Umat Islam memasuki awal tahun
2019 mewarisi warna-warni kehidupan tahun-tahun sebelumnya. Secara politik
terbelah, ada berbagai partai politik Islam ataupun partai politik berbasis
massa umat Islam. Tak ada kekompokan dalam memilih pemimpin sebagai
representasi umat Islam. Dikotomi nasionalis religius atau nasionalis sekuler
masih saja terjadi di dalam polarasasi kepemimpinan nasional regional dan
lokal. Lagi-lagi menderita kekalahan dalam
proses pileg, pilkada dan pilpres.
Ada sebuah proses pembusukan
partai Islam maupun partai berbasis massa umat Islam. Adu domba faksi di dalam
tubuh partai tak terelakan. Manajemen partai berantakan. Kepemimpinan umat
terabaikan. Umat kehilangan arah politik. Munculnya fenomena adu domba seperti
diksi kampret, cebong, belakangan muncul diksi kadrun dan bacin. Belum lagi
warisan tahun sebelumnya seperti Islam radikal, terorisme, lalu ormas pengusung
khilafah dan pribadi yang mendiskursuskan khilafah mendapat stigma
radikal. HTI jadi korban rezim pasca
reformasi, termasuk FPI jadi sasaran persekusi dengan tidak dikeluarkannya
perpanjangan surat keterangan terdaftar organasasi dari Kementerian Dalam
Negeri. Padahal FPI terdepan dalam mengatasi banjir bencana alam dll selalu
memberikan bantuan bahkan daerah terpecil yang tidak terjangkau oleh instansi
pemerintah sekalipun, FPI selalu hadir dalam misi kemanusiaan tak pandang
agama, ras dan golongan apapun.
Setelah Kabinet diumumkan,
Menteri Agama mendapat tugas untuk menjalankan program mencegah radikalisme.
Ironis sekali padahal sudah ada instansi terkait yaitu BNPT dan DENSUS 88.
Dengan gagahnya sang menteri mengawali diksi, patut dicurigai pegawai yang
bercelana cingkrang bagi laki-laki dan bercadar bagi wanita terindaksi faham
radikal. Karena banyak suara protes akhirnya tenggelam diksi tersebut walaupun
di dalam instansi Kemenag tetap memberikan penekanan agar para pegawi harus mematahui
tata terbit berpakaian, termasuk larangan celana cingkrang dan cadar. Selain
itu, kurikulum mata pelajaran yang memuat khilafah dan jihad dipermasalahkan
untuk dihilangkan. Setelah ramai diperbincangkan, akhirnya materi khilafah
tetap ada namun bukan di mata pelajaran Fiqih tetapi di mata pelajaran Sejarah
Kebudayaan Islam.
Sebagaimana terjadi setiap akhir
tahun, publik disungguhkan lagi-lagi perdebatan diantara tokoh dan ulama umat
Islam tentang ucapan Natal. Sungguh sangat membosankan, seolah-olah umat Islam
harus dituntut toleransi terus. Padahal sudah sangat toleransi umat Islam di
negeri Indonesia ini. Tokoh Islam mengucapkan selamat Natal, ramai di jagat
medsos; menjadi santapan pro-kontra bagi nitizen, warganet. Sungguh sangat
disayangkan perdebatan terbuka yang tidak didasari ilmu pengetahuan yang cukup
bagi umat Islam pada umumnya. Suguhan toleransi tahun ini sungguh sudah sangat
berlebihan. Hal ini terjadi bukan hanya banyak tokoh dan orang-orang awam ikut
mengucapkan selamat natal, tetapi ada beberapa pesantren yang diperintah oleh
pengasuhnya mengerahkan para santri ikut berdendang nyanyi rohani dan berselawat
mengikuti prosesi misa di malam natal [ malam kudus menurut mereka ].
Quo vadis umat Islam di Indonesia
? ila aina tadzhabun ? mau kemana umat Islam Indonesia kalau kondisinya
seperti ini. Setahap demi setahap sejengkal demi sejengkal perilaku umat Islam
mengikuti perilaku Yahudi dan Nashrani. Apa ini fenomena akhir zaman yang
disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadis riwayat Imam Muslim.? Mari kita perhatikan sabda Nabu Muhammad SAW
:
Dari
Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى
تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا
بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ .
فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat
tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal
demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah
-shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia
dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (HR.
Bukhari no. 7319)
Dari
Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى
جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh
kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal
dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke
lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.”
Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu
adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?”
(HR. Muslim no. 2669).
Imam Nawawi –rahimahullah– ketika menjelaskan hadits di
atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal)
dan dziroo’ (hasta) serta lubang dhob (lubang
hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum
muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum
muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan
dalam hal-hal kekafiran mereka yang diikuti. Perkataan beliau ini adalah suatu
mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat
ini.” (Syarh Muslim, 16: 219)
Secara umum kita dilarang menyerupai mereka dalam hal yang
menjadi kekhususan mereka. Penyerupaan ini dikenal dengan istilah tasyabbuh.
Ayo umat Islam janganlah kita mengikuti langkah-langkah syaitan, Yahudi dan
Nashrani yang akan menyesatkan akidah umat Islam. Bangkitkan kesadaran
berjamaah bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik menjadi pemimpin yang menyeru
kepada kebenaran dan keadilan di muka bumi ini.