Syaikh Muhammad
Nawawi al-Jawi al-Bantani (bahasa Arab: محمد نووي الجاوي البنتني, lahir di Tanara, Serang, 1230 H/1813 M -
meninggal di Mekkah, 1314 H/1897 M) adalah seorang ulama Indonesia yang
terkenal di mancanegara (ulama Indonesia bertaraf internasional) dan Imam
Masjidil Haram. Ia bergelar al-Bantani karena ia berasal dari Banten,
Indonesia. Ia adalah seorang ulama dan intelektual yang sangat produktif
menulis kitab, yang meliputi bidang-bidang fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan
hadis. Jumlah karyanya mencapai tidak kurang dari 115 kitab. Karena
kemasyhurannya, Syekh Nawawi Al-Bantani dijuluki Sayyid Ulama Al-Hijaz
(Pemimpin 'Ulama Hijaz), Al-Imam Al-Muhaqqiq wa Al-Fahhamah Al-Mudaqqiq (Imam
yang Mumpuni ilmunya), A’yan Ulama Al-Qarn Al-Ram Asyar li Al-Hijrah (Tokoh
'Ulama Abad 14 H), Imam Ulama’ Al-Haramain (Imam 'Ulama Dua Kota Suci)
Tiga tahun
bermukim di Mekah, dia pulang ke Banten. Sampai di tanah air dia menyaksikan
praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan dari
Pemerintah Hindia Belanda. Ia melihat itu semua lantaran kebodohan yang masih
menyelimuti umat. Tak ayal, gelora jihadpun berkobar. Dia keliling Banten
mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Tentu saja Pemerintah Belanda
membatasi gara-geriknya. Dia dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan
belakangan dia dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu
memang sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825- 1830
M).
Sebagai
intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan
kebenaran, apa boleh buat Syaikh Nawawi terpaksa menyingkir ke Negeri Mekah,
tepat ketika perlawanan Pangeran Diponegoro padam pada tahun 1830 M. Ulama
Besar ini pada masa mudanya juga menularkan semangat Nasionalisme dan
Patriotisme di kalangan Rakyat Indonesia. Begitulah pengakuan Snouck
Hourgronje. Begitu sampai di Mekah dia segera kembali memperdalam ilmu agama
kepada guru-gurunya. Dia tekun belajar selama 30 tahun, sejak tahun 1830 hingga
1860 M. Ketika itu memang dia berketepatan hati untuk mukim di tanah suci, satu
dan lain hal untuk menghindari tekanan kaum penjajah Belanda. Nama dia mulai
masyhur ketika menetap di Syi'ib ‘Ali, Mekah. Dia mengajar di halaman rumahnya.
Mula-mula muridnya cuma puluhan, tetapi makin lama makin jumlahnya kian banyak.
Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Maka jadilah Syaikh Nawawi
al-Bantani al-Jawi sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama, terutama
tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.
Nama Syekh
Nawawi Al-Bantani (1230-1314 H / 1815-1897 M) semakin melejit ketika dia
ditunjuk sebagai pengganti Imam Masjidil Haram, Syaikh Achmad Khotib
Al-Syambasi ( 1217 H/1802 M - 1289 H/1872 M) atau Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi (1276-1334 H/ 1860-1916 M). Sejak itulah dia dikenal dengan
nama resmi Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.’ Artinya Nawawi dari Banten, Jawa.
Piawai dalam ilmu agama, masyhur sebagai ulama. Tidak hanya di kota Mekah dan
Medinah saja dia dikenal, bahkan di negeri Mesir nama dia masyhur di sana.
Itulah sebabnya ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Mesir negara
yang pertama-tama mendukung atas kemerdekaan Indonesia.
Syaikh Nawawi masih tetap
mengobarkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan para muridnya yang biasa
berkumpul di perkampungan Jawa di Mekah. Di sanalah dia menyampaikan
perlawanannya lewat pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini tentu saja membuat
pemerintah Hindia Belanda berang. Tak ayal, Belandapun mengutus Snouck
Hourgronje ke Mekah untuk menemui dia. Ketika Snouck–yang kala itu menyamar
sebagai orang Arab dengan nama ‘Abdul Ghafûr-bertanya: “Mengapa dia tidak
mengajar di Masjidil Haram tetapi di perkampungan Jawa?”. Dengan lembut Syaikh
Nawawi menjawab: “Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan tidak
pantas dengan keilmuan seorang professor berbangsa Arab”. Lalu kata Snouck
lagi: ”Bukankah banyak orang yang tidak sepakar seperti anda akan tetapi juga
mengajar di sana?”. Syaikh Nawawi menjawab : “Kalau mereka diizinkan mengajar
di sana, pastilah mereka cukup berjasa".
Karya-Karya
Kepakaran dia
tidak diragukan lagi. Ulama asal Mesir, Syaikh 'Umar 'Abdul Jabbâr dalam
kitabnya "al-Durûs min Mâdhi al-Ta’lîm wa Hadlirih bi al-Masjidil
al-Harâm” (beberapa kajian masa lalu dan masa kini tentang Pendidikan Masa kini
di Masjidil Haram) menulis bahwa Syaikh Nawawi sangat produktif menulis hingga
karyanya mencapai seratus judul lebih, meliputi berbagai disiplin ilmu. Banyak
pula karyanya yang berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik.
Sebagian dari karya-karya Syaikh Nawawi di antaranya adalah sebagai berikut:
1. al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah
al-Riyâdl al-Badî’ah
2. al-‘Aqd al-Tsamîn syarah
Fath al-Mubîn
3. Sullam al-Munâjah syarah
Safînah al-Shalâh
4. Baĥjah al-Wasâil syarah
al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
5. al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb
al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
6. Niĥâyah al-Zayyin syarah
Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
7. Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah
Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
8. Nashâih al-‘Ibâd syarah
al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
9. Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah
Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
10. Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
11. al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ
mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
12. Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
13. Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ
al-Kawâkib al-Jaliyyah
14. Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
15. Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
16. Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
17. Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
18. Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
19. Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
20. Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
21. Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
22. Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
23. Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
24. al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
25. ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
26. Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
27. Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
28. al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
29. Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa
almu’âdah
30. Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
31. al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb
al-Tashrîfiyyah
32. al-Riyâdl al-Fauliyyah
33. Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
34. Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
35. al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
36. Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
37. al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
38. Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.
Karya tafsirnya,
al-Munîr, sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsîr
Jalâlain, karya Imâm Jalâluddîn al-Suyûthi dan Imâm Jalâluddîn al-Mahâlli yang
sangat terkenal itu. Sementara Kâsyifah al-Sajâ syarah merupakan syarah atau
komentar terhadap kitab fiqih Safînah al-Najâ, karya Syaikh Sâlim bin Sumeir
al-Hadhramy. Para pakar menyebut karya dia lebih praktis ketimbang matan yang
dikomentarinya. Karya-karya dia di bidang Ilmu Akidah misalnya Tîjân al-Darâry,
Nûr al-Dhalam, Fath al-Majîd. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya
Tanqih al-Qaul. Karya-karya dia di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munâjah,
Niĥâyah al-Zain, Kâsyifah al-Sajâ. Adapun Qâmi’u al-Thugyân, Nashâih al-‘Ibâd
dan Minhâj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf. Ada lagi sebuah kitab fiqih
karya dia yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa, yaitu
Syarah ’Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain. Hampir semua pesantren
memasukkan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib, terutama di Bulan
Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan keluarga yang ditulis secara detail.
Hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara rinci. Kitab yang sangat
terkenal ini menjadi rujukan selama hampir seabad. Tapi kini, seabad kemudian
kitab tersebut dikritik dan digugat, terutama oleh kalangan muslimah. Mereka
menilai kandungan kitab tersebut sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan
masa kini. Tradisi syarah atau komentar bahkan kritik mengkritik terhadap karya
dia, tentulah tidak mengurangi kualitas kepakaran dan intelektual dia.
Karamah
Konon, pada
suatu waktu pernah dia mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk dia sebagai
lampu, saat itu dalam sebuah perjalanan. Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf
yakni rumah-rumahan di punggung unta, yang dia diami, sementara aspirasi tengah
kencang mengisi kepalanya. Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah
Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu menerangi jari kanannya yang
untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah
syarah Matan Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar dia dengan cacat pada jari
telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri dia itu
membawa bekas yang tidak hilang. Karamah dia yang lain juga diperlihatkannya di
saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan. Masjid yang
dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw Sayyid Utsmân bin
‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi, Ulama dan Mufti Betawi (sekarang ibukota Jakarta),
itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi
mesjid itu adalah Sayyid Utsmân sendiri.
Tak ayal , saat
seorang anak remaja yang tak dikenalnya menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah
Sayyid Utsmân. Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid
Utsmân tetap berpendirian kiblat Mesjid Pekojan sudah benar. Sementara Syaikh
Nawawi remaja berpendapat arah kiblat mesti dibetulkan. Saat kesepakatan tak
bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras,
Syaikh Nawawi remaja menarik lengan baju lengan Sayyid Utsmân. Dirapatkan
tubuhnya agar bisa saling mendekat.
“Lihatlah Sayyid!, itulah Ka΄bah
tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka΄bah itu terlihat amat
jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak kekiri. Maka perlulah kiblatnya digeser
ke kanan agar tepat menghadap ke Ka΄bah". Ujar Syaikh Nawawi remaja.
”
Sayyid Utsmân termangu. Ka΄bah
yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi remaja memang terlihat
jelas. Sayyid Utsmân merasa takjub dan menyadari , remaja yang bertubuh kecil
di hadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah.
Dengan karamah itu, di manapun dia berada Ka΄bah tetap terlihat. Dengan penuh
hormat, Sayyid Utsmân langsung memeluk tubuh kecil dia. Sampai saat ini, jika
kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai
aslinya.
Karamah Syaikh
Nawawi yang paling tinggi akan kita rasakan saat kita membuka lembar demi
lembar Tafsîr Munîr yang dia karang. Kitab Tafsir fenomenal ini menerangi jalan
siapa saja yang ingin memahami Firman Allah swt. Begitu juga dari
kalimat-kalimat lugas kitab fiqih, Kâsyifah al-Sajâ, yang menerangkan syariat.
Begitu pula ratusan hikmah di dalam kitab Nashâih al-‘Ibâd. Serta ratusan kitab
lainnya yang akan terus menyirami umat dengan cahaya abadi dari buah tangannya.
Jejak historis
Ulama Nusantara ini semoga dapat mewarisi sifat ilmiah generasi milenial cinta
ilmu, cinta ulama dan cinta tanah air.
0 comments:
Post a Comment