Melatih dan Mencerahkan Jiwa

Dr. KH. Abduh Al-Manar, M.Ag.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah. Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

PAUD Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MI Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MTS Al-Iryadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Sunday, August 25, 2019

Ikutilah Petunjuk


Tafsir Surat Al-Baqarah, ayat 38-39
قُلۡنَا ٱهۡبِطُواْ مِنۡهَا جَمِيعٗاۖ فَإِمَّا يَأۡتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدٗى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَكَذَّبُواْ بَِٔايَٰتِنَآ أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ 

Kami berfirman, "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

Allah Swt menceritakan tentang peringatan yang ditujukan kepada Adam dan istrinya serta iblis ketika mereka diturunkan dari surga. Yang dimaksud ialah anak cucunya, bahwa Allah kelak akan menurunkan kitab-kitab dan mengutus nabi-nabi serta rasul-rasul (di kalangan mereka yang akan memberi peringatan kepada kaumnya masing-masing). Demikianlah menurut penafsiran Abul Aliyah; dia mengatakan bahwa petunjuk tersebut dimaksudkan adalah para nabi dan para rasul, serta penjelasan-penjelasan dan keterangan-Nya (melalui ayat- ayat-Nya).

Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, yang dimaksud dengan petunjuk dalam ayat ini ialah Nabi Muhammad Saw.; sedangkan menurut Al-Hasan, petunjuk artinya Al-Qur'an. Kedua pendapat ini sahih, sedangkan pengertian pendapat Abul Aliyah lebih umum.
Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku —yakni orang yang mau menerima apa yang diturunkan oleh Allah melalui kitab-kitabNya dan apa yang disampaikan oleh rasul-rasul-Nya— niscaya tidak ada kekhawatiran atas diri mereka dalam menghadapi nasib di hari akhirat nanti.
Tidak pula mereka bersedih hati terhadap perkara-perkara duniawi yang terlewatkan oleh mereka. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
Allah   befirman. "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama. Sebagian kamu   menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka  jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka." (Taha: 123)

Menurut Ibnu Abbas r.a., makna yang dimaksud ialah dia tidak sesat di dunia dan tidak celaka di akhirat. Allah Swt. telah berfirman:
Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (Taha: 124)

Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah: 39)
Artinya, mereka kekal di dalamnya, tiada jalan keluar bagi mereka dari neraka karena mereka menjadi penghuni yang abadi.
Ibnu Jarir dalam bab ini mengetengahkan sebuah hadis yang ia kemukakan dari dua jalur periwayatan, dari Abu Salamah dan Sa'id ibnu Yazid, dari Abu Nadrah Al-Mundzir ibnu Malik ibnu Qit'ah, dari Abu Sa'id (nama aslinya Sa'd ibnu Malik ibnu Sinan Al-Khudri) yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW. pemah bersabda:
Adapun ahli neraka yang menjadi penghuni tetapnya, maka mereka tidak pernah mati di dalamnya, tidak pula hidup (karena mereka selamanya di azab terus-menerus). Tetapi ada beberapa kaum yang dimasukkan ke dalam neraka karena dosa-dosa mereka, maka mereka benar-benar mengalami kemalian; dan apabila mereka sudah menjadi arang, maka baru diizinkan beroleh syafaat.

Imam Muslim meriwayatkan hadis ini melalui hadis Syu'bah, dari Abu Salamah dengan lafaz yang sama. Penyebutan ayat yang menerangkan penurunan untuk yang kedua kalinya ini karena berkaitan dengan makna yang berbeda dengan pengertian yang ada pada ayat pertama. Sebagian ulama menduga bahwa ayat yang kedua ini merupakan taukid dan pengulangan yang mengukuhkan makna ayat pertama, perihalnya sama dengan ucapan, "Berdirilah, berdirilah!"
Ulama lainnya mengatakan bahwa penurunan yang pertama ini mengisahkan penurunan dari surga ke langit dunia, sedangkan penurunan yang kedua adalah dari langit dunia ke bumi. Akan tetapi pendapat yang sahih adalah yang pertama tadi.

Share:

Wednesday, August 14, 2019

Syukuri Nikmat Merdeka

Pada prinsipnya, kemerdekaan adalah salah satu nikmat Allah SWT yang diberikan kepada manusia dan seharusnya disyukuri. Allah SWT berfirman dalam surat al-Ma’idah [5]: 20
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَءَاتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
 “Dan ingatlah, ketika Musa berkata kepada kaumnya, wahai kaumku, ingatlah ni’mat Allah atas kamu Dia telah menjadikan banyak nabi untukmu dan telah menjadikan kamu bangsa yang mardeka.”
Hal yang sama Allah sebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 49, surat al-A’raf [7]: 141, dan surat Ibrahim [14]: 6.
Dalam ayat ini, Allah SWT menyebutkan betapa nikmat kemerdekaan adalah salah satu nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada suatu individu, masyarakat atau suatau bangsa. Nikmat mardeka setara dengan nikmat diutusnya para nabi kepapada suatu kaum. (اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا). Begitu ungkap Allah swt.
Kenapa Nikmat mardeka disetarakan Allah swt dengan nikmat diutusnya seorang nabi? Sebab, keduanya sama-sama menjadikan manusia hidup dalam taraf terhormat dan penuh kemuliaan. Kemerdekaan akan menyelamatkan seseorang atau suatu bangsa dari kezaliman, penindasan, kebodohan, keterbelakangan, kegelapan dan seterusnya. Lihatlah alinea kedua dan empat pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang dengan tegas menyebutkan tujuan kemerdekaan adalah “menciptakan bangsa yang mardeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Begitu juga disebutkan pada alenia empat bahwa kemerdekaan bertujuan, “melindungi kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan keadilan sosial”.
Begitu juga tujuan diutusnya seorang rasul kepada suatu kaum atau bangsa seperti dalam surat al-Baqarah [2]: 151
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِنْكُمْ يَتْلُوْ عَلَيْكُمْ آياَتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمْ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُوْنوْا تَعْلَمُوْنَ
Bahwa seorang rasul Allah utus kepada suatu kaum untuk menunjuki kaum itu ke jalan kebenaran dan menata kehidupan mereka, mensucikan mereka dari kubangan kezaliman, mengajarkan ilmu dan hikmah serta mengajarkan apa yang belum diketahui sehingga mereka selamat dari kebodohan.
Ada hal menarik untuk dicermati terkait nikmat kemerdekaan yang Allah sebutkan dalam surat al-Ma’idah ayat 20 di atas. Di mana nikmat mardeka tersebut Allah ungkapkan dalam bentuk kata kerja masa lalu (fi’il madhi) dalam ungkapan waja’alakum mulukan (وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا). Secara teori kebahasan bahwa kata kerja masa lalu adalah sesuatu yang pernah terjadi dan kondisinya tidak permanen. Pola kata ini berbeda dengan fi’il mudhari’ ”yaj’alu”  (يجعل) yang berarti selalu dan terus menerus (kontiniutas). Dengan menggunakan kata kerja masa lalu ja’ala (جعل), Allah ingin mengatakan bahwa nikmat mardeka itu tidak bersifat permanen dan abadi. Bisa saja dulu kamu mardeka, namun karena tidak bisa mensyukurinya akan kembali terjajah. Kondisi ini pernah dialami oleh kaum Bani Israel yang berkali-kali mardeka, namun berkali-kali pula dijajah karena tidak pandai bersyukur.
Begitu pula lah mungkin  dengan bangsa kita, Indonesia walaupun secara politik kita sudah mardeka dan menjadi bangsa berdaulat selama 68 tahun lamanya, namun rasanya kita masih terjajah dalam berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, budaya atau bahkan secara politik masih dijajah bangsa lain. Sepertinya bangsa kita masih belum berdaulat di banyak bidang kehidupan terutama ekonomi dan budaya. Hal itu salah satu penyebabnya adalah masih banyaknya penduduk negeri ini yang belum pandai mensyukuri nikmat kemerdekaan yang telah diberikan Allah.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana sikap kita terhadap nikmat kemerdekaan ini? Jawabannya bisa kita temukan dalam surat al-Nashr [110]: 1-3.
إذا جاء نصر الله والفتح. ورأيت الناس يدخلون في دين الله أفواجا. فسبح بحمد ربك واستغفره إنه كان توابا
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.   
Seperti yang diketahui bahwa para pejuang dan pendiri bangsa ini sepakat mengakui bahwa kemenangan dan kemerdekaan yang diperoleh bukan semata karena perjuangan dan kehebatan serta kekuatan fisik. Namun, kemerdekaan itu semata diperoleh karena pertolongan Allah semata “nashrullah” (نصر الله). Itulah yang secara eksplisit diungkapkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ketiga. Itulah wujud syukur dalam tahap awal, yaitu pengakuan dengan hati akan nikmat Allah swt. Setelah itu Allah menyuruh kita untuk mengucap syukur “fasabbih bihamdi rabbika (فسبح بحمد ربك) inilah bentuk syukur dengan lidah dengan ucapan Alhamdulillah. Dan paling terakhir Allah menyuruh istighfar “wa istaghfirhu” (واستغفره). Kenapa kita disuruh beristighfar dengan nikmat kemardekaan?
Inilah hal yang paling penting dimana istighfar adalah bentuk pengakuan akan kesalahan dan dosa. Dengan istighfar kita diminta untuk menyadari betapa belum maksimalnya kita bersyukur terhadap nikmat kemerdekaan dan pertolongan Allah tersebut. Kesadaran ini kemudian yang menuntun kita untuk segera melakukan yang terbaik sebagai wujud syukur terhadap nikmat kemerdekaan ini.
Kalaulah para pemimpin bangsa ini banyak beristghfar dalam pengertian menyadari betapa belum maksimalnya mereka berbuat untuk bangsa ini selama mengemban jabatan, tentulah tidak ada pemimpin yang akan berfoya-foya dengan fasilitas yang diberikan Negara untuk mereka. Andaikata pada pejabat dan penguasa di negeri ini banyak beristighfar dan menyadari betapa tidak bersyukurnya mereka terhadap nikmat mardeka yang telah mereka nikmati, niscaya mereka akan malu menikmati indahnya jabatan dengan segala kemewahannya itu. Sayang tidak banyak penguasa, pejabat dan pemimpin negeri yang pandai beristighfar. Jangankan beristighfar karena belum maksimal berbuat yang terbaik untuk bangsa dan Negara atas amanah jabatan yang mereka emban, yang tertangkap tangan korupsipun tidak pernah keluar ucapan maaf dan istighfar dari lidah mereka. Bahkan yang terlihat hanyalah senyum dan tawa serta lambaian tangan mereka bak selebriti saat wajah mereka dosort kamera televisi.
Begitu juga halnya dengan rakyat bangsa Indonesia, andai saja mereka banyak beristghfar dan menyadari betapa mereka belum mampu melakukan yang terbaik untuk bangsa ini, tentu mereka akan terpacu untuk sama-sama berbuat yang terbaik untuk kemajuan bangsa dan Negara ini. Pendek kata, andai semua penghuni bangsa ini yang telah dianugerahi nikmat kemerdekaan, sangat kurang istghfarnya, niscaya kemerdekaan hanya tetap akan menjadi sebatas cerita dan menjadi kenangan masa lalu. Bangsa ini selamanya benar-benar tidak akan pernah mardeka dalam kehidupan mereka.
Terakhir, lihatlah kata mardeka yang Allah pakai dalam ayat di atas yaitu (ملك) yang secara harfiyah berarti berkuasa. Hurufnya terdiri dari tiga (م, ل, ك). Ketiga huruf ini jika diacak akan melahirkan kata-kata lain yang maknanya berkisar pada mardeka dan berdaulat. Dari huruf ini bisa muncul kata (كلم) yang berarti bicara, ada kata (لكم) yang berarti memukul, dan ada kata (كمل)  yang berarti sempurna. Semua kata ini, baik berkuasa, bicara, memukul dan sempurna tentu saja hanya bisa dimiliki oleh orang atau masyarakat yang mardeka dan memiliki kedaulatan (malaka). Maka jika bangsa ini ingin benar-benar disebut bangsa mardeka dan berdaulat (malaka), maka ia harus punya suara dan didengar oleh dunia internasional (kalama). Bangsa ini juga harus bisa menghardik dan menunjukan giginya bahkan memukul bangsa lain yang hendak menganggu dan mengobok-obok kedaulatannya (lakama). Dan bangsa ini juga harus berani menunjukan kesempurnaan dan kemuliaanya di hadapan bangsa lain (kamala). Bangsa ini bukan bangsa yang hina. Akan tetapi, bangsa ini adalah bangsa yang besar dan berperadaban tinggi.
      Oleh karena itu, wajib kita syukuri nikmat Allah atas kemerdekaan Indonesia dengan menghargai jasa-jasa para pahlawan syuhada bangsa. Selain itu kita terus belajar dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar menjadi bangsa berkarakter, beradab dan unggul di masa mendatang
Share:

Monday, August 12, 2019

Hakikat Kurban

Drama pengurbanan Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS lewat mimpi jangan dipahami sebagai mimpi biasa. Mimpi Ibrahim bagian dari kenabian. Sebagaimana seorang yang saleh mimpinya juga bagian dari kenabian walaupun tidak sampai menjadi nabi.
Mimpi Ibrahim dengan peristiwa kurban tidak akan terjadi pada manusia lainnya. Andaikan ada itu merupakan bisikan setan. Mimpi Ibrahim itu sabagai media Wahyu dan menguji kesabaran keduanya [ Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Ash-Shaffat: 102 ]. Ibrah mimpi ini sebagai pembelajaran dalam konteks pendidikan regenerasi agar memiliki karakter tauhid yg kokoh untuk melanjutkan misi Rabbani.
Menjadi Uswatun Hasanah (teladan) sebagaimana Nabi Muhammad, Nabi Ibrahim dikenal sebagai abuddin, bapak semua agama: Yahudi, Kristen dan Islam. Ujian terberat yang dialamai Ibrahim karena ia akan menjadi imam para pembawa agama dunia. Allah SWT memberikan Keteguhan hati, Ulul Azmi , yang merupakan derajatnya.
Penyelenggaraan  kurban pada setiap zaman  hakikatnya melanjutkan misi Karakter Rabbani Nabi Ibrahim, menjadi manusia bertauhid, kokoh jiwanya, teguh pendiriannya, bijaksana kepemimpinannya, berani dan bertanggung jawab.

Dr.KH.M. Abduh Almanar, MAg











Share:

Konsultasi dengan Gus Abduh

Data Kunjungan