه كان توابا
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.   
Seperti yang diketahui bahwa para pejuang dan pendiri bangsa ini sepakat mengakui bahwa kemenangan dan kemerdekaan yang diperoleh bukan semata karena perjuangan dan kehebatan serta kekuatan fisik. Namun, kemerdekaan itu semata diperoleh karena pertolongan Allah semata “nashrullah” (نصر الله). Itulah yang secara eksplisit diungkapkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ketiga. Itulah wujud syukur dalam tahap awal, yaitu pengakuan dengan hati akan nikmat Allah swt. Setelah itu Allah menyuruh kita untuk mengucap syukur “fasabbih bihamdi rabbika (فسبح بحمد ربك) inilah bentuk syukur dengan lidah dengan ucapan Alhamdulillah. Dan paling terakhir Allah menyuruh istighfar “wa istaghfirhu” (واستغفره). Kenapa kita disuruh beristighfar dengan nikmat kemardekaan?
Inilah hal yang paling penting dimana istighfar adalah bentuk pengakuan akan kesalahan dan dosa. Dengan istighfar kita diminta untuk menyadari betapa belum maksimalnya kita bersyukur terhadap nikmat kemerdekaan dan pertolongan Allah tersebut. Kesadaran ini kemudian yang menuntun kita untuk segera melakukan yang terbaik sebagai wujud syukur terhadap nikmat kemerdekaan ini.
Kalaulah para pemimpin bangsa ini banyak beristghfar dalam pengertian menyadari betapa belum maksimalnya mereka berbuat untuk bangsa ini selama mengemban jabatan, tentulah tidak ada pemimpin yang akan berfoya-foya dengan fasilitas yang diberikan Negara untuk mereka. Andaikata pada pejabat dan penguasa di negeri ini banyak beristighfar dan menyadari betapa tidak bersyukurnya mereka terhadap nikmat mardeka yang telah mereka nikmati, niscaya mereka akan malu menikmati indahnya jabatan dengan segala kemewahannya itu. Sayang tidak banyak penguasa, pejabat dan pemimpin negeri yang pandai beristighfar. Jangankan beristighfar karena belum maksimal berbuat yang terbaik untuk bangsa dan Negara atas amanah jabatan yang mereka emban, yang tertangkap tangan korupsipun tidak pernah keluar ucapan maaf dan istighfar dari lidah mereka. Bahkan yang terlihat hanyalah senyum dan tawa serta lambaian tangan mereka bak selebriti saat wajah mereka dosort kamera televisi.
Begitu juga halnya dengan rakyat bangsa Indonesia, andai saja mereka banyak beristghfar dan menyadari betapa mereka belum mampu melakukan yang terbaik untuk bangsa ini, tentu mereka akan terpacu untuk sama-sama berbuat yang terbaik untuk kemajuan bangsa dan Negara ini. Pendek kata, andai semua penghuni bangsa ini yang telah dianugerahi nikmat kemerdekaan, sangat kurang istghfarnya, niscaya kemerdekaan hanya tetap akan menjadi sebatas cerita dan menjadi kenangan masa lalu. Bangsa ini selamanya benar-benar tidak akan pernah mardeka dalam kehidupan mereka.
Terakhir, lihatlah kata mardeka yang Allah pakai dalam ayat di atas yaitu (ملك) yang secara harfiyah berarti berkuasa. Hurufnya terdiri dari tiga (م, ل, ك). Ketiga huruf ini jika diacak akan melahirkan kata-kata lain yang maknanya berkisar pada mardeka dan berdaulat. Dari huruf ini bisa muncul kata (كلم) yang berarti bicara, ada kata (لكم) yang berarti memukul, dan ada kata (كمل)  yang berarti sempurna. Semua kata ini, baik berkuasa, bicara, memukul dan sempurna tentu saja hanya bisa dimiliki oleh orang atau masyarakat yang mardeka dan memiliki kedaulatan (malaka). Maka jika bangsa ini ingin benar-benar disebut bangsa mardeka dan berdaulat (malaka), maka ia harus punya suara dan didengar oleh dunia internasional (kalama). Bangsa ini juga harus bisa menghardik dan menunjukan giginya bahkan memukul bangsa lain yang hendak menganggu dan mengobok-obok kedaulatannya (lakama). Dan bangsa ini juga harus berani menunjukan kesempurnaan dan kemuliaanya di hadapan bangsa lain (kamala). Bangsa ini bukan bangsa yang hina. Akan tetapi, bangsa ini adalah bangsa yang besar dan berperadaban tinggi.
      Oleh karena itu, wajib kita syukuri nikmat Allah atas kemerdekaan Indonesia dengan menghargai jasa-jasa para pahlawan syuhada bangsa. Selain itu kita terus belajar dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar menjadi bangsa berkarakter, beradab dan unggul di masa mendatang
Share:

0 comments:

Post a Comment

Konsultasi dengan Gus Abduh

Data Kunjungan