سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا
مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا
حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ
ٱلۡبَصِيرُ
Maha Suci Allah, yang
telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al
Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al-Isra : 1 ]
Isra`
Mi`raj dan Sains merupakan dua hal yang mempunyai hubungan mutually exclusive
dalam klasifikasi pengetahuan manusia. Isra` Mi`raj jelas merupakan satu
bahasan dalam metafisika, dan secara prinsipil ruang bahasan metafisika berbeda
dengan ruang bahasan saintek. Sains membahas hukum-hukum alam material yang
empiris, sains menjawab pertanyaan what dan why dan teknologi menjawab
pertanyaan for what. Sedang metafisika membahas hukum-hukum umum alam, terutama
alam immaterial yang jelas non-empiris.
Mungkin
sebagian orang beranggapan, ” Sulit bagi kita untuk memahami Isra` Mi`raj di
abad sains dan teknologi ini. Sains modern telah menemukan bahwa kecepatan
maksimum materi adalah kecepatan cahaya di ruang hampa (c = 300.000 km/dt).
Seperti yang telah kita ketahui cahaya merambat memerlukan waktu 500 detik (
8,333 menit) untuk menempuh jarak bumi-matahari, dan ia perlu merambat selama
50.000 tahun hanya untuk melintasi radius galaksi Bima Sakti (The Milky Way),
padahal galaksi yang ada di alam ini yang terobservasi sampai saat ini
diperkirakan ada ratusan juta. Bagaimana mungkin, seseorang manusia melintasi
itu semua dalam waktu semalam?”
Argumen
seperti ini benar-benar menunjukkan kesalahan sistematik kronis suatu sistem
berfikir yang masih bisa disebut sebagai “otak”. marilah kita bahas beberapa
kesalahan berfikir yang terdapat dalam argumen tersebut.
Pertama,
di balik argumen tersebut terdapat suatu anggapan bahwa Isra` Mi`raj adalah
suatu perjalanan yang bersifat murni material. Nabi dianggap berjalan dari satu
titik ruang tertentu (Masjid Al-’Aqsha) di alam ini kesatu titik ruang tertentu
di balik ujung langit (Sidratul-Muntaha) , dan menemui Tuhan di sana. Apakah
mungkin bagi Tuhan terikat pada “ke-dimana-an”? Padahal Dia-lah Yang Maha
Mutlak. Tidak Terbatas. Karena jika ada sesuatu yang membatasinya berarti ada
sesuatu yang lebih kuasa dari-Nya. Subhanallahi ‘amma yashifuun. Perhatikan
ayat berikut ini; ” Wa idzaa sa`alaka ‘ibaadi ‘annii fa innii qariib”(QS
Al-Baqarah 186). Allah Yang Maha Dekat terhadap Anda, terhadap saya, terhadap
kita semua. Dan tentu tidak mungkin menafsirkan ayat ini dengan mengartikan
dekat dalam pengertian “ke-dimana-an” material seperti di atas.
Kedua,
sekiranya sekali lagi sekiranya anggapan di atas benar pun, apakah benar bahwa
perjalanan ini tidak mungkin secara logis? Mungkin perlu bagi kita untuk
meninjau kembali berbagai jenis kemungkinan.
Pertama,
adalah kemungkinan empiris, contohnya adalah naik gunung Himalaya mungkin
secara empiris.
Kedua,
adalah kemungkinan saintifik, contohnya adalah mungkin membuat kereta api yang
melayang di atas relnya dengan energi superkonduktor. Walaupun kereta ini belum
ada secara empiris namun secara saintifik ini mungkin. Kemungkinan saintifik
dan kemungkinan empiris ini relatif, berubah terhadap ruang dan waktu dan tidak
bisa dipegang sebagai satu kebenaran mutlak. Secara saintifik tidak mungkin
bagi seseorang masih hidup jika jantungnya telah tidak berdenyut selama seratus
hari, tapi kenyataannya secara empiris ada ahli-ahli yoga India yang mampu
melakukannya.
Secara
empiris tidak mungkin untuk bergerak dengan kecepatan 1000 kali kecepatan suara
saat ini, padahal secara saintifik itu sangat mungkin (1000 kali kecepatan
suara = 0,001 kali kecepatan cahaya). Secara empiris, dulu tidak mungkin orang
bisa pergi ke bulan, sedang sekarang secara empiris hal itu jelas-jelas
mungkin. Secara saintifik, dulu tidak mungkin bagi seseorang untuk memahami
eksistensi gelombang elektromagnetik, tapi sejak Maxwell menemukannya sekarang
semua mahasiswa memahaminya. Bahkan secara empiris, kita telah menikmati
manfaatnya melewati TV, radio, dll.
Jenis
kemungkinan ketiga adalah, kemungkinan logis. Sesuatu disebut mungkin secara
logis, jika ia tidak melanggar prinsip non-kontradiksi. Apa contoh sesuatu yang
tidak mungkin secara logis? Misal; sesuatu ada sekaligus tidak ada di suatu
tempat dan waktu tertentu secara bersamaan. Apa contoh lain? Misal; adanya
lingkaran sempurna yang luasnya tidak berbanding lurus dengan kuadrat
jari-jari. Apa contoh lain yang mudah? Misal; membagi tiga keping uang
seratusan logam secara merata kepada dua orang tanpa perlu membagi/menukarkan
keping tersebut. Dan lain-lain.
Kemungkinan
logis ini tidak relatif, tapi mutlak. Tidak tergantung ruang dan waktu. Tidak
tergantung kasus apapun. Ia berlaku universal. Kemungkinan logis inilah yang
dapat dipakai sebagai satu ukuran logis atau tidak logis nya sesuatu secara
umum.
Ditinjau
dari kemungkinan logis ini, misalnya, sekali lagi misalnya kita anggap asumsi
model perjalanan Isra` Mi`raj yang material itu pun kita terima, tidak ada
kontradiksi logis apapun di sana. Kejadian tersebut tidak melanggar prinsip
non-kontradiksi. Jadi ya, sahih. Atau mungkin-mungkin saja secara logis.
Sedikit
lebih jauh lagi, apakah Anda mendengar suatu eksperimen akhir-akhir ini yang
telah membantah Teori Relativitas dengan ditemukannya partikel yang bergerak
lebih cepat dari cahaya? Mari kita tinggalkan kerangka empirisme dan saintifik
yang relatif dalam memahami hal-hal yang bersifat absolut. Kembali ke struktur
berfikir yang jernih dan logis.
Apa
satu hikmah Isra` Mi`raj bagi kita? Minimal, kita menjadi menyadari pentingnya
berfikir di luar kerangka empirisme dan sains yang amat relatif. Kemudian, kita
menyadari kemungkinan logis yang jauh lebih luas dan umum dari sekedar
empirisme inderawiah dan saintek materialis yang dangkal. Dan mungkin, kita
akan menyadari makna immaterialitas perjalanan Isra` Mi`raj Nabi Suci, jauh di
atas sekedar keajaiban-nya yang mengatasi alam materi ini.
Kita
teringat ada satu makhluk manusia yang teramat mulia. Tubuh materialnya telah
terspiritualisasi sempurna menjadi Cahaya yang lebih terang dari seluruh Cahaya
material maupun immaterial lain. Seluruh wujud-nya mengalami perjalanan, atau
mungkin kita lebih suka menyebutnya sebagai transformasi atau dalam istilah
filsafatnya gerakan substansial (harakah al-jauhariyah), sehingga dikatakan ia
mencapai “jarak substansial” terdekat terhadap Hakikat Agung Zat Suci Yang Maha
Agung Maha Semarak di antara semua makhluk lain yang dicipta. Ia-lah Muhammad,
Kekasih-kita, Junjungan-kita, dalam seluruh hidup kita. Dia-lah Nabi Muhammad
SAW.
0 comments:
Post a Comment