Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al
Banjari bin Abdullah bin Tuan Penghulu Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid
Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin
Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh
keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin
Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad
Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali
Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin
Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad
An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam
Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein
bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra
binti Rasulullah SAW.
Sejak dilahirkan, Muhammad Arsyad melewatkan masa
kecil di desa kelahirannya Lok Gabang, Martapura. Sebagaimana anak-anak pada
umumnya, Muhammad Arsyad bergaul dan bermain dengan teman-temannya. Namun pada
diri Muhammad Arsyad sudah terlihat kecerdasannya melebihi dari teman-temannya.
Begitu pula akhlak budi pekertinya yang halus dan sangat menyukai keindahan. Di
antara kepandaiannya adalah seni melukis dan seni tulis. Sehingga siapa saja
yang melihat hasil lukisannya akan kagum dan terpukau. Pada saat Sultan
Tahlilullah sedang bekunjung ke kampung Lok Gabang, sultan melihat hasil
lukisan Muhammad Arsyad yang masih berumur 7 tahun.
Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta
pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama
dengan anak-anak dan cucu Sultan. Di istana, Muhammad Arsyad tumbuh menjadi
anak yang berakhlak mulia, ramah, penurut, dan hormat kepada yang lebih tua.
Seluruh penghuni istana menyayanginya dengan kasih sayang. Sultan sangat
memperhatikan pendidikan Muhammad Arsyad, karena sultan mengharapkan Muhammad
Arsyad kelak menjadi pemimpin yang alim.
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari masuk lingkungan
istana Banjar pada usia 7-8 tahun. Latar belakang keluarganya tidak begitu
jelas. Tradisi lisan menyebut, waku iu beliau sudah mampu membaca Al-Qur’an
dengan sempurna. Sultan tahlilulah terkesan oleh kecerdaasnnya. Sultan
sendirilah yang minta kepada orang tua Syekh Arsyad agar anak itu didik di
istana bersama anak-anak dan cucu-cucu kerajaan. Sultan pula yang menikahkan
beliau dengan seorang perempuan bernama Bajut. Hanya, ketika isteri beliau mengandung, Syekh Arsyad minta dikirim belajar ke Mekkah atas biaya negara.
Kabarnya bekas pondikannya di kampung Syami’ah, Mekkah, masih dipelihara oleh
seorang syekh juga berasal dari Banjarmasin.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada
masyaikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru dia adalah Syekh ‘Athaillah
bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif
Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.
Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muhammad
Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad
melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan
sebagai khalifah.
Selain itu guru-guru Muhammad Arsyad yang lain
seperti Syekh Ahmad bin Abdul Mun'im ad Damanhuri, Syekh Muhammad Murtadha bin
Muhammad az Zabidi, Syekh Hasan bin Ahmad al Yamani, Syekh Salm bin Abdullah al
Basri, Syekh Shiddiq bin Umar Khan, Syekh Abdullah bin Hijazi asy Syarqawy,
Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz al Maghrabi, Syekh Abdurrahamn bin Sulaiman al
Ahdal, Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin al Fathani, Syekh Abdul Gani bin
Muhammad Hilal, Syekh Abis as Sandi, Syekh Abdul Wahab at Thantawy, Syekh
Abdullah Mirghani, Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari, dan Syekh Muhammad Zain
bin Faqih Jalaludin Aceh.Selama menuntut ilmu di sana, Syekh Muhammad Arsyad
menjalin persahabatan dengan sesama penuntut ilmu seperti Syekh Abdussamad al-Falimbani,
Syekh Abdurrahman Misri al-Jawi, dan Syekh Abdul Wahab Bugis sehingga mereka
dikenal sebagai Empat Serangkai dari Tanah Jawi (Melayu). Selama di Haramain, Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari selalu melakukan kontak dengan tanah air, sehingga beliau banyak
mengetahui perembangan yang terjadi di Nusantara.
Dengan demikian, beliau tidak kehilangan informasi
yang terjadi di tanah air beliau. Beliau baru kembali ke tanah air setelah
menetap di Mekkah selama 30 tahun dan di Madinah selama 5 tahun. Tepatnya
beliau kembali ke Martapura pada tahun1186 Hijriah bartepatan pada tahun 1773
Masehi.
Sekitar 30 tahun beliau belajar di sana. Dimasa
akhir-akhir studinya ia diberi izin mengajar di Masjidil Haram, selain memberi
fatwa. Salah satu persoalan yang pernah dikemukakan kepadanya, apakah Sultan
Banjar berhak menghukm orang yang tidak melaksanakan Shalat Jum’at dengan
pembayaran denda kepada Sultan. Itu lalu dimuat dalam kitab Fatawa, karangan
gurunya, Syekh Sulaiman Kurdi. Sebelum pulang ke tanah air,1773, beliau sempat
beberapa tahun pindah belajar ke Madinah, antara lain kepada Ibrahim
Az-Zam-Zam, yang mengajari ilmu falak, yang kelak menjadi salah satu bidang
keahliannya.
Syekh tidak langsung ke Martapura. Beliau mampir ke
Batavia dua bulan atas permintaan Abdurrahman al-Misri. Di sini beliau antara
lain membetulkan arah kiblat beberapa masjid. Di mihrab Masjid Jembatan Lima,
misalnya tertera catatand dalam bahasa Arab bahwa arah kiblat masjid itu
diputar kekanan sekitar 25 derajat oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Di Martapura Syekh disambut meriah oleh Sultan
Tamjidullah. Ikut pula bersama Syekh Abdul Wahab Bugis, kawan di Mekkah dulu
yang ia kawinkan dengan putrinya yang in absentia, Syarifah namanya. Hanya saja
di tanah air ternyata Syarifah menikah dengan Usman, bahkan, ia sudah punya
anak. Yang menikahkannya adalah sultan sendiri, selaku wali hakim. Pasa
tempatnya masing-masing, kedua perkawinan itu menjadi sah. Tapi, bagaimana
Syekh Arsyad mengambil keputusan hukum.
Sungguh unik. Beliau memeriksa saat terjadi
perkawinan itu berdasarkan keahliannya dalam ilmu falak dan mengingat perbedaan
waktu antara Martapura dan Mekkah. Hasilnya menunjukkan bahwa pernikahan yang
di Mekkah berlangsung hanya beberapa saat sebelum yang di Martapura. Atas dasar
ini, pernikahan Syarifah dengan Usman diputuskan. Abdul Wahab ditetapkan
sebagai suami Syarifah.
Demikian cerita rakyat. Tidak seorangpun dianggap
berdosa. Malahan kelak Syekh Arsyad mengangkat cucunya yang dari perkawinan
Syarifah-Usman sebagai Mufti pertama Kesultanan Banjar. Selanjutnya posisi ini
selalu diduduki keturunan Syekh Arsyad.
Beliau sendiri, meski penasehat sultan, tidak
tinggal dilingkungan istana. Beliau menempati tanah kosong di pinggiran kota,
yangmana beliau telah memagari terlebih dahulu sebelum di dakamnya dibangun
pemukiman. Sampai sekarang desa ini disebut Dalam Pagar. Di daerah transmigrasi
beliau bersama menantunya menggali saluran air baru untuk irigasi. Sehingga
kampung di daerah itu berkembang menjadi delapan buah. Salah satunya dinamakan
Sungai Tuan, sebagai peringatan atas jasa syekh.
Beliau wafat pada bulan Syawal, bertepatan pada
tanggal 13 Oktober 1812 M pada usia 102 tahun. Beliau wafat di daerah
Kesultanan Banjar dan dimakamkan di Kalampayan, Martapura, Kalimantan Selatan.
Adapun kitab karangan beliau yaitu Sabilul Muhtadin
lit-Tafaquh fi Amriddin yang artinya
menurut beliau sendiri adalah Jalan Segala Mereka yang Beroleh Petunjuk bagi
yang Menghasilkan Fiqih pada Pekerjaan Agama. Sampai sekarang kitab ini masih
bisa dijumpai di toko-toko kitab. Judul itu sendiri dijadikan nama Masjid Agung
Banjarmasin. Adapun untuk ilmu bathin beliau meulis kitab Kanzul Ma’rifah
yang artinya Gudang Pengetahuan.
Syekh Muhammad Arsyad menerima tarekat Samaniyah
dari as-Samani dan beliau dianggap sebagai ulama yang paling bertanggug jawab
atas tersebarnya tarekat Samaniyah di Kalimantan.
Beberapa kitab serta risalah lainnya, di antaranya
ialah:
1) Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat
Dua Puluh,
2) Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang
membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat.
3) Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita
serta tertib suami-isteri,
4) Kitabul Fara-idl, yaitu kitab tentang hukum
pembagian warisan.
5) Kitab an-Nikah, yaitu kitab tentang nikah.
0 comments:
Post a Comment