Melatih dan Mencerahkan Jiwa

Dr. KH. Abduh Al-Manar, M.Ag.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah. Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

PAUD Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MI Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MTS Al-Iryadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Monday, April 29, 2019

Iblis Takabur


Surat Al-Baqarah Ayat 34

وَإِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ إِبۡلِيسَ أَبَىٰ وَٱسۡتَكۡبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلۡكَٰفِرِينَ 

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Terjemahan Tafsir Bahasa Indonesia (Isi Kandungan) Dan ingatkanlah -wahai Rasul- kepada manusia tentang kemuliaan yang Allah anugerahkan bagi Adam ketika Allah ta’ala berfirman kepada para malaikat: “bersujudlah kalian kepada Adam untuk memuliakan dan memperlihatkan keutamaannya”. Maka seluruh malaikat taat menjalankan kecuali iblis ia menolak bersujud lantaran kesombongan dan kedengkiannya, maka ia pun menjadi makhluk yang ingkar kepada Allah dan membangkang terhadap perintah-Nya.

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia 34. اسْجُدُوا (sujudlah kalian kepada Allah) Dalam bahasa arab kata sujud berarti tunduk, dan posisi terbaik adalah dengan meletakkan wajah di atas tanah. Abu Amr berkata: seseorang dikatakan bersujud apabila menundukkan kepalanya. Ayat ini menunjukkan keutamaan Nabi Adam yang mana Allah Ta’ala menyuruh para malaikat kepadanya. Adapun sujud kepada selain Allah diharamkan di syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. إِلَّا إِبْلِيسَ (kecuali Iblis) Iblis berasal dari bangsa jin, dan dia termasuk yang diperintahkan untuk bersujud kepada Nabi Adam karena dia berada diantara malaikat. Ibnu Abbas berkata: dulunya Iblis bernama ‘Azazil dan digolongkan diantara malaikat yang paling mulia, akan tetapi kemudian dia tidak mentaati Allah, sejak saat itulah dia dinamakan dengan Iblis karena Allah menjauhkan dirinya dari segala bentuk kebaikan karena kemaksiatannya. أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ (ia enggan dan takabbur) Yakni tidak mau untuk bersujud dan meresa dirinya lebih mulia. وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir) Yakni Allah telah mengetahui sebelumnya bahwa Iblis adalah kafir.

Zubdatut Tafsir / Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah Dan ingatkanlah juga wahai Rasulallah kepada kaummu ketika kami memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam sebagai tanda penghormatan dan pemuliaan, bukan (sebagai) sujud penyembahan dan pengagungan. Kemudian mereka semua bersujud kecuali Iblis yang berasal dari golongan jin. Dia menolak bersujud melainkan mengagungkan dirinya sendiri. Di sisi Allah, dia telah ingkar karena melanggar perintah Allah SWT dan enggan bersujud kepada Adam.

Tafsir Al-Wajiz / Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili Ibnu 'Abbas berkata : "Jika kesalahan seorang laki-laki pada kesombongannya maka janganlah kamu mengarap kepadanya, dan jika kesalahannya karena kemaksiatan maka berharaplah kepadanya sesuatu, karena sesungguhnya kesalahan Adam karena kemaksiatan, sedangkan kesalahan Iblis karena kesombongannya.

Li Yaddabbaru Ayatih / Lajnah Ilmiah Markaz Tadabbur Makna kata : ٱسۡجُدُواْ Usjuduu : Sujud adalah meletakkan kening dan hidung di atas permukaan tanah, atau bisa juga dengan menundukkan kepala ke tanah tanpa meletakannya akan tetapi disertai dengan rasa rendah dan tunduk. إِبۡلِيسَ Ibliis : Dikisahkan bahwa dahulu namanya adalah Al-Haarits, namun pada saat mulai menyombongkan diri dari ketaatan kepada Allah maka Allah Ta’ala menjadikannya putus asa (iblis) dari setiap kebaikan dan menjadikannya setan. أَبَىٰ Abaa : Tidak mau dan menolak untuk bersujud kepada Adam ٱسۡتَكۡبَرَ : Merasa dirinya lebih tinggi dan mulia sehingga rasa sombong dan hasad mencegahnya untuk taat kepada Allah dengan bersujud kepada Adam. ٱلۡكَٰفِرِينَ Al-Kaafiriin : Merupakan bentuk plural dari kafir. Yaitu orang yang mendustakan Allah atau mendustakan salah satu ayat-ayat Allah, atau mendustakan salah satu rasul-rasul Allah, atau dengan menolak taat kepadaNya. Makna ayat : Allah Ta’ala mengingatkan hamba-hambaNya dengan ilmu, kebijaksanaanNya, serta karuniaNya atas mereka dalam firmanNya: وَإِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ “Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam..” (QS. Al-Baqarah : 34). Perintah sujud ini merupakan bentuk penghormatan kepada Adam. Maka para malaikat bersujud kecuali Iblis. Merasa dirinya lebih tinggi dan mulia sehingga rasa sombong dan hasad mencegahnya untuk taat kepada Allah dan memberi penghormatan kepada Adam. Dikarenakan rasa sombong dan dengki kepada Adam karena kemuliaannya. Oleh karena itu Iblis digolongkan ke dalam barisan para kafir dan fasiq dari perintah Allah, karena tidak mau taat kepadaNya. Hal inilah yang membuatnya pantas untuk dijadikan berputus asa dan dijauhkan dari kebaikan. Pelajaran dari ayat 34 : 1. Mengingatkan akan karunia dari Allah terhadap perkara yang wajib untuk disyukuri serta mendorong untuk melakukannya. 2. Peringatan keras dari sifat sombong dan dengki dimana keduanya adalah sebab dijauhkannya setan dari kebaikan, termasuk juga sebab yang menjadikan orang Yahudi tidak mau menerima Islam. 3. Penetapan permusuhan Iblis, dan peringatan bahwa dia adalah musuh yang harus dijadikan musuh untuk selamanya. 4. Peringatan bahwa ada beberapa maksiat termasuk dalam kekufuran dan ada juga yang dapat mengantarkan kepada kekufuran.

Aisarut Tafasir / Abu Bakar Jabir al-Jazairi, pengajar di Masjid Nabawi Sebagai pemuliaan Allah kepada Adam 'alaihis salam. Sujud di sini adalah sujud penghormatan kepada Adam, bukan sebagai sujud memperhambakan diri, karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah Ta'ala. Iblis enggan untuk sujud karena sombong dan dengki, sehingga ia termasuk golongan yang ingkar kepada Allah dan durhaka kepada perintah-Nya.


Share:

Wednesday, April 17, 2019

Alah Memperkenalkan Nama-Nama Benda


Surat Al-Baqarah Ayat 33

قَالَ يَٰٓـَٔادَمُ أَنۢبِئۡهُم بِأَسۡمَآئِهِمۡۖ فَلَمَّآ أَنۢبَأَهُم بِأَسۡمَآئِهِمۡ قَالَ أَلَمۡ أَقُل لَّكُمۡ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ غَيۡبَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَأَعۡلَمُ مَا تُبۡدُونَ وَمَا كُنتُمۡ تَكۡتُمُونَ 
"Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

Isi Kandungan
 Allah ta'ala berfirman: “wahai Adam beritahukanlah nama-nama benda tersebut kepada mereka yang tidak sanggup mereka ketahui”. Dan setelah Adam Alaihissalam memberitahukan kepada mereka nama-nama itu,  Allah berfirman kepada malaikat: “sungguh Aku telah mengabarkan kepada kalian bahwa Aku ini lebih mengetahui apa-apa yang samar bagi kalian baik di langit maupun di bumi, dan Aku lebih mengetahui terhadap apa yang kalian tampakkan maupun rahasiakan.”

Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia menjelaskan bahwa وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ (dan Aku mengetahui apa yang kamu tampakkan) dari Ibnu Abbas, ia berkata: kalimat ini untuk menjelaskan firman Allah: أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?” وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ (dan apa yang kamu sembunyikan) yakni kesombongan yang disembunyikan Iblis dalam hatinya.

Zubdatut Tafsir / Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, menjelaskan bahwa Allah memerintahkan Adam untuk mengabarkan kepada para malaikat tentang nama-nama yang telah disampaikan kepada mereka. Allah berfirman kepada para malaikat: “Bukankah Aku telah mengabarkan kepada kalian bahwa sesungguhnya Aku lebih mengetahui tentang sesuatu yang ghaib di langit dan bumi daripada kalian dan hal itu juga kalian saksikan. Aku mengetahui apa yang kalian tampakkan dari ucapan kalian dan apa yang kalian sembunyikan dalam diri kalian”

Tafsir Al-Wajiz / Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili menjelaskan : Makna kata : غَيۡبَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ Ghoibas samaawaati : Sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh penglihatan di seluruh langit dan bumi. تُبۡدُونَ Tubduuna : Apa yang kalian nampakkan, yaitu ucapan malaikat pada firman Allah Ta’ala “Apakah Engkau akan menjadikan di bumi orang yang akan berbuat kerusakan padanya...” تَكۡتُمُونَ Taktumuuna : Apa yang kalian sembunyikan dan rahasiakan. Adapun yang dimaksud adalah apa yang disembunyikan oleh Iblis dalam hatinya berupa pelanggaran perintah Allah Ta’ala dan tidak mau taat kepadaNya. Al-Hakiim : Yang Maha Bijaksana, adalah Dzat yang meletakkan sesuatu pada tempatnya. Tidaklah ia melakukan sesuatu atau tidak melakukannya didasarkan pada kebijaksanaanNya. Makna ayat : Kemudian Allah Ta’ala berkata kepada Adam ‘alaihisalam “Beritahukanlah kepada mereka nama-nama makhluk yang ditampilkan di hadapanmu itu.” Maka Adam memberitahukan nama-nama itu satu persatu sampai-sampai menyebutkan nampan dan piring. Dari sini terlihat kemuliaan Adam dibandingkan para malaikat. Kemudian Allah menegur mereka dalam firmanNya,”Bukankah sudah Aku katakan kepada kalian, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui segala apa yang kalian tampakkan dan apa yang kalian sembunyikan.” Pelajaran dari ayat : Kebolehan untuk menegur seseorang yang mengakui memiliki keahlian dalam suatu bidang padahal aslinya tidak memiliki.

Aisarut Tafasir / Abu Bakar Jabir al-Jazairi, menjelaskan; Yakni nama-nama benda yang mereka tidak mengetahuinya. Setelah Adam memberitahukannya, Allah Ta'ala menegaskan bahwa Dirinya lebih mengetahui hal yang samar bagi mereka baik di langit maupun di bumi dan Dia mengetahui apa yang mereka nyatakan dan apa yang mereka sembunyikan. Rahasia atau ghaib adalah yang tidak kita ketahui dan tidak dapat kita saksikan. Jika Allah Ta'ala mengetahui yang rahasia, apalagi yang nampak atau kelihatan.

Share:

Friday, April 12, 2019

Shalat Sebagai Pilar Agama


Kita sebagai umat muslim tentunya tahu bahwasanya shalat itu wajib, dan shalat merupakan pilar atau tiang agama. Namun tidak sedikit manusia yang melupakan shalat karena urusan duniawi nya.  Begitu sedih kita melihat lelaki yang tak mau pergi ke mesjid untuk shalat, terkecuali ia telah menjadi jenazah, karena semasa hidupnya begitu berat ia melangkahkan kaki menuju mesjid. Masyaallah jangan sampai kita seperti itu.
Shalat itu kewajiban, kita harus selalu menunaikan nya, diterima atau tidaknya shalat kita, itu urusan Allah swt, yang terpenting kita sebagai manusia sudah berusaha menjalankan perintahnya dengan baik.
Kedudukan shalat lima waktu  adalah ibarat tiang penopang dari suatu kubah atau kemah. Tiang penopang yang dimaksud di sini adalah tiang utama. Artinya jika tiang utama ini roboh, maka tentu suatu kubah atau kemah akan roboh.
Dari Mu’adz bin Jabal, Nabi Muhammad SAW bersabda,
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ
“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2616 dan Ibnu Majah no. 3973. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Dalam hadits ini disebut bahwa shalat dalam agama Islam adalah sebagai tiang penopang yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.
Shalat dalam Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, sehingga Rasulullah menyatakan bahwa shalat tiang agama Islam.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
اَلصَّلاَةُ عِمَادُ الدّيْنِ فَمَنْ اَقَامَهَا فَقَدْ اَقَامَ الدّيْنِ وَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ هَدَمَ الدّيْنِ
 “Shalat adalah tiang agama. Barang siapa yang menegakkan shalat,maka berarti ia menegakkan agama, dan barang siapa yang meninggalkan shalat berarti ia merobohkan agama”. (HR. Bukhari Muslim)
Hadits di atas merupakan suatu rujukan bahwa tegak dan tidaknya agama Islam pada diri seorang muslim tergantung pada keistiqamahan seorang hamba dalam melaksanakan shalatnya. Shalat tidak hanya dimaknai sebatas kewajiban, tetapi ruh shalat harus bisa memberikan warna yang sangat positif pada perilaku seorang hamba yang terpancar pada kesungguhan untuk selalu menaati Allah dan menjauhkan diri dari perilaku maksiat dan mungkarat.
Jadi jika mengaku sebagai umat muslim, kita harus selalu menunaikan shalat fardu. Percuma kita berbuat amalan baik sebanyak-banyak nya tapi kita tidak mengerjakan shalat, maka amalan tersebut percuma saja, akan hilang dan roboh, sebab shalat sebagai tiang nya tak ada, maka bagaimana akan kuat. Sebagai tiang agama, maka harus ada makna dan nilai setiap orang melaksanakan shalat, sebagaimana diuraikan oleh Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihyaa Ulumuddin, yakni:
1.Hudhurul Qolbi (menghadirkan jiwa). Ketika melaksanakan shalat harus konsentrasi penuh semata-mata menghadap kepada Allah dan mengharap keridhaan-Nya. Segala hal yang bersifat keduniaan harus kita lupakan sejenak, agar kita tidak termasuk ke dalam golongan orang yang celaka, karena tergolong yang melalaikan shalat.
Firman Allah SWT.:
فَوَيْلُ لّلْمُصَلّيْن . اَلَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْن.
 “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya”. (Surah Al-Ma’un : 4-5)
2. Tafahhum; yakni menghayati apa saja yang dikerjakan dalam shalat, baik berupa bacaan maupun gerakan anggota badan lainnya. Karena di dalamnya tersimpan makna pernyataan kesiapan, janji dan kepasrahan secara total kepada Allah SWT. sebagaimana Firman-Nya :
وَاَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِيْ
“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (Surah Thaha ; 14)
3. Ta’zhim; artinya sikap mengagungkan Allah yang disembahnya serta adanya kesadaran secara total bahwa manusia adalah sangat kecil di hadapan Sang Pencipta, Allah Yang Maha Agung
4. Al-Khouf; yakni rasa takut kepada Allah yang dilandasi rasa hormat kepada-Nya.
5. Ar-Roja’; yakni harapan untuk mendapatkan rahmat dan ridha-Nya,
6. Al-Haya’; yakni rasa malu kepada Allah, karena apa yang dipersembahkan kepada-Nya sama sekali belum sebanding dengan rahmat dan karunia yang telah diberikan-Nya kepada kita.
Dengan mampu menghadirkan makna dan nilai-nilai shalat di atas, maka secara bertahap akan timbul harapan bahwa akan ada hubungan timbal balik antara ibadah ritual dalam ibadah shalat sebagai tiang agama dengan nilai-nilai yang tersembunyi di dalamnya, yang akan dapat menghiasi kehidupan setiap muslim dalam kehidupan pribadi sehari-hari dan akan terbiasa dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Share:

Wednesday, April 3, 2019

Isra Mi'raj dan Sains



سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ 

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al-Isra : 1 ]

Isra` Mi`raj dan Sains merupakan dua hal yang mempunyai hubungan mutually exclusive dalam klasifikasi pengetahuan manusia. Isra` Mi`raj jelas merupakan satu bahasan dalam metafisika, dan secara prinsipil ruang bahasan metafisika berbeda dengan ruang bahasan saintek. Sains membahas hukum-hukum alam material yang empiris, sains menjawab pertanyaan what dan why dan teknologi menjawab pertanyaan for what. Sedang metafisika membahas hukum-hukum umum alam, terutama alam immaterial yang jelas non-empiris.
Mungkin sebagian orang beranggapan, ” Sulit bagi kita untuk memahami Isra` Mi`raj di abad sains dan teknologi ini. Sains modern telah menemukan bahwa kecepatan maksimum materi adalah kecepatan cahaya di ruang hampa (c = 300.000 km/dt). Seperti yang telah kita ketahui cahaya merambat memerlukan waktu 500 detik ( 8,333 menit) untuk menempuh jarak bumi-matahari, dan ia perlu merambat selama 50.000 tahun hanya untuk melintasi radius galaksi Bima Sakti (The Milky Way), padahal galaksi yang ada di alam ini yang terobservasi sampai saat ini diperkirakan ada ratusan juta. Bagaimana mungkin, seseorang manusia melintasi itu semua dalam waktu semalam?”
Argumen seperti ini benar-benar menunjukkan kesalahan sistematik kronis suatu sistem berfikir yang masih bisa disebut sebagai “otak”. marilah kita bahas beberapa kesalahan berfikir yang terdapat dalam argumen tersebut.
Pertama, di balik argumen tersebut terdapat suatu anggapan bahwa Isra` Mi`raj adalah suatu perjalanan yang bersifat murni material. Nabi dianggap berjalan dari satu titik ruang tertentu (Masjid Al-’Aqsha) di alam ini kesatu titik ruang tertentu di balik ujung langit (Sidratul-Muntaha) , dan menemui Tuhan di sana. Apakah mungkin bagi Tuhan terikat pada “ke-dimana-an”? Padahal Dia-lah Yang Maha Mutlak. Tidak Terbatas. Karena jika ada sesuatu yang membatasinya berarti ada sesuatu yang lebih kuasa dari-Nya. Subhanallahi ‘amma yashifuun. Perhatikan ayat berikut ini; ” Wa idzaa sa`alaka ‘ibaadi ‘annii fa innii qariib”(QS Al-Baqarah 186). Allah Yang Maha Dekat terhadap Anda, terhadap saya, terhadap kita semua. Dan tentu tidak mungkin menafsirkan ayat ini dengan mengartikan dekat dalam pengertian “ke-dimana-an” material seperti di atas.
Kedua, sekiranya sekali lagi sekiranya anggapan di atas benar pun, apakah benar bahwa perjalanan ini tidak mungkin secara logis? Mungkin perlu bagi kita untuk meninjau kembali berbagai jenis kemungkinan.
Pertama, adalah kemungkinan empiris, contohnya adalah naik gunung Himalaya mungkin secara empiris.
Kedua, adalah kemungkinan saintifik, contohnya adalah mungkin membuat kereta api yang melayang di atas relnya dengan energi superkonduktor. Walaupun kereta ini belum ada secara empiris namun secara saintifik ini mungkin. Kemungkinan saintifik dan kemungkinan empiris ini relatif, berubah terhadap ruang dan waktu dan tidak bisa dipegang sebagai satu kebenaran mutlak. Secara saintifik tidak mungkin bagi seseorang masih hidup jika jantungnya telah tidak berdenyut selama seratus hari, tapi kenyataannya secara empiris ada ahli-ahli yoga India yang mampu melakukannya.
Secara empiris tidak mungkin untuk bergerak dengan kecepatan 1000 kali kecepatan suara saat ini, padahal secara saintifik itu sangat mungkin (1000 kali kecepatan suara = 0,001 kali kecepatan cahaya). Secara empiris, dulu tidak mungkin orang bisa pergi ke bulan, sedang sekarang secara empiris hal itu jelas-jelas mungkin. Secara saintifik, dulu tidak mungkin bagi seseorang untuk memahami eksistensi gelombang elektromagnetik, tapi sejak Maxwell menemukannya sekarang semua mahasiswa memahaminya. Bahkan secara empiris, kita telah menikmati manfaatnya melewati TV, radio, dll.
Jenis kemungkinan ketiga adalah, kemungkinan logis. Sesuatu disebut mungkin secara logis, jika ia tidak melanggar prinsip non-kontradiksi. Apa contoh sesuatu yang tidak mungkin secara logis? Misal; sesuatu ada sekaligus tidak ada di suatu tempat dan waktu tertentu secara bersamaan. Apa contoh lain? Misal; adanya lingkaran sempurna yang luasnya tidak berbanding lurus dengan kuadrat jari-jari. Apa contoh lain yang mudah? Misal; membagi tiga keping uang seratusan logam secara merata kepada dua orang tanpa perlu membagi/menukarkan keping tersebut. Dan lain-lain.
Kemungkinan logis ini tidak relatif, tapi mutlak. Tidak tergantung ruang dan waktu. Tidak tergantung kasus apapun. Ia berlaku universal. Kemungkinan logis inilah yang dapat dipakai sebagai satu ukuran logis atau tidak logis nya sesuatu secara umum.
Ditinjau dari kemungkinan logis ini, misalnya, sekali lagi misalnya kita anggap asumsi model perjalanan Isra` Mi`raj yang material itu pun kita terima, tidak ada kontradiksi logis apapun di sana. Kejadian tersebut tidak melanggar prinsip non-kontradiksi. Jadi ya, sahih. Atau mungkin-mungkin saja secara logis.
Sedikit lebih jauh lagi, apakah Anda mendengar suatu eksperimen akhir-akhir ini yang telah membantah Teori Relativitas dengan ditemukannya partikel yang bergerak lebih cepat dari cahaya? Mari kita tinggalkan kerangka empirisme dan saintifik yang relatif dalam memahami hal-hal yang bersifat absolut. Kembali ke struktur berfikir yang jernih dan logis.
Apa satu hikmah Isra` Mi`raj bagi kita? Minimal, kita menjadi menyadari pentingnya berfikir di luar kerangka empirisme dan sains yang amat relatif. Kemudian, kita menyadari kemungkinan logis yang jauh lebih luas dan umum dari sekedar empirisme inderawiah dan saintek materialis yang dangkal. Dan mungkin, kita akan menyadari makna immaterialitas perjalanan Isra` Mi`raj Nabi Suci, jauh di atas sekedar keajaiban-nya yang mengatasi alam materi ini.
Kita teringat ada satu makhluk manusia yang teramat mulia. Tubuh materialnya telah terspiritualisasi sempurna menjadi Cahaya yang lebih terang dari seluruh Cahaya material maupun immaterial lain. Seluruh wujud-nya mengalami perjalanan, atau mungkin kita lebih suka menyebutnya sebagai transformasi atau dalam istilah filsafatnya gerakan substansial (harakah al-jauhariyah), sehingga dikatakan ia mencapai “jarak substansial” terdekat terhadap Hakikat Agung Zat Suci Yang Maha Agung Maha Semarak di antara semua makhluk lain yang dicipta. Ia-lah Muhammad, Kekasih-kita, Junjungan-kita, dalam seluruh hidup kita. Dia-lah Nabi Muhammad SAW.

Share:

Monday, April 1, 2019

Melaksanakan Perintah Sesuai Kemampuan


HADIS ARBAIN KE-9

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ . [رواه البخاري ومسلم]
Dari Abu Hurairah, 'Abdurrahman bin Shakhr radhiallahu 'anh, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : "Apa saja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi dan apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka (tidak mau taat dan patuh)"  [Bukhari no. 7288, Muslim no. 1337]

Hadis ini terdapat dalam kitab Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah berkhutbah dihadapan kami, sabda beliau : Wahai manusia, Allah telah mewajibkan kepada kamu haji, karena itu berhajilah, lalu seseorang bertanya : Wahai Rasulullah… apakah setiap tahun ?, Rasulullah diam, sampai orang itu bertanya tiga kali, lalu Rasulullah bersabda : Kalau aku katakana “ya” niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup melakukannya, kemudian beliau bersabda lagi : Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan, karena kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka. Maka jika aku perintahkan melakukan sesuatu, kerjakanlah menurut kemampuan kamu, tetapi jika aku melarang kamu melakukan sesuatu, maka tinggalkanlah. Laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah adalah Aqra’ bin Habits, demikianlah menurut suatu riwayat.

Para ahli ushul fiqh mempersoalkan perintah dalam agama, apakah perintah itu harus dilakukan berulang-ulang ataukah tidak. Sebagian besar ahli fiqh dan ahli ilmu kalam menyatakan tidak wajib berulang-ulang. Akan tetapi yang lain tidak menyatakan setuju atau menolak, tetapi menunggu penjelasan selanjutnya. Hadits ini dijadikan dalil bagi mereka yang bersikap menanti (netral), karena sahabat tersebut bertanya “Apakah setiap tahun?” sekiranya perintah itu dengan sendirinya mengharuskan pelaksanaan berulang-ulang atau tidak, tentu Rasulullah tidak menjawab dengan kata-kata “Kalau aku katakan “ya”, niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup melakukannya” Bahkan tidak ada gunanya hal tersebut ditanyakan. Akan tetapi secara umum perintah itu mengandung pengertian tidak perlu dilaksanakan berulang-ulang. Kaum muslim sepakat bahwa menurut agama, bahwa haji itu hanya wajib dilakukan satu kali seumur hidup.

Kalimat, “Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan” secara formal menunjukkan bahwa setiap perintah agama tidaklah wajib dilaksanakan berulang-ulang, kalimat ini juga menunjukkan bahwa pada asalnya tidak ada kewajiban melaksanakan ibadah sampai datang keterangan agama. Hal ini merupakan prinsip yang benar dalam pandangan sebagian besar ahli fiqh.

Kalimat, “Kalau aku katakan “ya” tentu menjadi wajib” menjadi alasan bagi pemahaman para salafush sholih bahwa Rasulullah mempunyai wewenang berijtihad dalam masalah hukum dan tidak diisyaratkan keputusan hukum itu harus dengan wahyu.

Kalimat, “apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu” merupakan kalimat yang singkat namun padat dan menjadi salah satu prinsip penting dalam Islam, termasuk dalam prinsip ini adalah masalah-masalah hukum yang tidak terhitung banyaknya, diantaranya adalah sholat, contohnya pada ibadah sholat, bila seseorang tidak mampu melaksanakan sebagian dari rukun atau sebagian dari syaratnya, maka hendaklah ia lakukan apa yang dia mampu. Begitu pula dalam membayar zakat fitrah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, bila tidak bisa membayar semuanya, maka hendaklah ia keluarkan semampunya, juga dalam memberantas kemungkaran, jika tidak dapat memberantas semuanya, maka hendaklah ia lakukan semampunya dan masalah-masalah lain yang tidak terbatas banyaknya. Pembahasan semacam ini telah populer didalam kitab-kitab fiqh. Hadits diatas sejalan dengan firman Allah, QS. At-Taghabun 64:16, “Maka bertaqwalah kepada Allah menurut kemampuan kamu” Adapun firman Allah, QS. Ali ‘Imraan 3:102, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang sungguh-sungguh” ada yang berpendapat telah terhapus oleh ayat diatas. Sebagian ulama berkata : Yang benar ayat tersebut tidak terhapus bahkan menjelaskan dan menafsirkan apa yang dimaksud dengan taqwa yang sungguh-sungguh, yaitu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, dan Allah memerintahkan melakukan sesuatu menurut kemampuan, karena Allah berfirman, QS. Al-Baqarah 2:286, “Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya” dan firman Allah dalam QS. Al-Hajj 22:78, “Allah tidak membebankan kesulitan kepada kamu dalam menjalankan agama”

Kalimat, “apa saja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi” maka hal ini menunjukkan adanya sifat mutlak, kecuali apabila seseorang mengalami rintangan /udzur dibolehkan melanggarnya, seperti dibolehkan makan bangkai dalam keadaan darurat, dalam keadaan seperti ini perbuatan semacam itu menjadi tidak dilarang. Akan tetapi dalam keadaan tidak darurat hal tersebut harus dijauhi karena ada larangan. Seseorang tidak dapat dikatakan menjauhi larangan jika hanya menjauhi larangan tersebut dalam selang waktu tertentu saja, berbeda dengan hal melaksanakan perintah, yang mana sekali saja dilaksanakan sudah terpenuhi. Inilah prinsip yang berlaku dalam memahami perintah secara umum, apakah suatu perintah harus segera dilakukan atau boleh ditunda, atau cukup sekali atau berulang kali, maka hadits ini mengandung berbagai macam pembahasan fiqh.

Kalimat, “Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka” disebutkan setelah kalimat, “biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan kepada kamu” maksudnya ialah kamu jangan banyak bertanya sehingga menimbulkan jawaban yang bermacam-macam, menyerupai peristiwa yang terjadi pada bani Israil, tatkala mereka diperintahkan menyembelih seekor sapi yang seandainya mereka mengikuti perintah itu dan segera menyembelih sapi seadanya, niscaya mereka dikatakan telah menaatinya.

Akan tetapi, karena mereka banyak bertanya dan mempersulit diri sendiri, maka mereka akhirnya dipersulit dan dicela. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam khawatir hal ini akan terjadi pada umatnya. Oleh karena itu, laksanakan segala perintah sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.
Share:

Konsultasi dengan Gus Abduh

Data Kunjungan