Melatih dan Mencerahkan Jiwa

Dr. KH. Abduh Al-Manar, M.Ag.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah. Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

PAUD Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MI Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MTS Al-Iryadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Monday, January 28, 2019

Khianat


Diantara tanda hari kiamat adalah tersebarnya perbuatan khianat. Sekarang, lihatlah bagaimana perbuatan khianat dengan berbagai bentuknya sudah terjadi di berbagai negeri tak terkecuali Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim. Nabi Muhammad bersabda :

وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَظْهَرَ الْفُحْشُ وَالتَّفَاحُشُ، وَقَطِيعَةُ الرَّحِمِ، وَسُوءُ الْمُجَاوَرَةِ، وَحَتَّى يُؤْتَمَنَ الْخَائِنُ وَيُخَوَّنَ الْأَمِينُ

Tidak akan terjadi hari kiamat sehingga muncul perkataan keji, kebiasaan berkata keji, memutuskan kerabat, keburukan bertetangga, dan sehingga orang yang khianat diberi amanah (kepercayaan) sedangkan orang yang amanah dianggap berkhianat. [HR. Ahmad, no. 6514, dari Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu. Hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah dan Syaikh Syu’aib al-Arnauth rahimahullah]

MAKNA KHIANAT

Khianat adalah lawan dari amanah. Kalau amanah berarti melaksanakan kewajiban yang sudah disanggupi, maka khianat adalah kebalikannya. Yaitu: berlaku curang atau mengurangi, atau membatalkan kewajiban.

Al-Munawi rahimahullah berkata, “Khianat adalah menyia-nyiakan amanah. Ada yang mengatakan, khianat adalah menyelisihi kebenaran dengan membatalkan perjanjian secara rahasia.” [At-Tauqîf, hlm. 162]

Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Khianat adalah curang dan menyembunyikan sesuatu.” [Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, 7/395]

Al-Jâhizh berkata, “Khianat adalah melanggar sesuatu yang diamanahkan orang kepadanya, berupa harta, kehormatan, kemuliaan, dan mengambil milik orang yang dititipkan dan mengingkari orang yang menitipkan. Termasuk khianat juga tidak menyebarkan berita yang dianjurkan disebarkan, merubah surat-surat (tulisan-tulisan) jika dia mengurusinya dan merubahnya dari maksud-maksudnya”. [Tahdzîbul Akhlâq, hlm. 31]




BAHAYA-BAHAYA KHIANAT

Bahaya-bahaya khianat banyak sekali di antaranya:

1. Khianat adalah salah satu sifat orang munafik

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Dari Abu Hurairah z , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga yaitu apabila bercerita dia berdusta, apabila berjanji dia menyelisihi janjinya, dan apabila diberi amanah (kepercayaan) ia berkhianat”. [HR. Al-Bukhâri, no. 33, 2682, 2749, 6095 dan Muslim, no. 59]

2. Orang yang khianat tidak memiliki iman

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: مَا خَطَبَنَا نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا قَالَ: ” لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ، وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ

Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkhutbah kepada kami, melainkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki (sifat) amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya”. [HR. Ahmad, no. 12383, 12567, 13199; Ibnu Hibban, no. 194. Hadits ini dihukumi hasan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth dalam Takhrîj Musnad Ahmad; dan dan dihukumi shahih oleh Syaikh al-Albani di dalam Shahîh Jâmi’ush Shaghîr, no. 7179]

3. Orang yang khianat adalah calon penduduk neraka

Ketika menjelaskan calon-calon penghuni neraka, antara lain Nabi Muhammad SAW bersabda:

وَالْخَائِنُ الَّذِي لَا يَخْفَى لَهُ طَمَعٌ، وَإِنْ دَقَّ إِلَّا خَانَهُ

Pengkhianat, orang yang tidak samar sifat tamaknya, walaupun sesuatu yang kecil dia selalu berbuat khianat. [HR. Muslim, no. 2865, dari ‘Iyadh bin Himar al-Mujaasi’iy]


Wahai umat Islam berhati-hatilah anda ...jangan sampai berkhianat terhadap bangsa dan negara apalagi terhadap agama.
Share:

Sunday, January 20, 2019

Riya'


Dalam bahasa Arab, arriya’ (الرياء) berasal dari kata kerja raâ ( راءى) yang bermakna memperlihatkan. Riya’ merupakan memperlihatkan sekaligsu memperbagus suatu amal ibadah dengan tujuan agar diperhatikan dan mendapat pujian dari orang lain. Riya’ termasuk karena meniatkan ibadah selain kepada Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya;
“Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya amalan seseorang itu akan dibalas sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Adapun amal perbuatan yang diridhai Allah SWT ialah yang diniatkan kepada Allah semata, dikerjakan dengan ikhlas sesuai dengan kemampuan, tidak pilih kasih, dan merupakan rahmat bagi seluruh alam. Sementara ibadah yang tidak akan diterima oleh Allah merupaka amal ibadah yang dikerjakan dengan niat bukan kepada Allah, tidak ikhlas karena ingin mendapat imbalan (bisa berupa pujian atau penghargaan), serta mengada-ada.
Allah SWT berfirman yang artinya;
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia.” (Q. S. Al-Baqarah : 264).
Bersamaan dengan sum’ah, riya’ merupakan perbuatan tercela dan masuk ke dalam syirik kecil. Allah SWT berfirman yang artinya;
“Sesungguhnya orang-rang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan jika mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud riya’ (dengan shalat itu) dihadapan manusia, dan tidaklah mereka dzkiri kepada Allah kecuali sedikit sekali.” (Q. S. An-Nisa’ : 142)
Hukum Riya’

Riya’ ada dua jenis. Jenis yang pertama hukumnya syirik akbar. Hal ini terjadi jika sesorang melakukan seluruh amalnya agar dilihat manusia, dan tidak sedikit pun mengharap wajah Allah. Dia bermaksud bisa bebas hidup bersama kaum muslimin, menjaga darah dan hartanya. Inilah riya’ yang dimiliki oleh orang-orang munafik. Allah berfirman tentang keadaan mereka (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka . Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisaa’:142).

Adapun yang kedua adalah riya’ yang terkadang menimpa orang yang beriman. Sikap riya’ ini terjadang muncul dalam sebagian amal. Seseorang beramal karena Allah dan juga diniatkan untuk selain Allah. Riya’ jenis seperti ini merupakan perbuatan syirik asghar.[1]

Jadi, hukum asal riya’ adalah syirik asghar (syirik kecil). Namun, riya’ bisa berubah hukumnya menjadi syirik akbar (syirik besar) dalam tiga keadaan berikut :

1. Jika seseorang riya’ kepada manusia dalam pokok keimanan. Misalnya seseorang yang menampakkan dirinya di hadapan manusia bahwa dia seorang mukmin demi menjaga harta dan darahnya.
2. Jika riya’ dan sum’ah mendominasi dalam seluruh jenis amalan seseorang.
3. Jika seseorang dalam amalannya lebih dominan menginginkan tujuan dunia, dan tidak mengharapkan wajah Allah.[2]

Ibadah yang Tercampur Riya’

Bagaimanakah status suatu amalan ibadah yang tercampu riya’? Hukum masalah ini dapat dirinci pada beberapa keadaan. Jika seseorang beribadah dengan maksud pamer di hadapan manusia, maka ibadah tersebut batal dan tidak sah. Adapun jika riya’ atau sum’ah muncul di tengah-tengah ibadah maka ada dua keadaan. Jika amalan ibadah tersebut berhubungan antara awal dan akhirnya, misalnya ibadah sholat, maka riya’ akan membatalkan ibadah tersebut jika tidak berusaha dihilangkan dan tetap ada dalam ibadah tersebut. Jenis yang kedua adalah amalan yang tidak berhubungan antara bagian awal dan akhir, shodaqoh misalnya. Apabila seseorang bershodaqoh seratus ribu, lima puluh ribu dari yang dia shodaqohkan tercampuri riya’, maka shodaqoh yang tercampuri riya’ tersebut batal, sedangkan yang lain tidak.[3]

Jika Demikiain Keadaan Para Sahabat, Bagaimana dengan Kita?

Penyakit riya’ dapat menjangkiti siapa saja, bahkan orang alim sekali pun. Termasuk juga para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum. Para sahabat adalah generasi terbaik umat ini. Keteguhan iman mereka sudah teruji, pengorbanan mereka terhadap Islam sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun demikian, Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam masih mengkhawatirkan riya’menimpa mereka. Beliau bersabda, Sesuatu yang aku khawatrikan menimpa kalian adalah perbuatan syirik asghar. Ketika beliau ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab: ‘(contohnya) adalah riya’ ”[4]

Dalam hadist di atas terdapat pelajaran tentang takut kapada syirik. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam khawatir kesyirikan menimpa sahabat muhajirin dan anshor, sementara mereka adalah sebaik-baik umat. Maka bagaimana terhadap umat selain mereka? Jika yang beliau khawatirkan menimpa mereka adalah syirik asghar yang tidak mengeluarkan dari Islam, bagaimana lagi dengan syirik akbar? Wal ‘iyadzu billah !! [5]

Lebih Bahaya dari Fitnah Dajjal

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Maukah kamu kuberitahu tentang sesuatau yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada (fitnah) Al masih Ad Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu saja”. Beliau bersabda, “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika sesorang berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya “[6]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa riya’ termasuk syirik khafi yang samar dan tersembunyi. Hal ini karena riya’ terkait dengan niat dan termasuk amalan hati, yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Tidak ada seseorang pun yang mengetahui niat dan maksud  seseorang kecuali Allah semata. Hadist di atas menunjukkan tentang bahaya riya’, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir riya’ menimpa para sahabat yang merupakan umat terbaik, apalagi terhadap selain mereka. Kekhawatiran beliau lebih besar daripada kekhawatiran terhadap ancaman fitnah Dajjal karena hanya sedikit yang dapat selamat dari bahaya riya’ ini. Fitnah Dajjal yang begitu berbahaya, hanya menimpa pada orang yag hidup pada zaman tertentu, sedangkan bahaya riya’ menimpa seluruh manusia di setiap zaman dan setiap saat.[7]

Berlindung dari Bahaya Riya’

Berhubung masalah ini sangat berbahaya seperti yang telah dijelaskan di atas, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita sebuah doa untuk melindungi diri kita dari syirik besar maupun syirik kecil. Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita melalui sabdanya, ‘Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena syirik itu lebih samar daripada rayapan seekor semut.’ Lalu ada orang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kami dapat menjauhi dosa syirik, sementara ia lebih samar daripada rayapan seekor semut?’ Rasulullah berkata, ‘Ucapkanlah Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika wa ana a’lam wa astaghfiruka lima laa a’lam (‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari. Dan aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui).”[8]
               
Mari introspeksi diri bagaimana amal-amal kita, apakah sudah sesuai ajaran Islam? Semoga Allah lindungi kita dari segala perbuatan yang bernilai riya.

Sumber :
[1]. I’aanatul Mustafiid bi Syarhi Kitaabi at Tauhiid II/84. Syaikh Shalih Fauzan. Penerbit Markaz Fajr
[2]. Al Mufiid fii Muhimmaati at Tauhid 183. Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf. Cetakan pertama 1428/2007
[3]. Lihat Al Mufiid 183
[4]. Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam al Musnad (V/428, 429) dan ath Thabrani dalam al Kabiir (4301) dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam as Shahiihah (951) dan Shahiihul Jami’ (1551)
[5]. I’aanatul Mustafiid I/90
[6], H.R Ahmad dalam musnadnya. Dihasankan oleh Syaikh Albani Shahiihul Jami’ (2604)
[7]. I’aanatul Mustafiid II/90
[8]. HR. Ahmad (4/403). dan Shahih at Targhiib wa at Tarhiib (36).



Share:

Saturday, January 19, 2019

Takabur


Secara bahasa, kata takabur berasal dari kata kabura yang berarti besar. Takabur berarti merasa besar. Orang yang takabur ialah orang yang merasa dirinya besar (lebih segala-segalanya dari orang lain). Jadi takabur ialah sikap membanggakandiri dan memandang derajat orang lebih rendah daripada dirinya atau merendahkan orang lain. Orang yang takabur menganggap dirinya yang paling tinggi derajat atau kedudukannya.
Sifat takabur akan membuat seseorang selalu berkeinginan untuk menampakkan diri di hadapan orang lain sebagai orang yang lebih atau paling hebat dibanding orang lain sehingga orang lain sebagai orang lain tampak kecil di hadapannya. Orang yang mempunyai sifat takabur akan dibenci dan ditinggalkan oleh orang lain sehingga dia akan merasa kesepian dalam hidupnya.
Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, yang menyebabkan takabbur yaitu :
1. Karena ilmu pengetahuan yang dimilikinya
Orang bisa takabbur karena merasa mempunyai ilmu dan menganggap orang lain lebih bodoh. Ini penyakit yang sering melanda hati para ulama (orang yang berilmu). Orang yang berilmu yang takabbur berarti hatinya telah tertutup sehingga tak bisa menilai kebenaran agama. Ia pandai dalam masalah teori agama, tetapi buta terhadap syariat, sehingga ia tak sadar kalau takabbur itu mencelakakan dirinya sendiri.
2. Karena ibadah dan amal shalih yang dikerjakannya
Sebab, niatnya bercampur dengan Riya’ (ingin mendapatkan pujian dari makhluk). Takabbur karena amal ibadah dapat dibedakan menjadi dua bagian; takabbur yang sifatnya duniawi dan takabbur yang sifatnya berhubungan dengan jalan agama.
Yang sifatnya duniawi bisa terjadi bila orang yang ahli ibadah dan beramal shalih ini gemar sekali dikatakan orang bahwa dirinya orang shalih, ahli ibadah, ulama yang pintar hukum, kyayi yang kharismatik, mubaligh yang terkenal dan segudang pujian lainnya. Bahkan ia sangat suka jika orang lain mengatakan kalau dirinya jarang melakukan perbuatan maksiat atau dosa.
Adapun takabbur yang sifatnya berhubungan dengan keagamaan yaitu mengira bahwa amal ibadahnya telah benar-benar sempurna, mengira bahwa ia lebih dekat dengan tuhan dibandingkan dengan ahli ibadah lainnya.
3. Karena keturunan atau nasabnya
Seseorang yang mempunyai keturunan terhormat, bangsawan, ulama dan lain sebagainya lebih berpeluang untuk bertakabbur dibandingkan dengan orang dari keturunan biasa-biasa saja. Ia cenderung memandang remeh terhadap orang lain. Di setiap pergaulan, di setiap majelis ia selalu menceritakan kakek moyangnya yang mulia, yang terhormat dan yang tekun beribadah.
4. Karena harta kekayaan yang dimilikinya
Pada setiap ada majelis dan berkumpul dengan banyak orang, mereka selalu membawa pembicaraan yang mengarah pada harta kekayaan, bisnis, dagang yang tentunya berakhir dengan cerita kekayaannya. Orang yang bergelimangan harta mudah terseret pada semacam rasa haus ingin dipuji. Ia merindukan suatu kehormatan dari orang lain karena kekayaannya. Dengan kekayaan yang dimilikinya, sering kali ia meremehkan orang lain yang hartanya tak sebanding dengannya. Dan yang lebih berbahaya lagi, sikaya ini tak segan-segan memperlakukan orang lain (orang miskin) dengan sikap kesewenang-wenangan. Anggapannya ialah segalanya dapat dibeli dengan uang. Orang lain dengan mudahnya dapat dipermainkan dengan harta.
5. Karena keelokan wajah yang dimilikinya
Bagi mereka yang tawadlu’ dan diberi keelokan wajah, sudah tentu ia akan sering dan memperbanyak rasa syukur kepada Allah. Akan tetapi bagi mereka yang berakhlak buruk/hina, akan menjadi takabbur bila merasa memiliki wajah yang elok dan bagus. Ia merasa kalau dirinya yang paling cantik atau tampan, sehingga lagak dan gayanya berlebih-lebihan. Bahkan karena keelokan wajahnya itu tidak untuk jalan yang baik, namun digunakan di jalan maksiat, karena merasa memudahkan ia berbuat zina.
Akibat yang ditimbulkannya dari takabbur karena keelokan wajah, biasanya suka mengumpat kekurangan orang lain, lalu tidak menghargai orang lain, menyebut-nyebut aib dan kekurangan yang dimiliki orang lain.
6. Karena kekuasaannya
Takabbur karena kekuasaan akan berakibat sangat berbahaya dan membahayakan orang lain. Sebab ketakabburan ini berakibat adanya tindak kedzaliman (sewenang-wenang). Karena kekuasaan yang dimilikinya lalu ia berbuat sekehendak hatinya.
7. Karena kaum atau golongannya lebih banyak
Golongan dan pengikut yang banyak hanya engkau rasakan di dunia, di akhirat yang menjadi pengikut setiamu ialah amal kebaikanmu yang diterima Allah. Alim ulama yang sesat dan pimpinan yang tertipu oleh perasaannya sendiri sering kali takabbur karena pengikut dan pendukungnya banyak. Golongannya yang besar membuat anggapannya seolah-olah ia mempunyai kharisma yang agung. Semua itu sungguh akan merusak jiwa dan menutup kalbu, sehingga lupa jika hanya Allah yang Agung.
Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat dan sikap takabur / sombong. 

Share:

Friday, January 18, 2019

Kezaliman


Kata zalim berasal dari bahasa Arab, dengan huruf “dzho lam mim” (ظ ل م ) yang bermaksud gelap. Di dalam al-Qur’an menggunakan kata zhulm selain itu juga digunakan kata baghy, yang artinya juga sama dengan zalim yaitu melanggar hak orang lain. Namun pengertian zalim lebih luas maknanya ketimbang baghyu, tergantung kalimat yang disandarkannya. Kezaliman itu memiliki berbagai bentuk di antaranya adalah syirik.
Zalim (ArabظلمDzholim) dalam ajaran Islam adalah meletakkan sesuatu/ perkara bukan pada tempatnya. Orang yang berbuat zalim disebut zalimin dan lawan kata dari zalim adalah adil.
Kalimat zalim bisa juga digunakan untuk melambangkan sifat kejam, bengis, tidak berperikemanusiaan, suka melihat orang dalam penderitaan dan kesengsaraan, melakukan kemungkaran, penganiayaan, kemusnahan harta benda, ketidak adilan dan banyak lagi pengertian yang dapat diambil dari sifat zalim tersebut, yang mana pada dasarnya sifat ini merupakan sifat yang keji dan hina, dan sangat bertentangan dengan akhlak dan fitrah manusia, yang seharusnya menggunakan akal untuk melakukan kebaikan.
Imam Adz Dzahabi membahas dalam kitab Al Kabair.  Kezaliman mengambil harta orang lain dengan cara yang batil. Lihat Al Kabair hal. 53-55.
Apa saja bentuk kezaliman dalam harta, yaitu mengambil harta orang lain dengan cara yang batil?
Bentuk-bentuk kezaliman di atas begitu jelas sekali pada masa sekarang ini terjadi. Baik yang dilakukan oleh individu maupun masyarakat Indonesia. Sadarlah wahai orang-orang beriman, jangan lakukan kezaliman. Sebab kezaliman akan mengantarkan kesengsaraan hidup orang lain, begitu kesengsaraan kita semua baik di dunia maupun di akhirat.
Sumber :  
[ Al Kabair, Al Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz Dzahabi, terbitan Maktabah Darul Bayan, cetakan kelima, tahun 1418 H.]


Share:

Monday, January 14, 2019

Buruk Sangka


Seringkali kita mudah berburuk sangka kepada orang lain, sebelum kita melakukan tabayun / penjelasan terhadap orang tersebut. Buruk sangka menjadi hal yang biasa terjadi dan menjadi penyakit masyarakat kita sekarang ini. Sungguh sangat memprihatinkan. Sebagai manusia beriman hendaknya kita seharusnya tidak berburk sangka kepada siapapun. Marilah kita perhatikan firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-car kesalahan orang lain” [Al-Hujurat : 12]
Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan berprasangka, karena sebagian tindakan berprasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus. Tajassus ialah mencari-cari kesalahan-kesalahan atau kejelekan-kejelekan orang lain, yang biasanya merupakan efek dari prasangka yang buruk.
Rasulullah bersabda.
إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara”  (HR Bukhari)
Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”
Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata : “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.
            Rusaknya masyarakat dan bangsa akibat tersebarnya buruk sangka antar sesama. Mulailah dari diri kita membentengi perbuatan yang tidak menyenangkan orang lain. Jauhi buruk sangka. Itulah yang akan menyelamatkan dunia akhirat kita kelak.

Share:

Friday, January 11, 2019

Dusta Sumber Bencana


Dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda:  

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ…وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ
Wajib bagi kalian untuk jujur……dan hati-hatilah, jangan sekali-kali kalian dusta.

Imam Nawawi menjelaskan tentang tambahan-tambahan riwayat tersebut dengan menukil perkataan para ulama, bahwa di dalamnya terdapat penekanan supaya seseorang bersungguh-sungguh untuk bersikap jujur. Maksudnya, berniat sungguh-sungguh dan benar-benar memperhatikan kejujuran. Sebaliknya harus berhati-hati jangan sampai dusta dan jangan sampai mudah berdusta. Sebab apabila seseorang mudah berdusta, maka ia akan banyak berdusta dan akhirnya dikenal sebagai orang yang suka berdusta. Jika seseorang terbiasa bersikap jujur, maka Allâh Azza wa Jalla akan menetapkannya sebagai orang yang benar-benar jujur. Sedangkan apabila seseorang terbiasa dusta, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menetapkannya menjadi orang yang dikenal pendusta.
Dusta adalah perbuatan terlarang dan haram, bahkan bisa menjauhkan keimanan. al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni membawakan riwayat al-Baihaqi yang menurut beliau sanadnya shahih, dari Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu , beliau (Abu Bakar) berkata :

اَلْكَذِبُ يُجَانِبُ اْلإِيْمَانَ      
Dusta akan menjauhkan keimanan.
Selanjutnya al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menukil perkataan Ibnu Baththal, “Apabila seseorang mengulang-ulang kedustaannya hingga berhak mendapat julukan berat sebagai pendusta, maka ia tidak lagi mendapat predikat sebagai mu’min yang sempurna, bahkan termasuk berpredikat sebagai orang yang bersifat munafik. Karena itulah, setelah mengetengahkan hadits Ibnu Mas’ud tersebut, Imam Bukhâri melanjutkannya dengan mengetengahkan hadits Abu Hurairah tentang tanda-tanda orang munafik.”

Hadits Abu Hurairah  yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ. رواه البخاري ومسلم
Tanda-tanda orang munafik ada tiga : Apabila berbicara, ia dusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila diberi amanat, ia berkhianat. [HR. Bukhari dan Muslim] 


         Sungguh berbahaya dusta itu, apalagi dilakukan oleh para pemimpin dan tokoh masyarakat yang menjadi panutan. Dusta, kebohongan yang dilakukan orang-orang populer menjadi bencana, tidak hanya bagi dirinya tetapi bagi masyarakat bangsa dan negara. Keburukan merajalela, dusta dianggap benar. Yang benar menjadi dianggap dusta. Dusta merebak di kalangan masyarakat tidak hanya dianggap penyakit sosial tetapi juga bisa menjadi sumber malapetaka, bencana alam, karena Tuhan murka dengan ulah manusia yang sudah melampai batas.




Share:

Monday, January 7, 2019

Bahaya Fitnah


Fitnah atau dergama merupakan komunikasi kepada satu orang atau lebih yang bertujuan untuk memberikan stigma negatif atas suatu peristiwa yang dilakukan oleh pihak lain berdasarkan atas fakta palsu yang dapat memengaruhi penghormatan, wibawa, atau reputasi seseorang.
            Pada saat ini banyak sekali fitnah diseputar kehidupan kita yang dapat mengganggu kehidupan pribadi, masyarakat bahkan bernegara dan berbangsa. Fitnah yang bertebarang dilakukan oleh seseorang atau kelompok masyarakat bangsa Indonesia saat ini sungguh sangat kejam. Mereka yang melakukan fitnah sudah tidak ada batas-batas lagi untuk melakukannya terhadap individu bahkan terhadap ajaran Islam.
            Islam sangat mengecam tindakan fitnah. Allah SWT mengingatkan kita di dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat : 6 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ 
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Al-Hujurat: 6)
Apapun yang kita dengar dari orang lain, segala ucapan itu kita terima dengan telinga, bukan dengan lidah (ucapan). Berita-berita itu menyebar luas dari telinga ke telinga seolah keluar dari mulut ke mulut. Hati adalah yang menentukan apakah semua berita yang di dengar itu adalah benar atau salah. Allah SWT berfirman yang artinya;
“Kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.Padahal dia pada sisi Allah adalah besar” (Q. S. An Nur : 15).
Selanjutnya, firman Allah SWT mengenai pertanggung jawaban panca indera kita di akhirat;
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar, pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Pada hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka, bahwa Allah-lah Yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).” (Q. S. An Nur : 23-25).
Fitnah itu hukumnya sangat berat, lebih berat daripada ketidaktaatan atau dosa besar. Sebab fitnah itu sendiri berbahaya; diantara bahaya fitnah yaitu :
1. Menimbulkan kesengsaraan
Oleh sebab berita yang disebarkan tidaklah benar, fitnah sangat merugikan terutama bagi orang yang difitnah dan bisa jadi harga dirinya hancur di mata masyarakat dan menjadi bahan cemoohan. Sedangkan bagi yang memfitnah sendiri tidak akan lagi bisa dipercaya dan setiap orang pasti akan menjauhinya.
2. Menimbulkan keresehan
Oleh sebab fitnah yang disebarkan masyarkat jadi tidak tenang karena takut. Misalnya, ada yang difitnah menjadi pencuri, pastinya orang akan takut jika suatu saat mereka akan jadi korban.
3. Memecah kebersamaan dan tali silaturrahmi
Satu fitnah bisa menghancurkan satu bangsa karena satu fitnah saja bisa menimbulkan berbagai masalah yang akhirnya bisa menjadi seperti lingkaran setan (masalah yang tiada akhir). Padahal Keutamaan Menyambung Tali Silaturahmi dalam Islam sangatlah besar.
4. Dapat mencelakai orang lain
Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, pada kenyataannya itu memang benar. Fitnah umumnya dilatarbelakangi ketidaksukaan atau kebenciaan terhadap orang lain, tidak menutup kemungkinan turut membangkitkan niatan jahat berbuat kriminal yang dapat mencelakai orang lain.
5. Fitnah merugikan orang lain
Sudah sangat jelas bahwa fitnah banyak memberikan korbannya kerugian, mulai dari fisik, psikis, sampai harta benda dan keluarga. Yang paling menyakitkan adalah hancurnya harga diri karena pada dasarnya setiap manusia pasti ingin dihargai di mata manusia lainnya.
Mari kita hindari fitnah, semoga Allah memberikan keselamatan dunia akhirat bagi kita yang tidak melakukan fitnah.

Share:

Friday, January 4, 2019

Bencana dan Dosa


Akhir-akhir ini bencana terjadi di Indonesia. Semua ahli bencana berpendapat bahwa fenomena bencana alam Tsunami, Gempa, Erupsi Gunung Api dan sebagainya belakangan ini sulit diprediksi. Fenoma alam benar-benar hanya dijadikan bahan kajian ilmiah. Para pakar sama sekali tidak mengaitkan dengan perilaku maksiat, dosa bergelimpangan yang dilakukan umat manusia. Oleh karena itu mari kita simak firman Allah SWT di dalam Al Qur’an:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Qs. Asy-Syuura: 30)
Di dalam Al Qur’an, Allah SWT juga  menjelaskan kondisi umat terdahulu :
فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu krikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur (halilintar), dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Qs. Al-Ankabut: 40)
Orang-orang yang bermodalkan nalarnya, mengatakan: “Fenomena alam ini tetap terjadi walau tanpa adanya maksiat”. Lalu mereka pun mempertanyakan bukti ilmiah, hasil penelitian, data statistik yang menunjukkan adanya keterkaitan antara bencana alam dengan maksiat.
Anggap saja belum pernah ada orang yang meneliti secara statistik, atau penelitian ilmiah bahwa bencana alam memiliki hubungan dengan adanya maksiat. Namun pernyataan “bencana alam tidak memiliki hubungan dengan adanya maksiat” pun merupakan sebuah hipotesa yang perlu pembuktian ilmiah. Dan untuk membuktikan hipotesa ini sendiri pun hampir tidak mungkin. Karena maksiat, kecilnya maupun besarnya, tersebar di seluruh dunia, di setiap waktu dan tempat. Hari ini saja, sudah berapa maksiat yang anda lakukan? Jawablah dengan jujur. Hampir tidak ada waktu dan tempat di dunia ini yang kosong dari maksiat. Saya, anda dan seluruh manusia tidak bisa lepas dari salah dan dosa. Nabi Muhammad SAW bersabda:
كل بني آدم خطاء وخير الخطائين التوابون
Setiap manusia itu banyak berbuat salah, dan orang terbaik di antara mereka adalah yang bertaubat” (HR. At Tirmidzi no.2687). Ternyata, orang yang mengatakan: “bencana alam tidak memiliki hubungan dengan adanya maksiat” hanya berlandaskan pada hipotesa yang lemah.
Mereka memiliki alasan lain: “andai bencana dengan maksiat ada hubungannya, mengapa tempat yang banyak maksiat, bahkan negeri kafir, banyak yang jarang terkena bencana”. Jika anda menginginkan setiap orang yang ketika berbuat maksiat tiba-tiba disambar petir dari langit lalu mati, tentulah semua orang serta-merta akan menjadi shalih semua. Tidak akan ada lagi maksiat, tidak ada ujian keimanan, tidak ada lagi taubat, tidak ada lagi amar ma’ruf nahi mungkar, tidak akan ada lagi istilah ‘maksiat’ di dalam kamus, dan mungkin bumi ini sudah bisa disebut surga.
Inilah bagian dari misteri ilahi. Allah SWT terkadang menimpakan musibah pada kaum bejat saja, sebagaimana kaum Ad dan kaum Tsamud, dikarena kebejatan mereka. Dan terkadang Allah menimpakan musibah kepada kaum yang di dalamnya terdapat orang shalih juga. Allah Ta’ala berfirman:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Takutlah pada musibah yang tidak hanya menimpa orang zhalim di antara kalian saja. Ketahuilah bahwa Allah memiliki hukuman yang pedih” (QS. Al Anfal: 25)
عن أم سلمة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “إذا ظهرت المعاصي في أمتي، عَمَّهم الله بعذاب من عنده” . فقلت: يا رسول الله، أما فيهم أناس صالحون؟ قال: “بلى”، قالت: فكيف يصنع أولئك؟ قال: “يصيبهم ما أصاب الناس، ثم يصيرون إلى مغفرة من الله ورضوان
Dari Ummu Salamah, istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Jika maksiat telah menyebar diantara umatku, Allah akan menurunkan adzab secara umum”. Ummu Salamah bertanya: Wahai Rasulullah, bukankah di antara mereka ada orang shalih? Rasulullah menjawab: Ya. Ummu Salamah berkata: Mengapa mereka terkena juga? Rasulullah menjawab: Mereka terkena musibah yang sama sebagaimana yang lain, namun kelak mereka mendapatkan ampunan Allah dan ridha-Nya” (HR. Ahmad no.27355).
Inilah sebaik-baiknya kebijakan dari Allah Yang Maha Bijak. Karena dari kebijakan ini ribuan bahkan jutaan hikmah yang dapat dipetik oleh manusia, diantaranya adalah kesempatan bagi pelaku maksiat untuk bertaubat dan kesempatan untuk orang shalih untuk menuai pahala dan mempertebal keimanannya.


Share:

Wednesday, January 2, 2019

Sang Pengatur Waktu


Masa lalu adalah kenangan, masa kini adalah kenyataan, dan masa datang adalah harapan, cita-cita dan impian. Apa yang kita nikmati pada masa kini merupakan hasil jerih payah kita pada masa lalu. bagaimana mewujudkan masa depan kita yang lebih baik, tergantung hasil kerja keras kita pada masa kini. 

Allah SWT sangat memotivasi manusia agar benar-benar dapat memanfaat waktu secara baik dan benar.

Demi masa,[1]. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,[2]. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”[3]
Surat ini diturunkan di kota Mekkah dan ayatnya berjumlah 3 ayat.  Ath-Thabarany meriwayatkan di dalam al-Mu’jam al-Awsath (no.5097) dengan sanadnya dari ‘Abdullah bin Hishn, dia berkata, “Ada dua orang shahabat Rasulullah SAW., yang bila saling bertemu, tidak berpisah kecuali salah satunya membacakan kepada yang lainnya surat al-‘Ashr hingga selesai, kemudian masing-masing saling memberi salam.” Imam asy-Syâfi’iy berkata, “Andaikata manusia hanya mentadabburi (merenungi) surat ini saja, tentu sudah cukup bagi mereka.” 


Di dalam surat yang agung ini jelaslah bahwa semua manusia berada dalam kerugian kecuali orang yang memiliki empat kualifikasi, yaitu iman, amal shalih, nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. 

Dengan dua hal pertama (iman dan amal shalih), seorang hamba dapat melengkapi dirinya sendiri sedangkan dengan dua hal berikutnya dia dapat melengkapi orang lain dan dengan melengkapi keempat-empatnya, maka jadilah seorang hamba orang yang terhindar dari kerugian dengan meraih keuntungan yang besar. Inilah yang tentunya akan selalu diupayakan oleh seorang insan yang berakal di dalam kehidupannya. 


Pesan Moral Surat Ini

1. Bahwa Allah berhak untuk bersumpah dengan makhluk-Nya mana saja yang dikehendaki-Nya sedangkan seorang hamba tidak boleh bersumpah selain dengan (atas nama) Khaliqnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW., “Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah melakukan kekufuran atau berbuat kesyirikan.” 
2. Semua manusia berada dalam kerugian kecuali orang yang memiliki empat kualifikasi, yaitu iman, amal shalih, nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. 
3. Iman semata yang hampa dari amal, tidak akan berguna bagi pemiliknya. 
4. Keutamaan berdakwah kepada Allah Ta’ala dan saling nasehat-menasehati. 
5. Keutamaan sabar dengan semua jenis-jenisnya, khususnya terhadap hal yang dialami oleh seorang Muslim sebagai resiko yang harus dihadapinya di dalam berdakwah kepada Rabbnya, baik berupa perkataan, tindakan secara fisik, terhadap hartanya ataupun anaknya. 



Hanya Sang Pengatur Waktu, Allah SWT,  yang berhak menggunakan kata sumpah kepada Makhluk-Nya, dan Sang Pengatur memberikan sinyal kepada kita agar dapat mengisi waktu dengan iman, amal dan sabar. 





Share:

Tuesday, January 1, 2019

Mawas Diri



فَلَا تُزَكُّوٓاْ أَنفُسَكُمۡۖ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ
“Maka jangan anggap diri kalian suci. Allah Maha Mengetahui siapa orang yang bertakwa.”  (QS. an-Najm: 32).
Marilah kita mawas diri, evaluasi diri kita apakah kita sudah termasuk hamba Allah yang selalu membanggakan diri atau selalu merendahkan diri dihadapan Allah ? janganlah kita membanggakan diri kita dengan keberhasilan dan kesuksesan yang kita raih. Semua itu adalah sementara. Suatu saat akan lenyap. Lebih baik kita selalu mawas diri bahwa keberhasilan atau kesuksesan semata-mata hanya karunia Allah bukan karena kemampuan diri kita sendiri.

Allah SWT sangat melarang kita menganggap diri suci sekalipun kita banyak melakukan ibadah sholat, puasa, haji, dan segala bentuk kebaikan lainnya. Ketakwaan kita kepada Allah biarlah hanya Allah yang menilai derajat tersebut. Jangan jadikan ukuran ibadah kita yang terbaik sekalipun menjamin ketakwaan yang sejati. Serahkan sepenuhnya kepada Allah segala bentuk pengabdian dan ibadah yang kita lakukan.

Nabi Muhammad —shallallahu ‘alaihi wa sallam— bersabda:

ثَلاثٌ مُهْلِكَاتٌ: إِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ، وَشُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبِعٌ 
 (رواه البيهقي وغيره، ضعيف)
“Ada tiga (3) hal yang membinasakan manusia: “Kekaguman orang pada dirinya sendiri, kikir yang diikuti dan hawa nafsu yang dituruti.” (HR. al-Baihaqi).
            Dalam hubungannya dengan mawas diri hadis di atas sangat menyentuh hati kita bahwa kekaguman pada diri sendiri bisa menghancurkan kehidupan kita. Merasa hebat sudah berkarya dan bekerja dengan baik. Membusungkan dada dengan prestasi hidup yang diraih. Padaha semua itu adalah sebuah ilusi hidup yang bisa menipu kita dan menghancurkan segala amal akhirat.
            Demikian pula kikir, pelit, bakhil; tidak mau memberikan infak, sedekah, atau hadiah kepada orang yang membutuhkan. Kekikiran dan kebakhilan dapat membawa kehancuran hidup. Begitu pula mengikuti hawa nafsu; keinginan mencari kuliner/makanan yang enak menjadi kebiasaan pada akhirnya merusak kesehatan, keinginan mengkuti syahwat cenderung membawa kemaksiatan. Kemaksiatan seringkali terjerembab ke dalam kejahatan. Semua itu pada akhirnya membawa kehancuran hidup.
  Dengan mawas diri, kita dapat mengetahui kelemahan, kekurangan diri kita dan bukan untuk dihinakan. Dengan mawas diri kita mengetahui kekuatan, kelebihan kita dan bukan untuk dibanggakan.



Share:

Konsultasi dengan Gus Abduh

Data Kunjungan