“Teroeskan membina Tarbijah Islamijah sesoeai dengan peladjaran
jang koeberikan..! Tjandoeng, 26 Djuli 1970, Sjech Soelaiman Ar-Rasoeli”.
Begitulah pesan terakhir ulama besar ini yang tertulis pada
makamnya, di halaman pesantren salafiyah Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Candung.
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli al-Minangkabawi atau Inyiak Canduang -begitu ia
dijuluki- lahir di Desa Candung, sekitar 10 km sebelah timur kota Bukittinggi,
Sumatera Barat, pada 1287 H/1871 M.
Ia adalah seorang tokoh ulama dari golongan Kaum Tuo (golongan
ulama yang tetap mengikuti salah satu dari empat mazhab fikih) yang gigih
mempertahankan ajaran ahl al-sunnah dalam masalah akidah dan fikih. Ayahnya
bernama Angku Mudo Muhammad Rasul, adalah seorang ulama yang disegani di
daerahnya, sedangkan ibunya, Siti Buliah, seorang wanita yang taat beragama.
Ia yang dikenal oleh para muridnya dengan nama Maulana Syeikh
Sulaiman, memperoleh pendidikan awal sejak kecil; terutama pendidikan agama
langsung dari ayahnya. Selanjutnya ia belajar di pesantren Tuanku Sami’ Ilmiyah
di Desa Baso, tidak jauh dari desanya. Setelah itu ia belajar kepada Syeikh
Muhammad Thaib Umar di daerah Sungayang. Pada masa itu masyarakat Minang masih
menggunakan sistem pengajian surau atau sistem Salafiyah sebagai sarana transfer
pengetahuan keagamaan. Kemudian ia belajar kepada Syeikh Muhammad Thaib Umar
dan kepada Syeikh Abdullah Halaban.
Sebelum berangkat ke Mekah pada tahun 1903 M dengan misi tafaqquh
fî al-dîn, ia sempat belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi, Bukittinggi.
Ketika tinggal di Mekah, selain kepada Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif
al-Minangkabawi, ia juga belajar kepada para ulama lain, di antaranya: Syeikh
Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani, Syeikh
Muhammad Zain al-Fathani, Syeikh Ali Kutan al-Kelantani, Syeikh Mukhtar
al-Tharid, Syeikh Nawawi al-Bantani, Sayyid Umar Bajened dan Syeikh Sayyid
Abbas al-Yamani.
Adapun ulama yang seangkatan dengan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli
ketika di Mekah antara lain adalah Syeikh Utsman Serawak (w.1921 M), Tok Kenali (w.1933 M), Syeikh
Hasan Maksum, Sumatera Utara (w.1936 M), KH. Hasyim Asy’ari (w.1947 M), Syeikh
Muhammad Zein Simabur, Mufti Kerajaan Perak Tahun 1955 (w.1957 M), Syeikh Abdul
Lathif al-Syakur al-Minangkabawi (w.1963 M). Adapun ulama yang terakhir ini,
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli bertemu dengannya di Mekkah tidak berapa lama, yaitu
pada pertengahan tahun 1903. Karena Syeikh Abdul Lathif al-Syakur kembali ke
tanah air pada akhir tahun 1903 setelah belajar di Mekkah selama 13 tahun.
Baca Juga : Mengenal Syekh
Salim Bin Sumair, Pengarang Kitab "Safinah"
Sekembalinya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli dari Mekkah pada tahun 1907
M, ia mulai mengajar berdasarkan sistem pondok yaitu dengan halaqah. Tetapi
sesuai dengan perubahan yang terjadi di Minangkabau, pengajian sistem pondok
berubah menjadi sistem sekolah, yaitu duduk di bangku pada tahun 1928 dan
menggunakan sistem kelas. Walaupun demikian kitab-kitab yang diajarkan tidak
pernah diubah sampai saat ini, baik kitab-kitab akidah, tasawuf dan fikih.
Perjuangan
Selain aktif di dunia pendidikan agama, ia juga aktif di kancah
politik dan organisasi. Sejak tahun 1921, ia dengan teman akrabnya, Syeikh
Abbas dan Syeikh Muhammad Jamil, serta sejumlah ulama Kaum Tuo Minangkabau,
membentuk organisasi bernama Ittihâdu Ulamâ Sumatra (Persatuan Ulama Sumatera)
yang bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham Ahl al-Sunnah wa
al-Jamâah. Di samping itu, ia juga gigih mempertahankan ajaran Tarekat
Naqsyabandiyyah yang sesuai dengan manhaj Ahl al-Sunnah wa al-Jamâah. Sejarah
perjuangan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli adalah dalam mengembangkan sumber daya
masyarakat. Secara faktual ada beberapa basis yang dibangun olehnya, sehingga
menjadi piranti bagi perjuangan rakyat Sumatera Tengah (mencakup Sumatra Barat,
Riau dan Jambi).
Pertama, reformasi sistem pendidikan agama sebagai modal perjuangan
rakyat dalam meningkatkan sumber daya manusia. Siklus dari reformasi yang
dilakoni Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli ialah membentuk Madrasah Tarbiyah Islamiyah
(MTI). Proses berdirinya MTI ini didahului dengan musyawarah antara ulama-ulama
yang dilaksanakan di Candung pada tanggal 5 Mei 1928. Di antara ulama yang
menghadiri rapat ini ialah: Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Syeikh Abbas Al-Qadhi
dari Ladang Laweh Bukittinggi, Syeikh Ahmad dari Suliki, Syeikh Jamil Jaho dari
Padang Panjang, Syeikh Abdul Wahid Ash-Shaleh dari Tabek Gadang, Syeikh Muhammad
Arifin dari Batu Hampar, Syeikh Alwi dari Koto Nan Ampek Payakumbuh, Syeikh
Jalaluddin dari Sicincin Pariaman, Syeikh Abdul Madjid dari Koto Nan Gadang
Payakumbuh. Secara genetik, MTI yang ia dirikan merupakan poros dari eksistensi
MTI-MTI yang tersebar di Nusantara, tercatat sampai sekarang ada sekitar 216
MTI yang eksis di Sumatera Barat.
Kedua, pada tanggal 28 Mei 1930 ia memprakarsai berdirinya PERTI
(Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang berfungsi sebagai pengelola MTI-MTI yang
berada di bawah naungannya. Namun disebabkan gejolak reformasi pada tahun 1946,
PERTI yang khittah-nya bergerak sebagai organisasi sosial keagamaan beralih
fungsi menjadi partai politik. Peralihan fungsi PERTI ini menjadi partai
politik disebabkan argumen KH. Sirajuddin Abbas muridnya “Agama juga harus
memberi arah pada perjuangan politik bangsa”. Namun pada tanggal 1 Mei 1969 ia
mengeluarkan dekrit agar PERTI kembali kepada khittah-nya sebagai organisasi
yang bergerak di bidang sosial dan keagamaan.
Pengaruh
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli adalah seorang ulama besar yang
berpengaruh terhadap kawan maupun lawan. Sejak zaman pemerintahan Belanda, ia
sering dikunjungi pemimpin-pemimpin bangsa. Bahkan sebelum Soekarno menjadi
presiden hingga berkuasa, sering berkunjung ke rumahnya. Pada zaman kemerdekaan
ia sempat diamanatkan oleh Soekarno sebagai anggota Konstituante RI, dan
ditempatkan sebagai Dewan Kehormatan dengan menjadi pemimpin sidang pada
sidang-sidang Konstituante tersebut. Pada tahun 1947 ia juga diamanatkan oleh
Sutan Muhammad Rasyid sebagai kepala Mahkamah Syar’iyyah propinsi Sumatera
Tengah. Tugasnya adalah mengurus problematika syar’iyyah dan sekaligus ulama
yang berperan sebagai pengobar semangat perjuangan rakyat dalam rangka mempertahankan
kemerdekaan negara.
Pada masa itu juga, sebagaimana dituturkan oleh salah seorang
muridnya, Abuya Amilizar Amir, bahwa Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli pernah akan
ditangkap oleh tentara Belanda. Namun pada saat mengajar, ia berfirasat akan
ditangkap. Ketika menyadari hal itu, yang biasanya berada di tempat pengajaran,
ia keluar dan berjalan di jalan desanya bukan untuk melarikan diri. Silang
beberapa saat, kendaraan yang membawa tentara Belanda yang bertujuan untuk
menangkapnya lewat. Tepat dihadapannya tentara Belanda berhenti, ia pun
langsung bertanya, “Hendak kemana tuan-tuan semuanya?”
Ketika itu tentara Belanda tidak mengenal wajah Syeikh Sulaiman
Ar-Rasuli. Namun mereka berpatokan kepada siapa yang sedang mengajar di MTI
itulah Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli. Dan memang pada hari itu satu-satunya yang
mengajar di MTI adalah beliau. Oleh karenanya mereka menjawab, “Kami hendak
bertemu dan menangkap Syeikh Sulaiman”. Malah ia menawarkan mereka singgah
untuk beristirahat di rumahnya sembari mengatakan, “Alangkah baiknya tuan-tuan
singgah terlebih dahulu di rumah saya, karena tuan-tuan pasti akan bertemu
dengan orang yang tuan-tuan cari”.
Setelah beristirahat dan berbincang-bincang dengannya, lalu mereka
bertanya, “Mana Syeikh Sulaiman yang tuan katakan itu”? Ia menjawab, “Syeikh
Sulaiman yang tuan-tuan cari itu adalah saya sendiri”. Mereka merasa terkejut
ketika mendengarkan pengakuannya. Tetapi anehnya, mereka mengurungkan niat untuk
menangkap tanpa alasan yang jelas. Bahkan, mereka langsung meminta maaf. Inilah
di antara bentuk perlindungan Allah Swt kepada seorang ulama.
Karya-karya
Sebagai seorang ulama dan ahli adat, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli
telah melahirkan beberapa karya yang di antaranya banyak dipelajari oleh
pelajar Muslim Sumatera dan beberapa kawasan Nusantara lainnya. Di antara
karya-karyanya:
Dhiyâ’ al-Sirâj fî al-Isrâ’ wa al-Mi’râj
Tsamarah al-Ihsân fî Wilâdah Sayyid al-Insân
Dawâ’ al-Qulûb fî Qishshah Yusuf wa Ya’qûb
Risâlah al-Aqwâl al-Wasithah fî al-Dzikr wa al-Râbithah
Qaul al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân
Al-Jawâhir al-Kalâmiyyah
Al-Aqwâl al-Mardhiyyah
Sabîlu al-Salâmah fî Wird Sayyid al-Ummah
Aujaz al-Kalâm fî Arkân al-Shiyâm
Perdamaian Adat dan Syara’
Pengangkatan Penghulu di Minangkabau
Kisah Muhammad Arif dan belasan karya tulis lainnya.
Ia wafat pada 29 Jumadil Awal 1390 H/ 1 Agustus 1970 M. Pada hari
pemakamannya, diperkirakan ada tiga puluh ribu umat Islam hadir. Termasuk para
pemimpin dari dalam negeri, bahkan dari Malaysia. Bendera Merah-Putih
dikibarkan setengah tiang selama 3 hari berturut-turut. Kepergiannya
meninggalkan duka yang dalam bagi rakyat Indonesia, karena hilangnya salah
seorang ulama yang kharismatik. Jasanya sebagai perintis kemerdekaan dan
pengemban agama Islam tidak dapat dinilai hanya dengan penghargaan Oranye Van
Nassau dari pemerintah Belanda, Bintang Sakura dari pemerintah Jepang, serta
penobatan sebagai pahlawan perintis kemerdekaan dan dianugerahi tanda
penghargaan sebagai ulama pendidik. Namun yang lebih penting adalah bagaimana
semua komponen masyarakat mengintegrasikan nilai-nilai perjuangan Syeikh
Sulaiman Ar-Rasuli dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.