Melatih dan Mencerahkan Jiwa

Wednesday, December 5, 2018

Nilsi-Nilai Karakter Islam Wasathi (Moderat)


Islam sebagai agama yang didakwahkan Rasulullah merupakan agama pembawa rahmat, penuh kasih sayang. Disampaikan pula dengan cara-cara kasih sayang, penuh dengan nuansa kedamaian. Penampilan Islam yang berwajah sejuk, indah dan penuh persahabatan. Inilah nilai-nilai wasathi, moderasi Islam, perlu disyiarkan kembali dalam upaya merevitalisasi Dakwah Islam di Indonesia yang sudah tercemar dengan hal-hal yang tidak bersahabat. Wasathi sebagai akronim dari wasathiyah (moderat), adil (adil), syura (musyawarah)
al-qudwah (teladan), tasamuh (toleransi), hubbul watahan (cinta tanah air), ishlah (damai). Nilai-nilai ini pada dasarnya bersifat universal, holisticNilai-nilai karakter Islam wasathi adalah  :

(1). Wasathiyah.  

 Karakter “wasathiyah” atau sikap tengah-tengah, yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrith (mengurangi ajaran agama), tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Hal Ini disarikan dalam QS al-Baqarah (2) : 143  :

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً

“Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian”. 

              Dalam ayat di atas karakter wasath [i] yang disematkan pada umat Nabi Muhammad SAW adalah sesuatu yang melekat. Ini merupakan karunia Allah SWT  untuk umat Islam. Saat umat konsisten menjalankan ajaran-ajaran Allah SWT, maka saat itulah menjadi umat terbaik dan terpilih.
              Dapat disimpulkan bahwa bertindak moderat (wasathiyah) sesuai dengan petunjuk Al-Quran secara konsisten mengikuti petunjuk yang diajarkan oleh Allah SWT  melalui Nabi-Nya dan ditransmisikan melalui para ulama saleh. Semakin umat Islam taat dan tunduk pada ajaran Allah SWT, maka umat semakin moderat.

(2). Adil (I’tidal ).
Karakter adil / i'tidal atau tegak lurus, yaitu  menempatkan  sesuatu pada
tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional.

Allah SWT berfirman dalam QS Al-Maidah (5) : 8 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat dalam hukum. Dalam Islam , tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status sosial, ekonomi, atau politik.[ii]
Adapun nilai positif karakter adil antara lain: keadilan membawa ketentraman, kedamaian, menimbulkan kepercayaan, meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan prestasi belajar, menciptakan kemakmuran, mengurangi kecemburuan sosial, mempererat tali persaudaraan, dan menimbulkan kebaikan dan mencegah kejahatan

(3). Syura (Musyawarah)
Karakter “syura” sebagai proses memaparkan berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan berakal, agar dapat mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan dengan baik.
Islam telah menuntunkan umatnya untuk bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat dan bernegara.Dalam kehidupan berkeluarga, hal ini diterangkan dalam QS. al-Baqarah (2) : 233.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Al Quran telah menceritakan bahwa syura telah dilakukan oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh ratunya, yaitu Balqis. Dalam QS al-Naml (27) : 29-34; menggambarkan musyawarah yang dilakukan oleh Balqis dan para pembesar dari kaumnya guna mencari solusi menghadapi Nabi Sulaiman.
Demikian pula Allah telah memerintahkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Allah Ta’ala berfirman :[Ali ‘Imran : 159] :....وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ....“….dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan ….”.
Jadi, karakter syura (musyawarah) menjadi bagian penting dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, memilih model pendidikan atau pembelajaran,harus melalui proses syura, rapat Dewan Guru, Komite Sekolah, atau para pihak yang berkepentingan,  bila ingin diaplikasikan dalam suatu lembaga pendidikan, guna mencari yang terbaik.

 (4). Al-Qudwah (Teladan).
Secara historis, Rasulullah SAW berhasil menyebar luaskan Islam lewat sikap dan tingkah laku beliau yang selalu menunjukkan contoh yang baik bagi para sahabatnya, Nabi Muhammad sebagai qudwah atau uswatun hasanah (suri teladan) telah dinyatakan Allah SWT dalam QS. al-Ahzab (33) : 21:
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا  لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”
Rasulullah SAW sebagai suri teladan yang baik selalu mendahulukan dirinya mengerjakan segala perintah yang datang dari Allah swt. sebelum perntah itu disampaikan pada ummatnya, demikian pula larangan-larangan Allah swt. ia senantiasa menjauhinya.
Pribadi teladan juga dapat kita lihat pada sosok Nabi Ibrahim a.s. yang telah dipertegas oleh Allah SWT dalam QS. al-Mumtahanah : 4 artinya : “Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia… [QS. al-Mumtahanah (60): 4].
Nabi Ibrahim ‘alahihissalam telah melahirkan pendidikan keteladanan dengan menumbuhkan sikap rela berkorban bagi umat manusia, dan menjadi suatu kebiasaan bagi umat Islam untuk melaksanakan kurban pada hari raya Idul Adha, karena mencontoh sikap Nabi Ibrahim yang telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk berkurban.
Keberhasilan menerapkan teori keteladanan dalam pendidikan bukan hanya adadalam Al-Qur’an tetapi para ahli pendidikan pun turut melahirkan teori tersebut.Teori keteladanan diperkenalkan melalui belajar sosial dengan istilah social learning theory (teori belajar sosial).

(5).Tasamuh (Toleransi).
KarakterTasâmuh(toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya; Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT: (QS. Thaha: 44) :
فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut.”

Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Nabi Harun, agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun; menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah.
Apa yang dilakukan Nabi Musa dan Nabi Harun merukan karakter tasamuh; sikap toleran terhadap perbedaan, baik agama, pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, budaya, dan berbagai perbedaan lain.
Toleransi dalam beragama bukan berarti sikap kompromistis dalam berkeyakinan, karena keyakinan adalah kebenaran penuh yang tidak bisa dicampur dengan keyakinan agama lain, bukan pula membenarkan kebenaran keyakinan agama yang salah dan batil. Toleransi menjadi suatu hukum alam dalam mengelaborasi perbedaan menjadi sebuah rahmat.

 (6). Hubbul Wathan[iii] (Cinta Tanah Air)
Mencintai tanah air merupakan sifat alami manusia. Karena sifatnya yang alamiah melekat pada diri manusia, maka hal tersebut tidak dilarang oleh agama Islam, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran/nilai-nilai Islam.
Meskipun cinta tanah air bersifat alamiah, bukan berarti Islam tidak mengaturnya. Islam sebagai agama yang sempurna bagi kehidupan manusia mengatur fitrah manusia dalam mencintai tanah airnya, agar menjadi manusia yang dapat berperan secara maksimal dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, serta memiliki keseimbangan hidup di dunia dan akhirat.
Salah satu ayat Al-Qur’an yang menjadi dalil cinta tanah air menurut penuturan para ahli tafsir adalah Qur’an surat Al-Qashash (28) : 85:
إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ
Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.”
Syekh Ismail Haqqi Al-Hanafi Al-Khalwathi (wafat 1127 H) dalam tafsir Ruhul Bayan mengatakan:
وفي تَفسيرِ الآيةِ إشَارَةٌ إلَى أنَّ حُبَّ الوَطَنِ مِنَ الإيمانِ، وكَانَ رَسُولُ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ كَثِيرًا: اَلْوَطَنَ الوَطَنَ، فَحَقَّقَ اللهُ سبحانه سُؤْلَهُ .... قَالَ عُمَرُ رضى الله عنه لَوْلاَ حُبُّ الوَطَنِ لَخَرُبَ بَلَدُ السُّوءِ فَبِحُبِّ الأَوْطَانِ عُمِّرَتْ البُلْدَانُ.
 Di dalam tafsir ayat (QS. Al-Qashash : 85) terdapat suatu isyarat bahwa “cinta tanah air sebagian dari iman”. Rasulullah SAW (dalam perjalanan hijrahnya menuju Madinah) banyak sekali menyebut kata; “tanah air, tanah air”, kemudian Allah SWT mewujudkan permohonannya (dengan kembali ke Makkah)… Sahabat Umar berkata; “Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang jelek (gersang), sebab cinta tanah air lah, dibangunlah negeri-negeri”.
Menurut Muhammad Mahmud al-Hijazi dalam Tafsir al-Wadhih “memperkokoh moralitas jiwa, menanamkan nasionalisme dan gemar berkorban, mencetak generasi yang berwawasan ‘cinta tanah air sebagian dari iman, serta mempertahankannya (tanah air) adalah kewajiban yang suci. Inilah pondasi bangunan umat dan pilar kemerdekaan mereka.
Ada juga ayat Al-Qur’an yang menjadi dalil cinta tanah air, pada QS. al-Taubah (9) : 122 :
وَما كانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa belajar ilmu adalah suatu kewajiban bagi umat secara keseluruhan, kewajiban yang tidak mengurangi kewajiban jihad, dan mempertahankan tanah air juga merupakan kewajiban suci. Karena tanah air membutuhkan orang yang berjuang dengan pedang (senjata), dan juga orang yang berjuang dengan argumentasi dan dalil.
Sedangkan hadis yang menjadi dalil cinta tanah air menurut penjelasan para ulama Ahli Hadis :
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا ....... وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة حُبِّ الوَطَنِ والحَنِينِ إِلَيْهِ
Diriwayatkan dari sahabat Anas; bahwa Nabi SAW ketika kembali dari bepergian, dan melihat dinding-dinding madinah beliau mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkanya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah”. (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, dan Tirmidzi).
              Dengan demikian, sangat jelas bahwa cinta tanah air merupakan sifat alamiah dan mendasar bagi setiap manusia. Dasar argumentasi dan dalil, baik dari Al-Qur’an maupun Hadis mengisyaratkan tentang adanya cinta tanah air. Oleh karena itu, wajib bagi para pendidik agar menanamkan cinta air kepada para peserta didiknya sehingga identitas kebangsaan menjadi sesuatu yang sangat berharga demi kelangsungan hidup manusia dan berjalannya proses pendidikan dengan aman dan nyaman.   

(7). Ishlah (Perdamaian).
Membentuk karater damai, menjadi kewajiban bagi para pendidik, karena sebagai mahluk ciptaan Tuhan, mahluk paling sempurna. Manusia diberi akal, pikiran, dan hati nurani untuk berfikir, menemukan, serta membangun pribadi yang baik dan berbudi agar cinta pada perdamaian.
Kecenderungan manusia mencari kedamaian merupakan dambaan setiap manusia sesuai dengan jatidirinya. QS Al-Hujurat (49) : 10 :
            إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ 
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”

            Ayat di atas, ishlah, perdamain terkait antar sesama orang-orang beriman. Akan tetapi, hakikatnya perdamaian merupakan semangat ajaran Islam untuk  seluruh umat manusia. Perdamaian menjadi bagian penting jalannya pendidikandalam masyarakat dan bangsa.Oleh karena itu, bila terjadi perselesihan bahkan perang sekalipun, maka perdamaian menjadi wajib untuk segera diusahakan.   
Surat-Surat Rasulullah SAW kepada para penguasa dunia, mengajak para pemimpin tersebut agar mengikuti agama Islam sebagai syariat penutup dengan bahasa kenegaraan yang sopan santun. Hal ini menjadi  bukti kuat bahwa Islam merupakan rahmat semesta alam, Islam cinta damai. Rasulullah SAW mulai membumikan karakter ini setelah pulang dari Hudaibiyah. Perjanjian in merupakan perjanjian damai Rasulullah dengan orang-orang musyrik Mekah. Melalui perjanjian ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama damai dan cinta damai, sekalipun Nabi mampu menaklukkan dengan cara peperangan tetapi tidak dilakukannya.



[i] ) Fakhrudin Al-Râzi menyebutkan ada beberapa makna yang satu sama lain saling berdekatan dan saling melengkapi. Pertama, wasath berarti adil. Makna ini didasarkan pada ayat-ayat yang semakna, hadis nabi, dan beberapa penjelasan dari sya’ir Arab mengenai makna ini. Berdasarkan riwayat Al-Qaffal dari Al-Tsauri dari Abu Sa’id Al-Khudry dari Nabi Saw. bahwa ummatan wasathan adalah umat yang adil. Kedua, wasath berarti pilihan. Al-Râzi memilih makna ini dibandingkan dengan makna-makna lainnya, karena beberapa alasan antara lain: kata ini secara bahasa paling dekat dengan makna wasath dan paling sesuai dengan ayat yang semakna dengannya yaitu ayat, “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan ke tangah manusia…” (QS Ali Imrân [3]: 110). Ketiga, wasath berarti yang paling baik. Keempat, wasath berarti orang-orang yang dalam beragama berada di tengah-tengah antara ifrâth (berlebih-lebihan hingga mengada-adakan yang baru dalam agama) dan tafrîth (mengurang-ngurangi ajaran agama).Lihat, Al-Râzî,Jil. 2 hlm. 389-390.  Al-Sa’di menyimpulkan bahwa ummat wasath yang dimaksud adalah umat yang adil dan terpilih. Allah SWT telah menjadikan umat ini pertengahan (wasath) dalam segala urusan agama (dibanding dengan agama-agama lain) seperti dalam hal kenabian, syari’at, dan lainnya. Umat Islam ini adalah umat yang paling sempurna agamanya, paling baik akhlaknya, paling utama amalnya. Allah SWT telah menganugerahi ilmu, kelembutan budi pekerti, keadilan, dan kebaikan (ihsân) yang tidak diberikan kepada umat lain. Oleh sebab itu, mereka menjadi “ummatan wasathan”, umat yang sempurna dan adil agar “mereka menjadi saksi bagi seluruh manusia.” Lihat, Al-Sa’di, Jil. I ,hlm. 70.
[ii] ) Al-Qur’an secara spesifik menegaskan perilaku adil yaitu ; Keadilan dalam menetapkan hukum (QS An Nisa’ 58); memberikan hak kepada orang lain (QS Al Nahl 90); dalam berbicara (QS Al an’ am 152); dalam kesaksian (QS An Nisa’ 135); dalam pencatatan utang (QS Al Baqarah 282); dalam mendamaikan perselisihan ( QS Al Hujurat 9); dalam menghadapi orang yang tidak disukai (QS Al Maidah 8); dan dalam memberikan balasan ( QS Al Maidah 95).
[iii] ) Al-Jurjani dalam kitabnya al-Ta’rifat mendefinisikan tanah air dengan al-wathan al-ashli.
اَلْوَطَنُ الْأَصْلِيُّ هُوَ مَوْلِدُ الرَّجُلِ وَالْبَلَدُ الَّذِي هُوَ فِيهِ
al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya. Lihat, Al-Jurjani, Ali, al-Ta’rifat, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1405 H), hlm. 327

Share:

0 comments:

Post a Comment

Konsultasi dengan Gus Abduh

Data Kunjungan