Dalam bahasa Arab, arriya’ (الرياء) berasal dari kata kerja raâ ( راءى) yang bermakna memperlihatkan. Riya’ merupakan memperlihatkan
sekaligsu memperbagus suatu amal ibadah dengan tujuan agar diperhatikan dan
mendapat pujian dari orang lain. Riya’ termasuk karena meniatkan ibadah selain
kepada Allah SWT.
Rasulullah SAW
bersabda yang artinya;
“Sesungguhnya amalan
itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya amalan seseorang itu akan dibalas
sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Adapun
amal perbuatan yang diridhai Allah SWT ialah yang diniatkan kepada Allah
semata, dikerjakan dengan ikhlas sesuai dengan kemampuan, tidak pilih kasih,
dan merupakan rahmat bagi seluruh alam. Sementara ibadah yang tidak akan
diterima oleh Allah merupaka amal ibadah yang dikerjakan dengan niat bukan
kepada Allah, tidak ikhlas karena ingin mendapat imbalan (bisa berupa pujian
atau penghargaan), serta mengada-ada.
Allah SWT berfirman
yang artinya;
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan
hartanya karena riya’ kepada manusia.” (Q. S. Al-Baqarah : 264).
Bersamaan dengan
sum’ah, riya’ merupakan perbuatan tercela dan masuk ke dalam syirik kecil.
Allah SWT berfirman yang artinya;
“Sesungguhnya
orang-rang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan
jika mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud
riya’ (dengan shalat itu) dihadapan manusia, dan tidaklah mereka dzkiri kepada
Allah kecuali sedikit sekali.” (Q. S. An-Nisa’ : 142)
Hukum Riya’
Riya’
ada dua jenis. Jenis yang pertama hukumnya syirik akbar. Hal ini terjadi jika
sesorang melakukan seluruh amalnya agar dilihat manusia, dan tidak sedikit pun
mengharap wajah Allah. Dia bermaksud bisa bebas hidup bersama kaum muslimin,
menjaga darah dan hartanya. Inilah riya’ yang dimiliki oleh orang-orang
munafik. Allah berfirman tentang keadaan mereka (yang artinya), “Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka .
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisaa’:142).
Adapun
yang kedua adalah riya’ yang terkadang menimpa orang yang beriman. Sikap riya’
ini terjadang muncul dalam sebagian amal. Seseorang beramal karena Allah dan
juga diniatkan untuk selain Allah. Riya’ jenis seperti ini merupakan perbuatan
syirik asghar.[1]
Jadi, hukum asal
riya’ adalah syirik asghar (syirik kecil). Namun, riya’ bisa berubah hukumnya
menjadi syirik akbar (syirik besar) dalam tiga keadaan berikut :
1. Jika seseorang
riya’ kepada manusia dalam pokok keimanan. Misalnya seseorang yang menampakkan
dirinya di hadapan manusia bahwa dia seorang mukmin demi menjaga harta dan darahnya.
2. Jika riya’ dan
sum’ah mendominasi dalam seluruh jenis amalan seseorang.
3. Jika seseorang
dalam amalannya lebih dominan menginginkan tujuan dunia, dan tidak mengharapkan
wajah Allah.[2]
Ibadah yang
Tercampur Riya’
Bagaimanakah
status suatu amalan ibadah yang tercampu riya’? Hukum masalah ini dapat dirinci
pada beberapa keadaan. Jika seseorang beribadah dengan maksud pamer di hadapan
manusia, maka ibadah tersebut batal dan tidak sah. Adapun jika riya’ atau
sum’ah muncul di tengah-tengah ibadah maka ada dua keadaan. Jika amalan ibadah
tersebut berhubungan antara awal dan akhirnya, misalnya ibadah sholat, maka
riya’ akan membatalkan ibadah tersebut jika tidak berusaha dihilangkan dan
tetap ada dalam ibadah tersebut. Jenis yang kedua adalah amalan yang tidak
berhubungan antara bagian awal dan akhir, shodaqoh misalnya. Apabila seseorang
bershodaqoh seratus ribu, lima puluh ribu dari yang dia shodaqohkan tercampuri
riya’, maka shodaqoh yang tercampuri riya’ tersebut batal, sedangkan yang lain
tidak.[3]
Jika Demikiain
Keadaan Para Sahabat, Bagaimana dengan Kita?
Penyakit
riya’ dapat menjangkiti siapa saja, bahkan orang alim sekali pun. Termasuk juga
para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum. Para sahabat adalah generasi terbaik
umat ini. Keteguhan iman mereka sudah teruji, pengorbanan mereka terhadap Islam
sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun demikian, Nabi shalallahu ‘alaihi wa
salaam masih mengkhawatirkan riya’menimpa mereka. Beliau bersabda, Sesuatu yang
aku khawatrikan menimpa kalian adalah perbuatan syirik asghar. Ketika beliau
ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab: ‘(contohnya) adalah riya’ ”[4]
Dalam
hadist di atas terdapat pelajaran tentang takut kapada syirik. Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam khawatir kesyirikan menimpa sahabat muhajirin dan anshor,
sementara mereka adalah sebaik-baik umat. Maka bagaimana terhadap umat selain
mereka? Jika yang beliau khawatirkan menimpa mereka adalah syirik asghar yang
tidak mengeluarkan dari Islam, bagaimana lagi dengan syirik akbar? Wal ‘iyadzu
billah !! [5]
Lebih Bahaya dari
Fitnah Dajjal
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Maukah kamu kuberitahu tentang
sesuatau yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada (fitnah)
Al masih Ad Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu saja”. Beliau bersabda,
“Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika sesorang berdiri mengerjakan
shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang
memperhatikannya “[6]
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa riya’ termasuk syirik khafi
yang samar dan tersembunyi. Hal ini karena riya’ terkait dengan niat dan
termasuk amalan hati, yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Tidak ada
seseorang pun yang mengetahui niat dan maksud
seseorang kecuali Allah semata. Hadist di atas menunjukkan tentang
bahaya riya’, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir riya’ menimpa
para sahabat yang merupakan umat terbaik, apalagi terhadap selain mereka.
Kekhawatiran beliau lebih besar daripada kekhawatiran terhadap ancaman fitnah
Dajjal karena hanya sedikit yang dapat selamat dari bahaya riya’ ini. Fitnah
Dajjal yang begitu berbahaya, hanya menimpa pada orang yag hidup pada zaman
tertentu, sedangkan bahaya riya’ menimpa seluruh manusia di setiap zaman dan
setiap saat.[7]
Berlindung dari
Bahaya Riya’
Berhubung
masalah ini sangat berbahaya seperti yang telah dijelaskan di atas, maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita sebuah
doa untuk melindungi diri kita dari syirik besar maupun syirik kecil.
Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita melalui sabdanya,
‘Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena syirik itu lebih samar
daripada rayapan seekor semut.’ Lalu ada orang yang bertanya, ‘Wahai
Rasulullah, bagaimana kami dapat menjauhi dosa syirik, sementara ia lebih samar
daripada rayapan seekor semut?’ Rasulullah berkata, ‘Ucapkanlah Allahumma inni
a’udzubika an usyrika bika wa ana a’lam wa astaghfiruka lima laa a’lam (‘Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari. Dan aku
memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui).”[8]
Mari introspeksi diri bagaimana amal-amal kita, apakah
sudah sesuai ajaran Islam? Semoga Allah lindungi kita dari segala perbuatan
yang bernilai riya.
Sumber :
[1]. I’aanatul Mustafiid bi Syarhi
Kitaabi at Tauhiid II/84. Syaikh Shalih Fauzan. Penerbit Markaz Fajr
[2]. Al Mufiid fii Muhimmaati at Tauhid
183. Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf. Cetakan pertama
1428/2007
[3]. Lihat Al Mufiid 183
[4]. Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam al
Musnad (V/428, 429) dan ath Thabrani dalam al Kabiir (4301) dan dishahihkan
oleh Syaikh al Albani dalam as Shahiihah (951) dan Shahiihul Jami’ (1551)
[5]. I’aanatul Mustafiid I/90
[6], H.R Ahmad dalam musnadnya.
Dihasankan oleh Syaikh Albani Shahiihul Jami’ (2604)
[7]. I’aanatul Mustafiid II/90
[8]. HR. Ahmad (4/403). dan Shahih at
Targhiib wa at Tarhiib (36).