Islam
sebagai agama yang didakwahkan Rasulullah merupakan agama pembawa rahmat, penuh
kasih sayang. Disampaikan pula dengan cara-cara kasih sayang, penuh dengan
nuansa kedamaian. Penampilan Islam yang berwajah sejuk, indah dan penuh
persahabatan. Inilah nilai-nilai wasathi, moderasi Islam, perlu disyiarkan
kembali dalam upaya merevitalisasi Dakwah Islam di Indonesia yang sudah
tercemar dengan hal-hal yang tidak bersahabat. Wasathi sebagai akronim
dari wasathiyah (moderat), adil (adil), syura (musyawarah),
al-qudwah (teladan), tasamuh (toleransi), hubbul watahan (cinta tanah air), ishlah (damai). Nilai-nilai ini pada
dasarnya bersifat universal, holistic. Nilai-nilai karakter Islam wasathi
adalah :
(1).
Wasathiyah.
Karakter “wasathiyah” atau sikap
tengah-tengah, yaitu pemahaman dan pengamalan yang
tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam
beragama) dan tafrith (mengurangi
ajaran agama), tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim
kanan. Hal Ini disarikan dalam QS al-Baqarah (2) : 143 :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً
لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
“Dan
demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan
pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan)
manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas
(sikap dan perbuatan) kamu sekalian”.
Dalam ayat di atas karakter wasath
[i] yang
disematkan pada umat Nabi Muhammad SAW adalah sesuatu yang melekat. Ini
merupakan karunia Allah SWT untuk umat
Islam. Saat umat konsisten menjalankan ajaran-ajaran Allah SWT, maka saat
itulah menjadi umat terbaik dan terpilih.
Dapat disimpulkan bahwa bertindak
moderat (wasathiyah) sesuai dengan
petunjuk Al-Quran secara konsisten mengikuti petunjuk yang diajarkan oleh Allah
SWT melalui Nabi-Nya dan ditransmisikan
melalui para ulama saleh. Semakin umat Islam taat dan tunduk pada ajaran Allah SWT,
maka umat semakin moderat.
(2). Adil (I’tidal
).
Karakter adil / i'tidal atau tegak lurus, yaitu menempatkan
sesuatu pada
tempatnya dan melaksanakan hak dan
memenuhi kewajiban secara proporsional.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Maidah (5) : 8 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ
قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ
عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ
اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang
yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela
(kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan
janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil.
Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan
bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.”
Islam
mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat dalam
hukum. Dalam Islam , tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit,
status sosial, ekonomi, atau politik.[ii]
Adapun nilai
positif karakter adil antara lain: keadilan membawa ketentraman, kedamaian, menimbulkan
kepercayaan, meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan prestasi belajar, menciptakan
kemakmuran, mengurangi kecemburuan sosial, mempererat tali persaudaraan, dan menimbulkan
kebaikan dan mencegah kejahatan
(3). Syura (Musyawarah)
Karakter “syura” sebagai proses
memaparkan berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif
dalam suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan
berakal, agar dapat mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan
sehingga tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan dengan baik.
Islam telah menuntunkan umatnya untuk
bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat
dan bernegara.Dalam kehidupan berkeluarga, hal ini diterangkan dalam QS.
al-Baqarah (2) : 233.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, Al Quran telah menceritakan bahwa syura telah dilakukan oleh kaum
terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh ratunya, yaitu Balqis. Dalam
QS al-Naml (27) : 29-34; menggambarkan musyawarah yang dilakukan oleh Balqis
dan para pembesar dari kaumnya guna mencari solusi menghadapi Nabi Sulaiman.
Demikian pula Allah telah memerintahkan
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Allah Ta’ala
berfirman :[Ali ‘Imran : 159] :....وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ....“….dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan ….”.
Jadi, karakter syura (musyawarah) menjadi bagian penting dalam ajaran Islam. Oleh
karena itu, memilih model pendidikan atau pembelajaran,harus melalui proses syura, rapat Dewan Guru, Komite Sekolah,
atau para pihak yang berkepentingan,
bila ingin diaplikasikan dalam suatu lembaga pendidikan, guna mencari
yang terbaik.
(4). Al-Qudwah (Teladan).
Secara historis,
Rasulullah SAW berhasil menyebar luaskan Islam lewat sikap dan tingkah laku
beliau yang selalu menunjukkan contoh yang baik bagi para sahabatnya, Nabi
Muhammad sebagai qudwah atau uswatun hasanah (suri teladan) telah
dinyatakan Allah SWT dalam QS. al-Ahzab (33) : 21:
لَّقَدۡ
كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ
ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ
أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ
ٱللَّهَ كَثِيرٗا
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”
Rasulullah SAW sebagai suri teladan yang
baik selalu mendahulukan dirinya mengerjakan segala perintah yang datang dari
Allah swt. sebelum perntah itu disampaikan pada ummatnya, demikian pula
larangan-larangan Allah swt. ia senantiasa menjauhinya.
Pribadi teladan juga dapat kita lihat
pada sosok Nabi Ibrahim a.s. yang telah dipertegas oleh Allah SWT dalam QS.
al-Mumtahanah : 4 artinya : “Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik
bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia… [QS. al-Mumtahanah
(60): 4].
Nabi Ibrahim ‘alahihissalam telah melahirkan pendidikan keteladanan dengan
menumbuhkan sikap rela berkorban bagi umat manusia, dan menjadi suatu kebiasaan
bagi umat Islam untuk melaksanakan kurban pada hari raya Idul Adha, karena mencontoh
sikap Nabi Ibrahim yang telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk berkurban.
Keberhasilan menerapkan teori
keteladanan dalam pendidikan bukan hanya adadalam Al-Qur’an tetapi para ahli
pendidikan pun turut melahirkan teori tersebut.Teori keteladanan diperkenalkan
melalui belajar sosial dengan istilah social
learning theory (teori belajar sosial).
(5).Tasamuh
(Toleransi).
KarakterTasâmuh(toleransi),
yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan
berbagai aspek kehidupan lainnya; Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang
berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT: (QS.
Thaha: 44) :
فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ
يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Maka berbicaralah
kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan
kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut.”
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT
kepada Nabi Musa ‘dan Nabi Harun,
agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun; menggunakan perkataan yang penuh
belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh
hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah.
Apa yang dilakukan Nabi Musa dan Nabi Harun
merukan karakter tasamuh; sikap toleran terhadap perbedaan, baik agama,
pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, budaya, dan berbagai perbedaan
lain.
Toleransi dalam beragama bukan berarti sikap
kompromistis dalam berkeyakinan, karena keyakinan adalah kebenaran penuh yang
tidak bisa dicampur dengan keyakinan agama lain, bukan pula membenarkan
kebenaran keyakinan agama yang salah dan batil. Toleransi menjadi suatu hukum
alam dalam mengelaborasi perbedaan menjadi sebuah rahmat.
(6). Hubbul Wathan[iii]
(Cinta Tanah Air)
Mencintai tanah
air merupakan sifat alami manusia. Karena sifatnya yang alamiah melekat pada
diri manusia, maka hal tersebut tidak dilarang oleh agama Islam, sepanjang
tidak bertentangan dengan ajaran/nilai-nilai Islam.
Meskipun cinta
tanah air bersifat alamiah, bukan berarti Islam tidak mengaturnya. Islam
sebagai agama yang sempurna bagi kehidupan manusia mengatur fitrah manusia
dalam mencintai tanah airnya, agar menjadi manusia yang dapat berperan secara
maksimal dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, serta memiliki
keseimbangan hidup di dunia dan akhirat.
Salah satu ayat
Al-Qur’an yang menjadi dalil cinta tanah air menurut penuturan para ahli tafsir
adalah Qur’an surat Al-Qashash (28) : 85:
إِنَّ الَّذِي
فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ
“Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (melaksanakan
hukum-hukum) Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.”
Syekh
Ismail Haqqi Al-Hanafi Al-Khalwathi (wafat 1127 H) dalam tafsir Ruhul Bayan
mengatakan:
وفي تَفسيرِ الآيةِ إشَارَةٌ إلَى
أنَّ حُبَّ الوَطَنِ مِنَ الإيمانِ، وكَانَ رَسُولُ اللهِ - صلى الله عليه وسلم -
يَقُولُ كَثِيرًا: اَلْوَطَنَ الوَطَنَ، فَحَقَّقَ اللهُ سبحانه سُؤْلَهُ ....
قَالَ عُمَرُ رضى الله عنه لَوْلاَ حُبُّ الوَطَنِ لَخَرُبَ بَلَدُ السُّوءِ
فَبِحُبِّ الأَوْطَانِ عُمِّرَتْ البُلْدَانُ.
“Di
dalam tafsir ayat (QS. Al-Qashash : 85) terdapat suatu isyarat bahwa “cinta
tanah air sebagian dari iman”. Rasulullah SAW (dalam perjalanan hijrahnya
menuju Madinah) banyak sekali menyebut kata; “tanah air, tanah air”, kemudian
Allah SWT mewujudkan permohonannya (dengan kembali ke Makkah)… Sahabat Umar
berkata; “Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang
jelek (gersang), sebab cinta tanah air lah, dibangunlah negeri-negeri”.
Menurut
Muhammad Mahmud al-Hijazi dalam Tafsir al-Wadhih “memperkokoh moralitas jiwa,
menanamkan nasionalisme dan gemar berkorban, mencetak generasi yang berwawasan
‘cinta tanah air sebagian dari iman, serta mempertahankannya (tanah air) adalah
kewajiban yang suci. Inilah pondasi bangunan umat dan pilar kemerdekaan mereka.”
Ada juga ayat
Al-Qur’an yang menjadi dalil cinta tanah air, pada QS. al-Taubah (9) : 122
:
وَما كانَ
الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke
medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak
pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.”
Ayat ini
mengisyaratkan bahwa belajar ilmu adalah suatu kewajiban bagi umat secara
keseluruhan, kewajiban yang tidak mengurangi kewajiban jihad, dan
mempertahankan tanah air juga merupakan kewajiban suci. Karena tanah air
membutuhkan orang yang berjuang dengan pedang (senjata), dan juga orang yang
berjuang dengan argumentasi dan dalil.
Sedangkan hadis
yang menjadi dalil cinta tanah air menurut penjelasan para ulama Ahli Hadis :
عَنْ أَنَسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ
سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ كَانَ
عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا ....... وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ
عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة حُبِّ الوَطَنِ والحَنِينِ
إِلَيْهِ
“Diriwayatkan dari sahabat Anas; bahwa Nabi SAW
ketika kembali dari bepergian, dan melihat dinding-dinding madinah beliau
mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkanya
(untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah”. (HR. Bukhari,
Ibnu Hibban, dan Tirmidzi).
Dengan demikian, sangat jelas
bahwa cinta tanah air merupakan sifat alamiah dan mendasar bagi setiap manusia.
Dasar argumentasi dan dalil, baik dari Al-Qur’an maupun Hadis mengisyaratkan
tentang adanya cinta tanah air. Oleh karena itu, wajib bagi para pendidik agar
menanamkan cinta air kepada para peserta didiknya sehingga identitas kebangsaan
menjadi sesuatu yang sangat berharga demi kelangsungan hidup manusia dan
berjalannya proses pendidikan dengan aman dan nyaman.
(7). Ishlah (Perdamaian).
Membentuk karater damai, menjadi
kewajiban bagi para pendidik, karena sebagai mahluk ciptaan Tuhan, mahluk
paling sempurna. Manusia diberi akal, pikiran, dan hati nurani untuk berfikir,
menemukan, serta membangun pribadi yang baik dan berbudi agar cinta pada
perdamaian.
Kecenderungan manusia mencari kedamaian
merupakan dambaan setiap manusia sesuai dengan jatidirinya. QS Al-Hujurat (49)
: 10 :
إِنَّمَا
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ
لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap
Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Ayat di atas, ishlah, perdamain terkait antar sesama orang-orang beriman. Akan
tetapi, hakikatnya perdamaian merupakan semangat ajaran Islam untuk seluruh umat manusia. Perdamaian menjadi
bagian penting jalannya pendidikandalam masyarakat dan bangsa.Oleh karena itu,
bila terjadi perselesihan bahkan perang sekalipun, maka perdamaian menjadi
wajib untuk segera diusahakan.
Surat-Surat Rasulullah SAW kepada para penguasa
dunia, mengajak para pemimpin tersebut agar mengikuti agama Islam sebagai
syariat penutup dengan bahasa kenegaraan yang sopan santun. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa Islam merupakan rahmat semesta
alam, Islam cinta damai. Rasulullah SAW mulai membumikan karakter ini setelah
pulang dari Hudaibiyah. Perjanjian in merupakan perjanjian damai Rasulullah dengan
orang-orang musyrik Mekah. Melalui perjanjian ini menunjukkan bahwa Islam
adalah agama damai dan cinta damai, sekalipun Nabi mampu menaklukkan dengan
cara peperangan tetapi tidak dilakukannya.
[i]
) Fakhrudin Al-Râzi menyebutkan ada beberapa makna yang satu sama lain saling
berdekatan dan saling melengkapi. Pertama, wasath berarti adil. Makna ini
didasarkan pada ayat-ayat yang semakna, hadis nabi, dan beberapa penjelasan
dari sya’ir Arab mengenai makna ini. Berdasarkan riwayat Al-Qaffal dari
Al-Tsauri dari Abu Sa’id Al-Khudry dari Nabi Saw. bahwa ummatan wasathan adalah
umat yang adil. Kedua, wasath berarti pilihan. Al-Râzi memilih makna ini
dibandingkan dengan makna-makna lainnya, karena beberapa alasan antara lain:
kata ini secara bahasa paling dekat dengan makna wasath dan paling sesuai
dengan ayat yang semakna dengannya yaitu ayat, “Kalian adalah umat terbaik yang
dilahirkan ke tangah manusia…” (QS Ali Imrân [3]: 110). Ketiga, wasath berarti
yang paling baik. Keempat, wasath berarti orang-orang yang dalam beragama
berada di tengah-tengah antara ifrâth (berlebih-lebihan hingga mengada-adakan
yang baru dalam agama) dan tafrîth (mengurang-ngurangi ajaran agama).Lihat,
Al-Râzî,Jil. 2 hlm. 389-390.
Al-Sa’di
menyimpulkan bahwa ummat wasath yang dimaksud adalah umat yang adil dan
terpilih. Allah SWT telah menjadikan umat ini pertengahan (wasath) dalam segala
urusan agama (dibanding dengan agama-agama lain) seperti dalam hal kenabian,
syari’at, dan lainnya. Umat Islam ini adalah umat yang paling sempurna
agamanya, paling baik akhlaknya, paling utama amalnya. Allah SWT telah
menganugerahi ilmu, kelembutan budi pekerti, keadilan, dan kebaikan (ihsân)
yang tidak diberikan kepada umat lain. Oleh sebab itu, mereka menjadi “ummatan
wasathan”, umat yang sempurna dan adil agar “mereka menjadi saksi bagi seluruh
manusia.” Lihat, Al-Sa’di, Jil. I ,hlm. 70.
[ii]
) Al-Qur’an secara spesifik menegaskan perilaku adil yaitu ; Keadilan dalam
menetapkan hukum (QS An Nisa’ 58); memberikan hak kepada orang lain (QS Al Nahl
90); dalam berbicara (QS Al an’ am 152); dalam kesaksian (QS An Nisa’ 135);
dalam pencatatan utang (QS Al Baqarah 282); dalam mendamaikan perselisihan ( QS
Al Hujurat 9); dalam menghadapi orang yang tidak disukai (QS Al Maidah 8); dan
dalam memberikan balasan ( QS Al Maidah 95).
[iii]
) Al-Jurjani dalam kitabnya al-Ta’rifat mendefinisikan tanah air dengan
al-wathan al-ashli.
اَلْوَطَنُ الْأَصْلِيُّ هُوَ مَوْلِدُ الرَّجُلِ وَالْبَلَدُ الَّذِي
هُوَ فِيهِ
al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan
negeri di mana ia tinggal di dalamnya. Lihat, Al-Jurjani, Ali, al-Ta’rifat,
(Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1405 H), hlm. 327