Melatih dan Mencerahkan Jiwa

Dr. KH. Abduh Al-Manar, M.Ag.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah. Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

PAUD Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MI Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MTS Al-Iryadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Thursday, August 30, 2018

Islam Sebagai Rahmat


Islam alam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Namun banyak orang menyimpangkan pernyataan ini kepada pemahaman-pemahaman yang salah kaprah. Sehingga menimbulkan banyak kesalahan dalam praktek beragama bahkan dalam hal yang sangat fundamental, yaitu dalam masalah aqidah.
Pernyataan  bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil ‘alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman AllahTa’ala,
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.
Secara bahasa,
الرَّحْمة: الرِّقَّةُ والتَّعَطُّفُ
rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (LihatLisaanul Arab, Ibnul Mandzur). Atau dengan kata lain rahmatdapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
Penafsiran Para Ahli Tafsir
1. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul Qayyim:
“Pendapat yang lebih benar dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa rahmat disini bersifat umum. Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran:
Pertama: Alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.

Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus.

Orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang mereka dapatkan adalah disegerakannya pembunuhan dan maut bagi mereka, itu lebih baik bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan menambah kepedihan adzab kelak di akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi mereka. Sehingga, dipercepatnya ajal lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup menetap dalam kekafiran.
Orang kafir yang terikat perjanjian dengan beliau, manfaat bagi mereka adalah dibiarkan hidup didunia dalam perlindungan dan perjanjian. Mereka ini lebih sedikit keburukannya daripada orang kafir yang memerangi Nabi Muhammad SAW.
Orang munafik, yang menampakkan iman secara zhahir saja, mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain.
Dan pada umat manusia setelah beliau diutus, Allah Ta’ala tidak memberikan adzab yang menyeluruh dari umat manusia di bumi. Kesimpulannya, semua manusia mendapat manfaat dari diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya. Sehingga bagi orang kafir, Islam tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan menerima. Sebagaimana jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan fulan tidak meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”
2. Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir:
“Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat’ ”
3. Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari:
“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini, tentang apakah seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min saja? Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbasradhiallahu’anhu dalam menafsirkan ayat ini:
من آمن بالله واليوم الآخر كتب له الرحمة في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن بالله ورسوله عوفي مما أصاب الأمم من الخسف والقذف
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar”
dalam riwayat yang lain:
تمت الرحمة لمن آمن به في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن به عوفي مما أصاب الأمم قبل
“Rahmat yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu”
Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat ini:
فهو لهؤلاء فتنة ولهؤلاء رحمة , وقد جاء الأمر مجملا رحمة للعالمين . والعالمون هاهنا : من آمن به وصدقه وأطاعه
“Dengan diutusnya Rasulullah, ada manusia yang mendapat bencana, ada yang mendapat rahmah, walaupun bentuk penyebutan dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia. Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang beriman kepada Rasulullah, membenarkannya dan menaatinya”
Pendapat yang benar dari dua pendapat ini adalah pendapat yang pertama, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas. Yaitu Allah mengutus Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi Wa sallamsebagai rahmat bagi seluruh manusia, baik mu’min maupun kafir. Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. BeliauShallallahu ‘alaihi Wa sallammemasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah. Sedangkan rahmat bagi orang kafir, berupa tidak disegerakannya bencana yang menimpa umat-umat terdahulu yang mengingkari ajaran Allah” (diterjemahkan secara ringkas).
4. Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi dalam Tafsir nya mengatakan:
“Said bin Jubair berkata: dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
كان محمد صلى الله عليه وسلم رحمة لجميع الناس فمن آمن به وصدق به سعد , ومن لم يؤمن به سلم مما لحق الأمم من الخسف والغرق
“Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang beriman dan membenarkan ajaran beliau, akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang tidak beriman kepada beliau, diselamatkan dari bencana yang menimpa umat terdahulu berupa ditenggelamkan ke dalam bumi atau ditenggelamkan dengan air”
Ibnu Zaid berkata:
أراد بالعالمين المؤمنين خاص
“Yang dimaksud ‘seluruh manusia’ dalam ayat ini adalah hanya orang-orang yang beriman” ”
5. Ash Shabuni dalam Shafwatut Tafasir
“Maksud ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk’. Sebagaimana dalam sebuah hadits:

إنما أنا رحمة مهداة

“Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)” (HR. Al Bukhari dalam Al ‘Ilal Al Kabir 369, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalamShahih Al Jami’, 2345)
Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan lilmu’minin‘, namun mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘ karena Allah Ta’ala ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksudrahmat Allah bagi seluruh manusia. Bahkan orang-orang kafir mendapat manfaat darirahmat ini, yaitu ditundanya hukuman bagi mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau dibenamkan ke bumi, atau ditenggelamkan dengan air”
Semoga Allah selalu memberikan Rahmat nya untuk kita sehingga umat Islam dapat menjaga kemuliaan ajaran Islam.
Share:

Friday, August 24, 2018

Makna Berkah

Barokah adalah kata yang diinginkan oleh hampir semua hamba yang beriman, karenanya orang akan mendapat limpahan kebaikan dalam hidup di dunia dan juga harapan terbaik di akherat. Barokah atau BERKAH adalah salah satu kata “selain salam dan rahmat” yang terkandung dalam salam Islam “Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh. Semoga keselamatan, rahmat Allah, dan keberkahan selalu menyertai Anda (kalian)”. Menurut bahasa, berkah berasal dari bahasa Arab, barokah (البركة), artinya nikmat (Kamus Al-Munawwir, 1997:78). Istilah lain berkah dalam bahasa Arab adalah   mubarak dan tabaruk.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:179), berkah adalah “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”.
Menurut istilah, berkah (barokah) artinya ziyadatul khair, yakni “bertambahnya kebaikan” (Imam Al-Ghazali, Ensiklopedia Tasawuf, hlm. 79).
Para ulama juga menjelaskan makna berkah sebagai segala sesuatu yang banyak dan melimpah, mencakup berkah-berkah material dan spiritual, seperti keamanan, ketenangan, kesehatan, harta, anak, dan usia.
Dalam Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi disebutkan, berkah memiliki dua arti:
(1) tumbuh, berkembang, atau bertambah; dan
(2) kebaikan yang berkesinambungan.
Menurut Imam Nawawi, asal makna berkah ialah“kebaikan yang banyak dan abadi”.
Dalam keseharian kita sering mendengar kata “mencari berkah”, bermaksud mencari kebaikan atau tambahan kebaikan, baik kebaikan berupa bertambahnya harta, rezeki, maupun berupa kesehatan, ilmu, dan amal kebaikan (pahala).
Kata berkah juga termasuk dalam doa kita kepada yang menikah: baarokalloohu lakuma…. Semoga keberkahan Allah untuk kalian berdua (pasangan pengantin).
Barokah bukanlah cukup dan mencukupi saja, tapi barokah ialah bertambahnya ketaatanmu kepada الله dengan segala keadaan yang ada, baik berlimpah atau sebaliknya. Barokah itu: “Albarokatu tuziidukum fi thoah” ~ Barokah menambah taatmu kepada الله
Berikut ini adalah tentang barokah/berkah dalam keseharian kita, semoga kita bisa mendapatkannya.
(1) Hidup yang barokah bukan hanya sehat, tapi kadang sakit itu justru barokah sebagaimana Nabi Ayyub عليه السلام, sakitnya menambah taatnya kepada الله.
(2) Barokah itu tak selalu panjang umur, ada yang umurnya pendek tapi dahsyat taatnya layaknya Musab ibn Umair.
(3) Tanah yang barokah itu bukan karena subur dan panoramanya indah, karena tanah yang tandus seperti Makkah punya keutamaan di hadapan الله tiada yang menandingi.
(4) Makanan barokah itu bukan yang komposisi gizinya lengkap, tapi makanan itu mampu mendorong pemakannya menjadi lebih taat setelah makan.
(5) Ilmu yang barokah itu bukan yang banyak riwayat dan catatan kakinya, tapi yang barokah ialah yang mampu menjadikan seorang meneteskan keringat dan darahnya dalam beramal dan berjuang untuk agama الله.
(6) Penghasilan barokah juga bukan gaji yang besar dan bertambah, tapi sejauh mana ia bisa jadi jalan rizqi bagi yang lainnya dan semakin banyak orang yang terbantu dengan penghasilan tersebut.
(7) Anak-anak yang barokah bukanlah saat kecil mereka lucu dan imut atau setelah dewasa mereka sukses bergelar dan mempunyai pekerjaan dan jabatan hebat, tapi anak yang barokah ialah yang senantiasa taat kepada Rabb-Nya dan kelak di antara mereka ada yang lebih shalih dan tak henti-hentinya mendo’akan kedua Orang tuanya.
Semoga segala aktifitas kita hari ini barokah.
“Sungguh, Allah menguji hamba dengan pemberian-Nya. Barangsiapa rela dengan pembagian Allah terhadapnya, maka Allah akan memberikan keberkahan baginya dan akan memperluasnya. Dan barangsiapa tidak rela, maka tidak akan mendapatkan keberkahan.” (HR. Ahmad).
Semoga Allah selalu memberikan keberkahan hidup kepada kita.
Share:

Tuesday, August 21, 2018

Keutamaan Hari Arafah

Di antara keutamaan hari Arafah disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali yang kami sarikan berikut ini:
1- Hari Arafah adalah hari disempurnakannya agama dan nikmat. Dalam shahihain(Bukhari-Muslim), ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhuberkata bahwa ada seorang Yahudi berkata kepada ‘Umar,
آيَةٌ فِى كِتَابِكُمْ تَقْرَءُونَهَا لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لاَتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا . قَالَ أَىُّ آيَةٍ قَالَ ( الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا ) . قَالَ عُمَرُ قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِى نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ
“Ada ayat dalam kitab kalian yang kalian membacanya dan seandainya ayat tersebut turun di tengah-tengah orang Yahudi, tentu kami akan menjadikannya sebagai hari perayaan (hari ‘ied).” “Ayat apakah itu?” tanya ‘Umar. Ia berkata, “(Ayat yang artinya): Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” ‘Umar berkata, “Kami telah mengetahui hal itu yaitu hari dan tempat di mana ayat tersebut diturunkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berdiri di ‘Arofah pada hari Jum’at.” (HR. Bukhari no. 45 dan Muslim no. 3017). At Tirmidzi mengeluarkan dari Ibnu ‘Abbas semisal itu. Di dalamnya disebutkan bahwa ayat tersebut turun pada hari ‘Ied yaitu hari Jum’at dan hari ‘Arofah.
2- Hari Arafah adalah hari ‘ied (perayaan) kaum muslimin. Sebagaimana kata ‘Umar bin Al Khottob dan Ibnu ‘Abbas. Karena Ibnu ‘Abbas berkata, “Surat Al Maidah ayat 3 tadi turun pada dua hari ‘ied: hari Jum’at dan hari Arafah.” ‘Umar juga berkata, “Keduanya (hari Jum’at dan hari Arafah) -alhamdulillah- hari raya bagi kami.” Akan tetapi hari Arafah adalah hari ‘ied bagi orang yang sedang wukuf di Arafah saja. Sedangkan bagi yang tidak wukuf dianjurkan untuk berpuasa menurut jumhur (mayoritas) ulama.
3- Hari Arafah adalah asy syaf’u(penggenap) yang Allah bersumpah dengannya sedangkan hari Idul Adha (hari Nahr) disebut al watr (ganjil). Inilah yang disebutkan dalam ayat,
وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ
“Dan (demi) yang genap dan yang ganjil” (QS. Al Fajr: 3). Demikian kata Ibnu Rajab Al Hambali. Namun Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir menukil pendapat sebaliknya. Yang dimaksud al watr adalah hari Arafah, sedangkan asy syaf’uadalah hari Nahr (Idul Adha). Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah dan Adh Dhohak.
4- Hari Arafah adalah hari yang paling utama. Demikian pendapat sebagian ulama. Ada pula yang berpendapat bahwa hari yang paling utama adalah hari Nahr (Idul Adha).
5- Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, “Hari ‘Arafah lebih utama dari 10.000 hari.”’Atho’ berkata, “Barangsiapa berpuasa pada hari ‘Arofah, maka ia mendapatkan pahala seperti berpuasa 2000 hari.”
6- Hari Arafah menurut sekelompok ulama salaf disebut hari haji akbar. Yang berpendapat seperti ini adalah ‘Umar dan ulama lainnya. Sedangkan ulama lain menyelisihi hal itu, mereka mengatakan bahwa hari haji akbar adalah hari Nahr (Idul Adha).
7- Puasa pada hari Arafah akan mengampuni dosa dua tahun. Dari Abu Qotadah, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Puasa Arafah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim no. 1162).
8- Hari Arafah adalah hari pengampunan dosa dan pembebasan dari siksa neraka. Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arofah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim no. 1348).
Allah pun begitu bangga dengan orang yang wukuf di Arafah. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِى مَلاَئِكَتَهُ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ بِأَهْلِ عَرَفَةَ فَيَقُولُ انْظُرُوا إِلَى عِبَادِى أَتَوْنِى شُعْثاً غُبْراً
“Sesungguhnya Allah berbangga kepada para malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di Arafah, dan berkata: “Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu” (HR. Ahmad 2: 224. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya tidaklah mengapa).
Referensi:
Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, terbitan Dar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H, hal. 487-489.
Share:

Saturday, August 18, 2018

Realisasi dan Hikmah Ibadah Haji






Ali Syariati, melalui analisanya, mengajak kita untuk menyelami makna haji. Menggiring kita ke dalam lorong-lorong haji yang penuh makna. Diajaknya kita untuk memahami haji sebagi langkah “pembebasan diri”, bebas dari penghambaan kepada tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Sejati.
Melalui uraiannya membangkitkan semangat, kita diberitahu siapa saja kepalsuan yang ternyata menjadi sahabat, kekasih dan pembela kita, yang harus kita waspadai dan kita bongkar topeng kemunafikannya. Haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi manusia. Dengan kata lain, orang yang sudah berhaji haruslah menjadi manusia yang lebih lurus hidupnya dibanding sebelumnya. Kalau tidak, sesungguhnya kita hanyalah wisatawan yang berlibur ke tanah suci di musim haji, tidak lebih!
Tanda-tanda kemabruran haji seseorang adalah jika ia mampu membentuk kepribadiannya menjadi lebih baik setelah melaksanakan haji dibandingkan sebelumnya dan tidak lagi mengulang maksiat.
Pelestarian Ibadah haji dilaksanakan dengan merealisasikan apa yang dilakukan selama haji dalam kehidupan sehari-hari.  Keterkaitan antara pelaksanaan haji dengan kehidupan sehari-hari antara lain terwujud dalam:
  • Pengambilan sikap untuk berbuat sesuai aturan Allah sebagai realisasi dari pengambilan miqat ihram.
  • Menjaga diri dengan aturan  dan membatasi diri dari hal yang mengharamkan sebagai realisasi dari ihram.
  • Senantiasa mendahulukan panggilan Allah dan tidak membaurkan dengan niat dan tujuan lain sebagai realisasi dari ungkapan Talbiyah.
  • Memperjuangkan syiar Allah sehingga Allah dan Islam menjadi pusat dari perputaran dunia sebagai realisasi kepatuhan dan kekhusyuan dalam ibadah Thawaf.
  • Senantiasa berintrospeksi  sebagai perwujudan makna Wukuf di Arafah.
  • Senantiasa berkurban di jalan Allah dengan harta dan jiwa sebagai realisasi dan makna berqurban dan tahalul.
  • Kesediaan untuk sewaktu –waktu beriktikaf, berkhalwat dan tadabur  alam sebagai realisasi makna mabit.
  • Keharusan berusaha dan berjuang sekuat tenaga untuk meraih kehidupan dan cita-cita masa depan sebagai realisasi Sa’i antara Safa dan Marwah.
  • Memelihara kelestarian alam dan menghindari seluruh aktivitas yang merusak lingkungan hidup sebagai realisasi larangan berburu, memotong pohon dan menyakiti orang lain selama berhaji.
  • Berjiwa toleran dan saling menghormati sesama sebagai realisasi makna larangan untuk berbuat rafats, fusuq, dan jidal.
Hikmah Ibadah Haji
Banyak sekali Hikmah yang terkandung dalam ibadah Haji, baik yang dinyatakan dalam Al Qur’an maupun yang harus dicari sendiri oleh pelakunya.  Ibadah haji telah mewujudkan pertemuan dialogis antara kesadaran aqidah dan kecerdasan rasio.
Pengalaman spiritual masing-masing orang akan berbeda tergantung kepada banyak factor.  Dalam berbagai amaliah haji seringkali sulit bagi akal manusia untuk memahami atau mengungkapkan apa hikmah yang tersirat di dalamnya yang sepintas terlihat irasional dan tak masuk akal.
 Para Haji yang telah pulang ke tanah airnya diharapkan mendapat pencerahan yang direfleksikan kepada masyarakat dengan amal shaleh dan karya nyata.  Indikator kemabruran haji nampak pada kepribadian dan sikap sebagai berikut:
  1. Kepatuhan dan penyerahan kepada Allah semata.
Hikmah utama dari ibadah haji adalah sebagai bentuk Kepatuhan dan penyerahan diri kepada Allah. Ketika Allah memanggil kita, maka kita bergegas memenuhi panggilan tersebut walaupun harus menempuh perjalanan  jauh dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, meluangkan waktu yang sangat berharga dan meninggalkan keluarga dan harta benda.  Dengan demikian seorang haji akan selalu siap bila Allah memerintahkannya menjalankan tugas luhur dari Allah karena untuk memenuhi tugas yang sulitpun kita telah bersedia datang memenuhi panggilannya.
  1. Meningkatkan kedisiplinan.
Selama di tanah suci, jamaah haji dibiasakan untuk disiplin melaksanakan semua ritual haji dan sholat secara berjamaah di awal waktu dengan bersemangat. Kebiasaan disiplin tersebut diharapkan dapat melekat dalam kehidupan selanjutnya. Hasan al-Bashari berkata: Bersegerah, bersegeralah, sesungguhnya itulah napasmu, jika telah dihisab niscaya ia akan terputus darimu amal ibadahmu yang dengannya kamu mendekatkan diri kepada Allah swt, semoga Allah swt memberikan rahmat-Nya kepada seseorang yang merenungkan dirinya dan menangisi dosanya, kemudian ia membaca firman Allah swt:
karena sesungguhnya Kami hanya menghitung datangnya (hari siksaan) untuk mereka dengan perhitungan yang teliti” (QS. Maryam: 84)
Apakah ada obat mujarab untuk mengobati penyakit malas dalam melaksanakan rutinitas keta’atan? kematian, ingatlah kita semua akan berangkat meninggalkan dunia ini menuju suatu negeri yang akan dibalas padanya orang-orang yang berbuat baik dan yang berbuat jahat, apabila kita menginginkan untuk terus merasakan berkah hajimu, maka ingatkanlah dirimu dengan kematian, karena sesungguhnya ia pada saat itu akan segera untuk melaksanakan amal shalih dan giat dalam beribadah kepada Allah swt. Ibnu Umar ra berkata: [Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi, dan apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah engkau menunggu hingga sore, ambilah kesempatan sehatmu untuk saat sakitmu, dan ambilah kesempatan hidupmu untuk saat matimu.   
  1. Senantiasa Mengingat Kematian 
Umar bin Abdul Aziz rahimahullahberkata: [Kematian ini menahan penduduk dunia dari kenikmatan dunia dan perhiasaannya yang mereka nikmati, sehingga tatkala mereka dalam keadaan seperti itu kematian datang menjemputnya, maka celaka dan merugilah orang yang tidak takut mati dan tidak mengingatnya di saat senang sehingga dapat memberikan kebaikan yang akan didapatinya setelah ia meninggalkan dunia dan para penghuninya].
  1. Senantiasa memperbanyak berdo’a kepada Allah swt,
agar Dia selalu menetapkan kita dalam keta’atan,   meluruskan langkah dan senantiasa menjalani jalur agama-Nya yang benar. Rasulullah saw memperbanyak do’a kepada Allah swt agar menetapkannya di atas agama-Nya, Kebanyakan doa beliau adalah “Wahai Dzat Yang membolak-balikan hati, tetapkanlah hatiku berada diatas agama-Mu
  1. Motivasi peningkatan diri.
 Ibadah haji akan menumbuhkan motivasi untuk memperbaiki diri. Seseorang yang bergelimang dosa, sering putus asa dengan dosa-dosanya sehingga sering merasa sudah terlanjur dengan dosanya. Dengan jaminan Allah bahwa Haji akan menghapus dosa, seolah-olah kita disegarkan kembali, sehingga akan termotivasi untuk menjaga diri agar tidak membuat dosa lagi.
  1. Menumbuhkan jiwa sabar
Kondisi yang dihadapi selama pelaksanaan ibadah haji akan menumbuhkan jiwa sabar. Dalam kondisi hampir 4 juta manusia berkumpul pada satu saat dan satu tempat maka fasilitas yang ada menjadi sangat terbatas. Setiap aktivitas membutuhkan kesabaran yang tinggi, mulai dari antri makan, ke toilet, dll.
Setelah berhaji kita harus sabar dalam keta’atan ketika meneruskan perjalanan hidup dan bersabar pula dalam meninggalkan maksiat, karena sesungguhnya bersabar dalam melaksanakan ibadah dan meninggalkan maksiat merupakan tingkatan sabar yang tertinggi. Sesungguhnya kesudahan bagi orang-orang yang bersabar adalah surga:
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rejeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk kedalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan):”Salamun ‘alaikum bima shabartum”.Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu” (QS. Ar-Ra’ad:22-24)
  1. Menumbuhkan Solidaritas dan kebersamaan.
 Berkumpulnya ummat Islam dari seluruh dunia pada satu saat di satu tempat menumbuhkan jiwa solidaritas & kebersamaan. Kita akan bertemu dengan saudara Muslim dari seluruh dunia dalam kesederhanaan dan keberagaman. Kapan lagi bertemu dengan Muslim dari Kosovo, Uzbekistan, Kazakhstan, Mali, Nigeria, Bosnia Herzegovina, Turki, Kirgistan, China, India, Pakistan, Bangladesh, Afganistan. Walaupun ada perbedaan dalam tata cara ibadah, namun tidak membuat ikatan persaudaraan sesama muslim menjadi terhambat. 
  1. Menjiwai perjuangan para rasul.
 Di Tanah suci kita akan mengunjungi tempat-tempat bersejarah para nabi dan rasul. Dengan menyaksikan tempat-tempat tersebut dan mempelajari sepak terjang mereka maka kita akan sampai pada tahapan ainul yakin dan haqul yakin sehingga menginspirasi kita untuk belajar dari para pendahulu.
Ibadah haji penuh dengan ‘gerakan’ dari satu tempat menuju tempat lain. Dari Miqat menuju Arafah, dari Arafah menuju Muzdalifah, dari Muzdalifah menuju Mina. Haji merupakan gerakan bukan sekedar perjalanan. Bila perjalanan akan sampai pada ujung, maka haji adalah sasaran yang berusaha kita dekati, bukan tujuan yang kita capai. Untuk menuju Allah ada 3 fase yang harus dilalui : Arafah, Masy’ar (Muzdalifah) dan Mina. Arafah berarti “Pengetahuan”, May’ar berari “Kesadaran” dan Mina berarti Cina dan keimanan. Arafah melambangkan penciptaan manusia dan tempat pertemuan Adam dan Hawa, di sanalah mereka saling berkenalan.
Berkumpulnya manusia sedunia melaksanakan Ibadah haji merupakan sarana dan media efektif untuk meningkatkan dakwah Islamiyah dan mempersatukan ummat manusia dalam satu panji Islam yang akan menggentarkan musuh-musuhnya.
Indikator Haji Mabrur
Setibanya dari haji, kita masih merasa dekat dengan Allah swt, sehingga alangkah baiknya bila kebiasaan selama berhaji dilanjutkan sebelum datangnya rasa malas dan jemu yang membuat sirna haji kita bersama tiupan angin.    Berjuanglah agar kita tidak menjadi lemah sebagaimana ketika berjuang pada hari-hari kita berada di tempat yang suci tersebut.
Bersamaan dengan kepulangan kita menuju tanah air, yaitu: janganlah kita memandang terhadap diri sendiri seperti pandangan orang-orang yang tertipu, yaitu orang-orang yang apabila mengerjakan sedikit saja keta’atan, mereka menganggap diri mereka seolah-olah manusia paling mulia dimuka bumi, akan tetapi lihatlah dirimu dengan pandangan kekurangan, karena sesungguhnya sebanyak apapun amal shalih yang kita kerjakan, maka ia tidak bisa digunakan untuk mensyukuri kenikmatan terkecil yang Allah anugerahkan terhadap kita. Rasulullah saw mengajarkan kepada kita bagaimana cara beribadah kepada Allah swt, Beliau beribadah di malam hari hingga bengkak kedua kakinya, apabila mereka bertanya akan hal tersebut, beliau akan menjawab:
Apakah aku tidak boleh untuk menjadi hamba yang sangat bersyukur?”  Dan Nabi saw bersabda:“Demi Allah, sesungguhnyaaku meminta ampun dan bertaubat kepada Allah swt dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali” HR. al-Bukhari
Indikator kemabruran haji dapat dilihat pula dari aspek kehidupan sosial kemasyarakatan antara lain;
  1. Menegakkan shalat berjamaah dan menjadi pelopor kemakmuran masjid. Salah satu pendidikan dalam haji yang mengedepankan pentingnya melaksanakan shalat berjamaah adalah perintah kepada para jamaah haji untuk melaksanakan shalat arbain (empat puluh waktu shalat) di masjid nabawi yang bertujuan membiasakan para hujjaj untuk selalu sigap melaksanakan shalat berjamaah di masjid sekembalinya dari haji.
  2. Meningkatkan kepedulian terhadap orang yang lemah, menyantuni anak yatim dan fakir miskin sebagai amanah Allah kepada hambanya yang berkemampuan melalui zakat, infaq dan shadaqoh. Rasulullah menegaskan bahwa salah satu tanda kemabruran adalah kecenderungan serang Hujaj untuk memberi kepada yang membutuhkan. Sebagai pelayanan masyarakat seorang Haji akan mendatangi anak yatim dan fakir miskin untuk membantu dan menghidurnya untuk mendapatkan keridhoan Allah.
  3. Menjenguk orang sakit dan takjiyah kepada yang meninggal.   Seorang haji yang mendengar sanak saudara atau famili yang sedang menderita sakit atau meninggal dunia akan tergerak untuk menjenguk dan takziah sebagai tindak lanjut talbiyah yang sudah masuk ke dalam hati bukan hanya sekedar di mulut. Menjenguk orangsakit sangat dicintai Allah karena merupakan implementasi dari menghidupkan silaturahmi sehingga puluhan ribu malaikat akan mengiringi orang yang menghidupkan silaturahmi ini.
  4. Aktif memperjuangkan dakwah dan amar maruf nahi munkar.
  5. Tolong Menolong terhadap saudara, kerabat dan tetangganya. Kebiasaan saling tolong menolong merupakan panggilan Illahi yang terbiasa melakukan tolong menolong selama di tanah suci.
  6. Mendamaikan orang yang berselisih.  Sebagai duta Allah, seorang Hujjaj terpanggil untuk menjadi duta perdamaian yang mendamaikan orang yang berselisih. Jika seorang haji mendengar ada orang yang berselisih, maka berita itu merupakan undangan ALLah untuk mengishlahkan orang yang berselisih dan menyambungkan kembali tali silaturahmi di antara mereka.
  7. Patuh melaksanakan perintah Allah khususnya meningkatkan kualitas Shalat sebagai dasar untuk melaksanakan amar makruf nahi munkar. Sahalat berkualitas adalah shalat yang dilaksanakan dengan Khudu (rendah diri), khusyu, dan menjaga waktunya.
  8. Konsekuen meninggalkan apa yang diperintahkan Allah karena malu kepada Allah .
  9. Gemar melaksanakan ibadah sunnah dan menjauhi amal yang makruh dan tidak bermanfaat.
  10. Meningkatkan rasa syukur dan tawakal. Orang yang melaksanakan haji berarti mendapatkan nikmat besar yang wajib disyukuri disamping berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya lalu berserah diri kepada Allah.
  11. Memelihara akhlaq terpuji. Akhlaq terpuji adalah perilaku orang shaleh yang melekat pada dirinya dalam pergaulan hidup bermasyarakat
  12. Meningkatkan ibadah puasa dan membiasakan membaca AL Qur’an.  Ibadah puasa adalah sarana untuk mencapai ketaqwaan dan mengendalikan syahwat di samping menjaga kesehatan jasmani. Membaca Al Qur’an adalah sarana untuk menambah ilmu yang akan menjadi syafaat di akhirat.
  13. Memelihara kejernihan hati dan kejujuran sehingga tidak mudah terjerumus ucapan dan perbuatan maksiat yang merugikan orang lain.
  14. Bersemangat mencari ilmu dan mengembangkan potensi diri
  15. Cepat bertaubat ketika menyadari dirinya melakukan kesalahan
  16. Senantiasa bekerja keras untuk mencari nafkah untuk kebutuhan dirinya dan berusaha tidak membebani orang lain.
” وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ “
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-Ankabuut: 69)
” فَأَمَّا مَن طَغَى {37} وَءَاثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا {38} فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى {39} وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى {40} فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى “ 
Adapun orang yang melampaui batas,(37) dan lebih mengutamakan kehidupan dunia (38) maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). (39) Dan adapun orang-orang yangtakut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya (40) maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (QS. An-Nazi’aat: 37-41)
Setiap pribadi akan mendapatkan hikmah dan pengalaman sendiri yang boleh diceritakan kepada orang lain sebagai rasa syukur kepada Allah sekaligus introspeksi diri.
Share:

Wednesday, August 15, 2018

Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan

Setiap bulan Agustus datang, berbagai macam acara dan keramaian dilaksanakan masyarakat Indoneisa di seluruh pelosok negeri ini. Pemandangan seperti ini, sepertinya sudah menjadi rutinitas dan budaya bangsa ini. Karena memang pesta dan perayaan, merupakan salah satu wujud syukur kita kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan-Nya. Dan kemerdekaan adalah salah satu dari ni’mat Allah swt yang diberikan-Nya kepada manusia dan semestinya disyukuri. Seperti disebutkan Allah swt dalam surat al-Ma’idah [5]: 20
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَءَاتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan ingatlah, ketika Musa berkata kepada kaumnya, wahai kaumku, ingatlah ni’mat Allah atas kamu Dia telah menjadikan banyak nabi untukmu dan telah menjadikan kamu bangsa yang mardeka.”
Hal yang sama Allah sebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 49, surat al-A’raf [7]: 141, dan surat Ibrahim [14]: 6.
Dalam ayat di atas, Allah swt. menyebutkan betapa nikmat kemerdekaan adalah salah satu nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada suatu individu, masyarakat atau suatau bangsa. Nikmat mardeka setara dengan nikmat diutusnya para nabi kepapada suatu kaum. (اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا). Begitu ungkap Allah swt.
Kenapa Nikmat mardeka disetarakan Allah swt dengan nikmat diutusnya seorang nabi? Sebab, keduanya sama-sama menjadikan manusia hidup dalam taraf terhormat dan penuh kemuliaan. Kemerdekaan akan menyelamatkan seseorang atau suatu bangsa dari kezaliman, penindasan, kebodohan, keterbelakangan, kegelapan dan seterusnya. Lihatlah alinea kedua dan empat pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang dengan tegas menyebutkan tujuan kemerdekaan adalah “menciptakan bangsa yang mardeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Begitu juga disebutkan pada alenia empat bahwa kemerdekaan bertujuan, “melindungi kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan keadilan sosial”. 
Begitu juga tujuan diutusnya seorang rasul kepada suatu kaum atau bangsa seperti dalam surat al-Baqarah [2]: 151
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِنْكُمْ يَتْلُوْ عَلَيْكُمْ آياَتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمْ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُوْنوْا تَعْلَمُوْنَ
Bahwa seorang rasul Allah utus kepada suatu kaum untuk menunjuki kaum itu ke jalan kebenaran dan menata kehidupan mereka, mensucikan mereka dari kubangan kezaliman, mengajarkan ilmu dan hikmah serta mengajarkan apa yang belum diketahui sehingga mereka selamat dari kebodohan.
Ada hal menarik untuk dicermati terkait nikmat kemerdekaan yang Allah sebutkan dalam surat al-Ma’idah ayat 20 di atas. Di mana nikmat mardeka tersebut Allah ungkapkan dalam bentuk kata kerja masa lalu (fi’il madhi) dalam ungkapan waja’alakum mulukan(وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا). Secara teori kebahasan bahwa kata kerja masa lalu adalah sesuatu yang pernah terjadi dan kondisinya tidak permanen. Pola kata ini berbeda dengan fi’il mudhari’ ”yaj’alu”  (يجعل) yang berarti selalu dan terus menerus (kontiniutas). Dengan menggunakan kata kerja masa lalu ja’ala(جعل), Allah ingin mengatakan bahwa nikmat mardeka itu tidak bersifat permanen dan abadi. Bisa saja dulu kamu mardeka, namun karena tidak bisa mensyukurinya akan kembali terjajah. Kondisi ini pernah dialami oleh kaum Bani Israel yang berkali-kali mardeka, namun berkali-kali pula dijajah karena tidak pandai bersyukur.
Begitu pula lah mungkin  dengan bangsa kita, Indonesia walaupun secara politik kita sudah mardeka dan menjadi bangsa berdaulat selama 68 tahun lamanya, namun rasanya kita masih terjajah dalam berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, budaya atau bahkan secara politik masih dijajah bangsa lain. Sepertinya bangsa kita masih belum berdaulat di banyak bidang kehidupan terutama ekonomi dan budaya. Hal itu salah satu penyebabnya adalah masih banyaknya penduduk negeri ini yang belum pandai mensyukuri nikmat kemerdekaan yang telah diberikan Allah.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana sikap kita terhadap nikmat kemerdekaan ini? Jawabannya bisa kita temukan dalam surat al-Nashr [110]: 1-3.
إذا جاء نصر الله والفتح. ورأيت الناس يدخلون في دين الله أفواجا. فسبح بحمد ربك واستغفره إنه كان توابا
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.      
Seperti yang diketahui bahwa para pejuang dan pendiri bangsa ini sepakat mengakui bahwa kemenangan dan kemerdekaan yang diperoleh bukan semata karena perjuangan dan kehebatan serta kekuatan fisik. Namun, kemerdekaan itu semata diperoleh karena pertolongan Allah semata “nashrullah” (نصر الله). Itulah yang secara eksplisit diungkapkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ketiga. Itulah wujud syukur dalam tahap awal, yaitu pengakuan dengan hati akan nikmat Allah swt. Setelah itu Allah menyuruh kita untuk mengucap syukur “fasabbih bihamdi rabbika(فسبح بحمد ربك) inilah bentuk syukur dengan lidah dengan ucapan Alhamdulillah. Dan paling terakhir Allah menyuruh istighfar “wa istaghfirhu” (واستغفره). Kenapa kita disuruh beristighfar dengan nikmat kemardekaan?
Inilah hal yang paling penting dimanaistighfar adalah bentuk pengakuan akan kesalahan dan dosa. Dengan istighfar kita diminta untuk menyadari betapa belum maksimalnya kita bersyukur terhadap nikmat kemerdekaan dan pertolongan Allah tersebut. Kesadaran ini kemudian yang menuntun kita untuk segera melakukan yang terbaik sebagai wujud syukur terhadap nikmat kemerdekaan ini.
Kalaulah para pemimpin bangsa ini banyak beristghfar dalam pengertian menyadari betapa belum maksimalnya mereka berbuat untuk bangsa ini selama mengemban jabatan, tentulah tidak ada pemimpin yang akan berfoya-foya dengan fasilitas yang diberikan Negara untuk mereka. Andaikata pada pejabat dan penguasa di negeri ini banyak beristighfar dan menyadari betapa tidak bersyukurnya mereka terhadap nikmat mardeka yang telah mereka nikmati, niscaya mereka akan malu menikmati indahnya jabatan dengan segala kemewahannya itu. Sayang tidak banyak penguasa, pejabat dan pemimpin negeri yang pandai beristighfar. Jangankan beristighfar karena belum maksimal berbuat yang terbaik untuk bangsa dan Negara atas amanah jabatan yang mereka emban, yang tertangkap tangan korupsipun tidak pernah keluar ucapan maaf dan istighfar dari lidah mereka. Bahkan yang terlihat hanyalah senyum dan tawa serta lambaian tangan mereka bak selebriti saat wajah mereka dosort kamera televisi.
Begitu juga halnya dengan rakyat bangsa Indonesia, andai saja mereka banyak beristghfar dan menyadari betapa mereka belum mampu melakukan yang terbaik untuk bangsa ini, tentu mereka akan terpacu untuk sama-sama berbuat yang terbaik untuk kemajuan bangsa dan Negara ini. Pendek kata, andai semua penghuni bangsa ini yang telah dianugerahi nikmat kemerdekaan, sangat kurang istghfarnya, niscaya kemerdekaan hanya tetap akan menjadi sebatas cerita dan menjadi kenangan masa lalu. Bangsa ini selamanya benar-benar tidak akan pernah mardeka dalam kehidupan mereka.
Terakhir, lihatlah kata mardeka yang Allah pakai dalam ayat di atas yaitu (ملك) yang secara harfiyah berarti berkuasa. Hurufnya terdiri dari tiga (م, ل, ك). Ketiga huruf ini jika diacak akan melahirkan kata-kata lain yang maknanya berkisar pada mardeka dan berdaulat. Dari huruf ini bisa muncul kata (كلم) yang berarti bicara, ada kata (لكم) yang berarti memukul, dan ada kata (كمل)  yang berarti sempurna. Semua kata ini, baik berkuasa, bicara, memukul dan sempurna tentu saja hanya bisa dimiliki oleh orang atau masyarakat yang mardeka dan memiliki kedaulatan (malaka). Maka jika bangsa ini ingin benar-benar disebut bangsa mardeka dan berdaulat (malaka), maka ia harus punya suara dan didengar oleh dunia internasional (kalama). Bangsa ini juga harus bisa menghardik dan menunjukan tajinya bahkan memukul bangsa lain yang hendak menganggu dan mengobok-obok kedaulatannya (lakama). Dan bangsa ini juga harus berani menunjukan kesempurnaan dan kemuliaanya di hadapan bangsa lain (kamala). Bahwa bangsa ini bukan bangsa yang hina dan layak direndahkan, tetapi, bangsa ini adalah bangsa hebat dan memiliki segalanya untuk menjadi bangsa yang besar. Selama semua itu belum bisa diwujudkan maka bangsa yang mardeka (malaka) hanyalah sebuah impian karena sesungguhnya ia belum benar-benar terwujud.  
Share:

Sunday, August 12, 2018

Siapakah Orang Yang Mandul?


مَا تَعُدُّونَ الرَّقُوبَ فِيكُمْ؟ قَالَ
قُلْنَا: الَّذِي لَا يُولَدُ لَهُ، قَالَ: لَيْسَ ذَاكَ بِالرَّقُوبِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ الَّذِي لَمْ يُقَدِّمْ مِنْ وَلَدِهِ شَيْئًا
Rasulullah pernah bertanya kepada para sahabat:  “Tahukah engkau siapakah yang mandul?”
Para sahabat menjawab : "Orang yang mandul ialah orang yang tidak mempunyai anak”.
Lalu Rasulullah bersabda:
"Orang yang mandul ialah orang yang mempunyai banyak anak, tetapi anak-anaknya tidak memberi manfaat kepadanya sesudah ia meninggal dunia”.(HR. Ahmad)
Jadi pengertian mandul (tidak mempunyai keturunan) saat ini kurang tepat.
Seorang yang mandul pada saat ini adalah para orangtua yang hanya mempunyai anak-anak biologis dan tidak memiliki anak-anak ideologis. Para orangtua yang gagal mencetak anaknya untuk menjadi shalih dan mau berjuang di jalan Allah. Merekalah orangtua yang mandul berdasarkan hadits nabi di atas.
Disinilah kita mengerti betapa banyak diantara kita yang mandul. Kita tidak mampu mempengaruhi anak, sebab anak-anak lebih banyak dipengaruhi oleh kawan, televisi dan lingkungannya. Sehingga anak-anak tersebut bertumbuh kembang tidak menjadi hamba Allah dan membawa manfaat kepada agama Allah, namun mereka tumbuh menjadi hamba dunia dan tidak mengerti islam.

✔Imam Al Qurthubi Rahimahullahu berkata: "Tidak ada perniagaan yang membahagiakan pandangan laki-laki kecuali ia mendapatkan anak-anaknya menjadi shalih dan mereka senantiasa memikirkan agama Allah”.

Jadi, tidak semua anak bisa menjadi investasi akhirat. Dan memang tidak banyak orang tua shalih yang mampu mencetak anak-anaknya menjadi shalih, sehingga bermanfaat panjang untuk kehidupan orangtuanya di masa tua atau di akhirat kelak.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِى الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ : أَنَّى (لِي) هَذَا؟ فَيَقُالُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لك
Dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya: Bagaimana (aku bisa mencapai) semua ini? Maka dikatakan padanya: (Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu”.
(HR. Ibnu Majah, Ahmad).

Hadits yang ini menunjukkan keutamaan memiliki anak yang shaleh serta keutamaan menikah untuk tujuan mendapatkan keturunan yang shaleh.

Imam al-Munawi berkata:
“Seandainya tidak ada keutamaan menikah kecuali hadits ini saja maka cukuplah (menunjukkan besarnya keutamaan)"

Abdullah bin Mas'ud radhiyallaahu 'anhu berkata: "Barangsiapa yang menanam kebaikan niscaya dia akan memetik kebahagiaan, barangsiapa yang menanam keburukan niscaya dia akan menuai penyelasan, setiap yang menanam akan mendapatkan sesuai apa yang dia tanam." [Shifatush Shafwah, 1/409]

Semoga Allah hindari kita dari sebutan mandul.
Share:

Saturday, August 11, 2018

Pribadi Yang Amanah

Pribadi yang amanah, pribadi yang dapat menjaga ketaatan kepada Allah SWT dan rasul-Nya, sekaligus pribadi yang dapat menjaga kepercayaan yang diberikan orang lain kepada kita. Sungguh menjaga amanah itu berat sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat Al Ahzab ayat 72 :


إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.

Oleh karena hanya manusia yang mau menerima Amanah, maka sebaiknya kita dapat menjaga dan menjadi pribadi yang amanah.
Ada Sepuluh Sifat Pribadi yang Amanah:
1. *Saliimul ‘Aqiidah* سليم العقيدة
(BERSIH AQIDAHNYA)
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semuanya karena Allah Rabb semesta alam”. (Al-An’aam : 162)

2. *Shahiihul ‘Ibaadah* صحيح العبادة
(BENAR ‘IBADAHNYA)
“Shalatlah kamu seperti yang kamu lihat Aku shalat”. (Riwayat Bukhari)

3. *Matiinul Khuluq* متين الخلق
(KOKOH AKHLAKNYA)
“Dan sesungguhnya kamu wahai Muhammad benar-benar memiliki akhlak yang agung. (Al-Qalam : 68)

4. *Qawiyyul Jismi* قوي الجم
(KUAT JASMANINYA)
“Mu’min yang kuat lebih aku cintai daripada mu’min yang lemah”. (Riwayat Muslim)

5. *Mutsaqqaful Fikri* مثقف الفكر
(INTELEK DALAM BERFIKIR)
“Katakanlah: samakah orang yang ber-ilmu dengan orang yang tidak ber-ilmu, sesungguhnya hanya orang-orang yang ber-akallah yang dapat menerima pelajaran”. (Az-Zumar : 39)

6. *Mujaahidun Linafsih* مجاهد لنفسه
(KUAT MELAWAN HAWA NAFSUNYA)
“Tidak ber-iman seseorang dari kamu, sehingga ia menjadikan hawa nafsunya tunduk pada ajaran Islam yang aku bawa”. (Riwayat al-Haakim)

7. *Hariishun ‘alaa Waktih* حريص على وقته
(SUNGGUH-SUNGGUH MENJAGA WAKTUNYA)
“Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara: mudamu sebelum tua, sehatmu sebelum sakit, kayamu sebelum miskin, lowongmu sebelum sibuk, dan hidupmu sebelum mati”. (Riwayat al-Haakim)

8. *Munazhzhamun fii Syu’unih*  منظم في شئونه
(TERATUR DALAM SEMUA MASALAHNYA)
“Kebatilan yang teratur, dapat mengalahkan kebenaran yang tidak teratur”. (Ali bin Abi Thalib)

9. *Qaadirun ‘alal Kasbi*  قادر على الكسب
(MAMPU BERUSAHA SENDIRI)
“Tidak ada penghasilan yang lebih baik bagi seorang laki-laki daripada bekerja sendiri dengan kedua tangannya”. (Riwayat Ibnu Majah)

*10.Naafi’un lighairihi*  نافع لغيره
(BERMANFAAT BAGI ORANG LAIN)
“Sebaik-baik manusia, adalah paling bermanfaat bagi sesama manusia”. (Riwayat al-Qudhaa’i).
Renungankanlah....Semoga Allah memberikan kemampuan kepada kita untuk menjadi pribadi yang amanah.
Share:

Thursday, August 9, 2018

Orang yang Sibuk Baca Al Qur'an

Di antara pintu terbesar untuk mencapai kelapangan hidup agar tidak terjebak dalam kesempitan yang membelenggu adalah dengan membaca Al-Qur'an. Hati bisa sewaktu-waktu berkarat sebagaimana besi, mengingat kematian dan membaca Al-Qur'an merupakan media pembersih karat tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berikut:

إِنَّ هَذِهِ الْقُلُوْبَ تَصْدَأُ  كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيْدُ إِذَا أَصَابَهُ الْمَاءُ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا جَلَاؤُهَا؟ قَالَ: كَثْرَةُ ذِكْرِ الْمَوْتِ وَتِلاَوَةِ الْقُرْآنِ

Artinya: "Sesungguhnya hati itu bisa korosi sebagaimana besi ketika bertemu dengan air. Kemudian ada yang bertanya kepada Baginda Nabi, 'Ya Rasulallah, lalu apa yang dapat menghilangkan korosi tersebut?' Rasul menjawab, 'Banyak mengingat kematian dan membaca Al-Qur'an'." (HR Baihaqi).

Orang yang rutin menyibukkan dirinya membaca Al-Qur'an mempunyai aneka macam keistimewaan sebagaimana dikutip Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitabnya Abwâbul Faraj, Dârul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1971, halaman 73 sebagai berikut:

Pertama, mereka diakui sebagai keluarga Allah (ahlullah) dan orang keistimewaannya yang terpilih.

Kedua, orang yang mahir membaca Al-Qur'an ditempatkan bersama malaikat-malaikat pencatat yang patuh kepada Allah yang selalu berbuat kebaikan.

Menurut al-Qurthubi sebagaimana dikutip dalam kitab Fathul Bârî, yang dimaksud mahir di sini adalah orang yang cerdas, maksudnya, hafalan dan tajwidnya sama-sama mempunyai kualitas bagus, tidak perlu mengulang-ulang.

Ketiga, Al-Qur'an merupakan hidangan dari Allah subhanahuwa ta'alâ. Siapa pun yang masuk ke sana akan mendapat jaminan keamanan.

Keempat, rumah yang dibuat untuk membaca Al-Qur'an akan dihadiri malaikat. Penghuni rumah akan merasakan bahwa rumahnya menjadi luas.

Kelima, rumah yang dibacakan Al-Qur'an akan menyinari penduduk-penduduk langit.

Keenam, membaca Al-Qur'an terdapat kebaikan yang sangat banyak.

Ketujuh, dengan membaca al-Qur'an, orang akan menjadi baik.

Kedelapan, membaca Al-Qur'an bisa menjadi obat hati.

Kesembilan, membaca Al-Qur'an dapat bermanfaat bagi orang yang membaca maupun kedua orang tuanya.

Kesepuluh, pembaca Al-Qur'an tidak akan merasa ngeri saat terjadi kegentingan hari kiamat.

Kesebelas, Al-Qur'an akan memberikan syafa'at (pertolongan) kepada ahlinya (orang yang biasa membacanya)

Keduabelas, orang yang membaca Al-Qur'an, pada hari kiamat, derajatnya akan selalu naik ke tempat-tempat yang atas.

Ketigabelas, membaca Al-Qur'an bisa meniupkan aroma wangi kepada para pendengar serta menyebarkan bau minyak kasturi.
Share:

Konsultasi dengan Gus Abduh

Data Kunjungan