Melatih dan Mencerahkan Jiwa

Dr. KH. Abduh Al-Manar, M.Ag.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah. Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

PAUD Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MI Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MTS Al-Iryadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Wednesday, June 27, 2018

Ayo Jaga Persatuan

Dalam Al Quran Allah SWT berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. (Surat Ali Imran: 103).
Bagaimana cara kita menjaga persatuan? 1. Menyamakan visi keimanan, yakni hanya menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan thoghut
Manusia harus menyadari bahwa dirinya adalah hamba Allah yang mestinya merasa terhormat bisa melaksanakan apa saja yang menjadi kehendak Allah. Jika manusia berbuat demikian, maka setiap orang Islam akan berebut untuk beramal shaleh seperti yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW. Ketika memahami bahwa Rasul mengajarkan bahwa umat Islam itu bagaikan sebuah bangunan yang satu bagian saling menguatkan bagian yang lain, maka umat Islam akan selalu berusaha untuk saling membantu, saling menolong, saling menopang, saling menunjang dan saling mengokohkan.
2. Hindari perselisihan dan perbedaan pendapat yang mengarah ke perpecahan
Memang ada orang yang mengatakan bahwa perbedaan pendapat itu adalah rahmat. Namun pandangan yang demikian itu tidak benar, karena bertentangan dengan QS 11: 118-119. Ayat tersebut mengungkap, bahwa manusia itu senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat. Artinya mereka yang selalu bersilisih itu tidak mendapatkan rahmat Allah. Untuk itu menghindari perselisihan pendapat hendaknya lebih diutamakan.
Dalam rangka mencegah terjadinya perselisihan pendapat, sekaligus untuk menjaga persatuan umat islam, Rasul mengajak umatnya untuk menghindari perdebatan sekalipun berada dalam posisi yang benar. Allah berjanji untuk membangunkan rumah di sorga bagi orang yang menghindari perdebatan sekalipun pada posisi yang benar.
3. Jika terjadi perbedaan pendapat di antara orang-orang beriman, maka Allah menuntun umat Islam untuk mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya
Hal ini maksudnya mengembalikannya kepada pedoman kita, yaitu Al Quran dan As Sunnah. Nabi Muhammad SAW berpesan bahwa kita tidak akan tersesat selama-lamanya bila kita berpegang teguh kepada keduanya. Yang menjadi masalah adalah banyak di antara umat ini yang tidak mengenal Al Quran dan As Sunnah.
Sekalipun mereka telah puluhan tahun memeluk agama Islam, namun mereka tidak terbiasa mempelajari tuntunan Islam. Sehingga yang mereka amalkan dalam kehidupan sehari-hari jauh dari Al Quran dan As Sunnah sebagai sumber ajaran Islam. Mengingatkan orang-orang seperti ini berpotensi untuk mengundang perslisihan. Sehingga jauh hari Allah mengingatkan, kalau terjadi perselisihan di kalangan umat Islam, maka jalan keluarnya adalah kedua belah pihak harus kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
4. Menyadari bahwa menjaga persatuan dan kesatuan itu hukumnya wajib
Kesadaran ini akan menjadi kekuatan pengendali dari tiap individu muslim untuk tidak berbuat sesuatu yang berpotensi menimbulkan konflik apalagi berpotensi menimbulkan perpecahan. Muncul rasa bersalah jika pendapatnya memancing perdebatan yang tidak sehat. Merasa berdosa jika amalnya menimbulkan pro dan kontra yang susah dipertemukan. Merasa risau jika pendapat, ucapan dan amalnya menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Dengan sadar dia akan meninggalkan amal-amal sunnah yang berpotensi menimbulkan perpecahan demi menjaga persatuan dan kesatuan umat.
5. Menghormati perbedaan yang muncul
Jangan sampai muncul anggapan bahwa orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita adalah musuh yang harus diwaspadai. Sikap seperti ini akan memicu terjadinya konflik, karena menunjukkan bahwa mereka telah kehilangan rasa persaudaraannya. Abu Bakar Ashshidiq dan Umar bin Khaththab pernah beberapa kali berbeda pendapat. Namun keimanan mereka yang kuat menyebabkan mereka selalu mengedepankan jiwa persaudaraan mereka. Tidak pernah terjadi putusnya silaturrahmi di antara mereka. Bahkan yang muncul adalah semangat berkompetisi untuk memperbanyak amal shaleh.
Oleh karena itu kita harus mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah, memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan niat ikhlas karena Allah semata, kita berharap untuk diberi kemudahan beramal dengan amalan yang mendatangkan manfaat bagi terjalinnya persatuan dan kesatuan umat Islam.
Share:

Tuesday, June 26, 2018

Memilih Pemimpin

Empat sifat Rasulullah ini bisa menjadi patokan untuk seorang muslim memilih seorang pemimpin Islam. Konsep Islam tentang kepemimpinan sebenarnya sudah ideal. Contoh paling ideal pemimpin islam tentu saja Nabi Muhamad Saw. Ia merupakan seorang yang memimpin dengan hati. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21).
Konsep wakil rakyat yang kita kenal di Indonesia tentu saja merupakan bagian dari kepemimpinan yang islam. Namun, belakangan, akibat perilaku dari sebagian wakil rakyat, kata ini berubah menjadi kebodohan belaka. Apakah hal itu merupakan bagian dari islam? Lalu, bagaimana sifat seorang wakil rakyat yang ideal menurut islam?
Islam mengenal empat sifat yang mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin (wakil rakyat). Sifat ini menjadi sebuah keharusan untuk membentuk tatanan masyarakat. Jika salah satu dari keempatnya hilang, maka bisa dipastikan akan terjadi kekacauan. Korbannya, lagi-lagi, adalah masyarakat.
Empat sifat itu adalah, pertama, Shidiq. Makna sederhananya adalah kejujuran. Hal ini merupakan sikap utama yang harus dimiliki seorang wakil rakyat. Tapi, bukan sekadar jujur. Shidiq ini memiliki arti yang lebih luas lagi, yakni sebuah sikap dalam menjalankan segala tugas dengan asas keterbukaan informasi (akuntabilitas) dan tanpa kecurangan.
Lawan dari sikap ini adalah kebohongan. Bayangkan saja, bagaimana jika seorang wakil rakyat terbiasa berbohong? Bagaimana sebuah negara ingin sejahtera dan maju jika pemimpinnya suka berbohong dan kerapkali menutupi fakta yang harus diketahui masyarakat, serta memutarbalikannya seenak sendiri?
Untuk itulah, islam sudah selayaknya menempatkan sifat ini posisi pertama yang harus dimiliki seorang wakil rakyat.
Kedua adalah Amanah. Artinya, adalah kemampuan untuk menjaga segala sesuatu yang dipercayakan. Tentu kita sering mendengar, bahwa kepemimpinan merupakan sebuah amanah. Hal ini memiliki makna yang besar, bahwa menjadi wakil rakyat ia harus dituntut untuk selalu bertanggung jawab. Tanggung jawab ini bukan hanya kepada rakyat yang mengutusnya, tapi juga tanggung jawab kepada Allah Swt.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)
Ketiga adalah Fathonah. Makna sederhananya adalah cerdas. Dalam islam, seorang pemimpin haruslah seorang yang cerdas. Cerdas ini bukan sekadar urusan intelektual belaka, lebih itu, seorang wakil rakyat dituntut untuk handal dan taktis dalam menghadapi segala persoalan yang terjadi di masyarakat. Bukan malah menjadi corong segala kerusakan atau malah jadi penghasut di tengah masyarakat.
Keempat, Tabligh. Sederhananya, sifat ini adalah penyampai yang baik. Banyak juga yang memaknainya sebagai komunikasi. Tapi, kita dapat mengartikan sifat ini sebagai bentuk penyampaian secara jujur, sekaligus bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (transparansi). Kata ini sering diperlawankan dengan menutupi atau melindungi kesalahan.
Seorang wakil rakyat tentu tidak boleh menutupi kesalahan yang ia perbuat, apalagi menutupinya. Inilah yang disebut pemimpin dzolim dalam islam. “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab yang pedih” [QS. Asy-Syuuraa : 42].
Jadi, jika ada seorang pemimpin telah melanggar aturan di atas, tidak memegang prinsip akuntabilitas, kerap memutarbalikkan fakta dan membohongi masarakat dengan kekuasaaan yang ia miliki, apakah orang tersebut layak disebut wakil rakyat? Tentu saja tidak.
Share:

Monday, June 25, 2018

Lima Fondasi Islam

Lima Fondasi Islam
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامُ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ، وَحَجُّ الْبَيْتِ، وَصَوْمُ رَمَضَانَ. (رواه البخاري ومسلم)
Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Khattab RA, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Islam dibangun diatas lima perkara: bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Penjelasan hadis Ke 3 Kitab Arbain :
1. Perawi hadis. Abdullah bin Umar atau dikenal juga dengan Ibnu Umar adalah salah satu sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Beliau masuk Islam di Mekah ketika masih kecil dan melakukan hijrah bersama ayahnya Umar bin Khattab. Beliau dikenal sangat zuhud dan wara’ dalam kehidupannya. Thawus, salah seorang murid Ibnu Umar, berkata, “Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih wara’ dari Ibnu Umar.” Beliau meninggal pada tahun 73 H dalam umur 84 tahun.
2. Islam berasal dari kata aslama-yuslimu-islaman, yang berarti ketundukan dan penyerahan diri. Hakikat Islam adalah mengikuti rasul (utusan Allah) di setiap zaman dan ajaran yang dibawanya. Sehingga, keislaman di zaman Nabi Musa AS adalah dengan mengikutinya dan menjalankan isi Taurat yang dibawanya, dan keislaman di zaman Nabi Isa AS adalah dengan mengikutinya dan menjalankan isi Injil. Begitu pula, keislaman di zaman Ibrahim AS adalah dengan mengikuti ajarannya yang menunjukkan kepada jalan Allah, karena itulah Allah menyebut Nabi Ibrahim AS sebagai seorang muslim. Allah berfirman,ku

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67).
Lalu Allah menyempurnakan keislaman ini dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW sehingga Allah tidak akan menerima agama lain selain Islam.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maaidah: 3).
3. Kalimat syahadat adalah kunci seseorang untuk menjadi muslim dan mendapatkan tiket ke surga. Dua kalimat ini menunjukkan bahwa suatu amalan tidak akan diterima kecuali jika dilakukan dengan penuh keikhlasan kepada Allah dan dengan mengikuti petunjuk Rasulullah SAW.
4. Shalat adalah ruh dari ajaran Islam. Shalat merupakan komunikasi dan interaksi seorang muslim dengan Allah secara langsung dan tanpa perantaraan apapun. Shalat merupakan satu-satunya ibadah yang tidak dapat gugur dari seorang muslim mukallaf (balig dan berakal) dalam keadaan apapun –bahkan di tengah-tengah berkecamuknya perang sekalipun– kecuali perempuan haid atau nifas. Ibadah ini pun harus dilakukan sendiri (tidak bisa diwakilkan) dan tidak bisa diqadha lagi jika telah meninggal. Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja padahal ia tahu hukumnya maka ia dibunuh (secara hukum had) setelah diminta bertaubat sebanyak tiga kali. Bahkan, menurut Imam Ahmad, orang itu dianggap sebagai orang kafir dan tubuhnya tidak boleh dimakamkan bersama kaum muslimin.
5. Zakat merupakan ibadah pada harta guna menambah keberkahannya dan mensucikan hati pemiliknya. Allah berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103).
Zakat diwajibkan pada harta yang telah mencapai nisab yang besarnya berbeda-beda sesuai jenis hartanya. Harta yang wajib dizakati adalah naqdain (emas, perak dan mata uang), barang niaga, hewan ternak (unta, sapi dan kambing), hasil pertanian (makanan pokok), barang tambang (emas dan perak), dan barang temuan. Zakat adalah ibadah sosial karena faidah dan manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat umum (kaum fakir miskin).
5. Puasa Ramadhan merupakan momen yang selalu ditunggu oleh muslim setiap tahun. Ramadhan merupakan bulan panen pahala karena Allah melipat gandakan setiap amal ibadah yang dilakukan. Dalam hadits qudsi, Allah berfirman,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

“Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya kecuali puasa, karena puasa adalah untuk-Ku dan Aku akan memberi pahala khusus baginya.” (Muttafaq ‘alaih).
Jika seorang muslim melakukan puasa dengan penuh keikhlasan niscaya Allah akan menghapuskan dosa-dosanya yang telah lalu. Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang berpuasa dengan penuh keimanan dan pengharapan pahala dari Allah niscaya Allah akan menghapuskan dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaih).
6. Haji adalah ibadah penyempurna karena menggabungkan antara ibadah badaniah dan maliyah (harta). Seperti ibadah lainnya, haji juga memiliki ganjaran yang sangat besar. Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ حَجَّ هَذَا اْلبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Barang siapa yang pergi haji ke rumah ini (Baitullah) lalu ia tidak berkata kotor dan berbuat maksiat maka  ia kembali seperti ketika dilahirkan oleh ibunya.” (Muttafaq ‘alaih).
Share:

Sunday, June 24, 2018

Iman Sumber Energi

Iman, tempatnya di dalam hati. Dialah yang menjadi kekuatan yang mengatur dan mengarahkan sikap dan perilaku seseorang. Pada saat situasi normal, datar dan aman, tidak banyak masalah, sikap seseorang belum terlihat. Tapi tatkala menghadapi banyak musibah, di situlah keimanan dan keyakinan yang ada dalam hati berbicara lewat sikap dan perilaku lahir.
Manusia, menurut Hasan Al Bashri, dalam situasi aman kondisinya sama. Tapi jika diturunkan ujian, maka seorang mukmin akan berlindung pada keimanannya, sedangkan munafik akan kembali pada kemunafikannya. Oleh karena itu, maka marilah saudaraku kita sama-sama menjaga dan memelihara iman kita agar jangan sampai hilang tergerus oleh arus deras globalisasi. Dan, itulah yang akan dibicarakan secara singkat dalam artikel berikut ini. Meskipun singkat namun cukup untuk mencerahkan dan menambahkan energi dan kekuatan kita dalam menjalani hidup dan keislaman kita di era globalisasi ini. Mari kita ikuti teks selengkapnya berikut ini, mudah-mudahan bermanfaat.
Hanya ada satu cara untuk mensucikan hati dan mengusir kecemasan di saat tertimpa bencana dan kesulitan adalah dengan keyakinan dan keimanan yang sempurna kepada-Nya, Rabb segala sesuatu. Rabb yang memiliki janji yang pasti ditepati akan kebahagiaan di hari akhirat berupa surga bagi yang sukses melewati kesulitan itu dengan keimanan dan kesabaran.
Kehidupan ini tidak lagi memiliki arti dan makna yang hakiki jika keimanan dalam hati kita telah tiada. Orang yang celaka bukanlah orang yang kehilangan harta benda, kekuasaan dan jabatan karena kesulitan yang menimpanya. Tetapi orang yang celaka adalah orang yang kehilangan iman atau keimanannya karena kesulitan itu. Betapa hinanya kehidupan ini tanpa keimanan.
Dengan memperhatikan tingkat keimanan kita, maka kita akan dapat menentukan kebahagiaan dan ketenangan jiwa kita sendiri. “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” (QS.An Nahl :97). “Kehidupan yang baik ” yang dimaksud pada ayat di atas merujuk kepada keimanan yang kuat terhadap janji Allah dan hati yang teguh untuk mencintai-Nya. Orang yang menjalani kehidupan yang baik” ini juga akan memiliki jiwa yang tenang ketika tertimpa kesulitan. Mereka akan puas dengan segala sesuatu yang akan terjadi pada mereka, karena hal itu sudah ditentukan oleh takdirnya.
Ketegaran menghadapi kesulitan telah dibuktikan oleh mereka, para sahabat yang tergolong pertama kali masuk Islam. Mereka yang jumlahnya sangat terbatas itu, disiksa dengan siksaan yang luar biasa perihnya dan dipaksa meninggalkan agama barunya. Tetapi dengan keimanan yang menghunjam dalam dada mereka, mereka tetap tegar dan bahkan “tersenyum” menikmati siksaan itu. Sebagian mereka mendapatkan kemenangan sebagai syahid di jalan Allah, dan sebagian lagi mendapat kemenangan dengan pembebasan dari penyiksaan orang-orang kafir itu.
Anda tentu pernah mendengar kisah ketegaran seorang Bilal yang disiksa oleh kafir Kuraisy di tengah padang pasir yang panas terik ditimpakan sebuah batu di dadanya. Dia tidak merasakan sakitnya siksaan itu kecuali hanya kenikmatan iman pada Allah, dengan mengucapkan satu kata ahad..ahad..ahad, hingga tercabut ruh dari jasadnya. Iman yang diliputi rasa cinta dan rindu yang begitu luar biasa pada Allah dan rasul-Nya. Kisah Bilal hanya satu dari beberapa kisah ketegaran dan dahsyatnya energi iman bagi kehidupan orang-orang beriman.
Share:

Saturday, June 23, 2018

Tafsir Surat Al Baqarah 8-10

“Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian,’ Padahal mereka itu sesunguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedangkan mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah menambah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Al-Baqarah:8-10)

Tafsir Ayat:
[8-9] Ketahuilah bahwasanya kenifakan itu adalah menampakkan kebaikan dan menyebunyikan kejahatan, termasuk dalam definisi ini kenifakan i’tiqod dan kenifakan perbuatan. Adapun kenifakan perbuatan seperti yang disebutkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
aayatul munafiqin tsalaatsun: idza haddatsa kadzaba, wa idza wa’ada akhlafa, wa idza-tumina khaana. wa fii riwaayatinwa idza khaashama fajara.

“Tanda-tanda munafik itu ada tiga; apabila berbicara dia berdusta, bila berjanji dia mengingkarinya, dan bila diberikan amanat dia berkhianat.” Dan dalam riwayat lain, “dan bila berperkara, dia berlaku curang.”[1]
Adapun kenifakan i’tiqod yang mengeluarkan seseorang dari Islam yaitu yang Allah subhaanahu wa ta’ala menyifati kaum munafikin dengannya dalam surat ini dan surat selainnya, kenifakan ini belumlah ada sebelum hijrahnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari Makkah menuju Madinah dan juga setelah hijrah hingga setelah kejadian perang Badar dan Allah memberikan kemenangan kepada kaum muslimin dan memuliakan mereka, dan menghinakan orang-orang yang ada di Madinah dari mereka yang belum masuk Islam, lalu sebagian mereka menampakkan keislaman mereka karena takut dan tipu daya, dan untuk menjaga darah dan harta mereka, di mana mereka-mereka ini bersama kaum muslimin secara lahiriyah mereka menampakkan bahwa mereka adalah bagian kaum muslimin, padahal hakikatnya mereka bukanlah bukan bagian dari kaum muslimin.
Maka sebagai tindakan kelembutan Allah terhadap kaum mukminin adalah Allah memperlihatkan kondisi-kondisi mereka, dan menggambarkan mereka dengan sifat-sifat yang membedakan mereka dengannya agar kaum mukminin tidak terpedaya oleh mereka, dan mampu mengendalikan kejahatan-kejahatan mereka, Allah berfirman,

يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَن تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُم بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ

“Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka suatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka.” (At-Taubat:64),
Lalu Allah mensifati dengan sifat dasar kenifakan seraya berfirman,

ومن الناس من يقول آمنا بالله وباليوم الآخر وما هم بمؤمنين

“Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian’, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman” karena mereka mengatakan dengan lisan mereka apa yang tidak ada dalam hati mereka lalu Allah mendustakan mereka dengan berfirman:

وما هم بمؤمنين

“Padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman” karena keimanan yang hakiki itu adalah sesuatu yang hati dan lisan bersepakat padanya, sesungguhnya hal yang tadi itu adalah tipu daya terhadap Allah dan hamba-hambanya yang beriman, dan tipu daya adalah seorang pelaku tipu daya itu menampakkan sesutu kepada orang yang diperdayai dan dia menyembunyikan hal yang berbeda dengannya demi memperoleh apa yang diinginkannya dari orang yang diperdayai tersebut, maka orang-orang munafik tersebut menempuh jalan ini bersama Allah dan hamba-hambaNya lalu tipu daya mereka tersebut kembali kepada diri mereka sendiri, hal ini adalah suatu perkara yang mengherankan sekali, karena biasanyaseorang pelaku tipu daya itu kondisinya baik akan memperoleh apa yang menjadi tujuannya atau dia selamat yang tidak mendapatkan apa-apa dan tidak rugi apa-apa juga, namun lain halnya[dengan orang munafik, Ad-] karena tipu daya mereka, dia malah kembali kepada diri mereka sendiri.
Oleh karena itu, seolah-olah mereka itu melakukan suatu makar untuk menghancurkan diri mereka sendiri, membahayakannya dan menipunya, karena Allah tidaklah mendapat bahaya dari tipu daya mereka sedikit pun, demikian juga hamba-hambaNya yang beriman, mereka tidak mendapat bahaya sedikit pun dari tipu daya mereka.
Maka tindakan kaum munafik menampakkan keimanan mereka tidak membawa dampak bagi kaum muslimin, hingga selamatlah dengan hal itu harta-harta mereka, dan terjaga darah-darah mereka, dan tipu daya mereka kembali kepada leher-leher mereka, hingga dengan demikian mereka mendapatkan kehinaan dan cela di dunia, serta kemalangan yang terus menerus yang disebabkan oleh apa yang diperoleh kaum mukminin berupa kekuatan dan kemenangan, kemudian pada Hari Akhir nanti mereka mendapatkan adzab yang pedih lagi menyakitkan dan mengerikan disebabkan oleh kedustaan mereka, kekufuran mereka dan kejahatan mereka, dan keadaannya saat ini adalah bahwa mereka dengan kebodohan dan kedunguan yang ada pada mereka, maka mereka tidak merasakan hal tersebut.

[10] Dan firmanNya,

في قلوبهم مرض

“Dalam hati mereka ada penyakit” yang dimaksud dengan penyakit di sini adalah penyakit keraguan, syubhat, dan kenifakan. Hal itu dikarenakan hati itu dihadapkan oleh dua penyakit yang menyebabkannya jauh dari kesehatannya dan kenormalannya, yaitu penyakit syubhat yang batil dan penyakit syahwat yang menggoda. Maka kekufuran, kenifakan, keragu-raguan dan semua bid’ah-bid’ah itu adalah penyakit-penyakit syubhat, sedangkan perzinahan, suka akan kekejian dan kemaksiatan lalu melakukannya, adalah di antara penyakit-penyakit syahwat, sebagaimana Allah berfirman,

فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ

“Sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (Al-Ahzab: 32),

Yaitu syahwat zina, sedangkan yang selamat adalah orang yang diselamatkan dari kedua penyakit tersebut, hingga terwujudlah baginya keyakinan, keimanan dan kesabaran dari setiap kemaksiatan, lalu dia berjalan dalam pakaian-pakaian keselamatan.

Dan firmanNya tentang kaum munafikin, “Dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah menambah penyakitnya”, sebuah penjelasan tentang hikmah Allah subhaanahu wa ta’ala terhadap penentuan kemaksiatan atas pelaku-pelakunya dan bahwasanya hal itu disebabkan dosa-dosa mereka yang terdahulu, Allah menguji mereka dengan kemaksiatan yang akan datang yang mengakibatkan hukuman sebagaimana Allah berfirman,

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ

“Dan Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya pada permulaannya.” (Al-An’am: 110)

Dan Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman,

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ

“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” (Ash-Shaf: 5)

Dan Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَىٰ رِجْسِهِمْ

“Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka.” (At-Taubat; 125)
Maka hukuman bagi kemaksiatan adalah kemaksiatan setelahnya, sebagaimana juga balasan kebaikan adalah kebaikan setelahnya. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman,

وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى

“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. “ (Maryam: 76)

Sumber Bacaan:

Kitab Taisir al-Karim ar-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir aas-Sa’di, Darul Hadits, Kairo [dengan terjemahannya: Tafsir As-Sa’di (1), cetakan Pertama, Pustaka Sahifa, Jakarta]

[1] Dikeluarakan oleh al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59 dari hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
Adapun riwayat yang kedua sesungguhnya diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 34 dan Muslim no. 58 dari hadits Abdullah bin  Amr  radhiyallahu ‘anhu
Share:

Thursday, June 21, 2018

Kerja sebagai Ibadah

Mari kita simak beberapa hadis berikut ini. Anda bisa melihat bagaimana istimewanya bekerja mencari nafkah menurut Nabi Muhammad SAW.
"Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah (HR. Ahmad)
Subhanallah. Luar biasa, dikatakan dalam hadis diatas bahwa mencari nafkah adalah seperti mujahid, artinya nilainya sangat besar. Allah suka kepada hambanya yang mau berusah payah mencari nafkah. Saya kira, ini lebih dari cukup sebagai motivasi kerja kita sebagai muslim. Bahkan, kita pun berpeluang mendapatkan ampunan dari Allah.
Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah. (HR. Ahmad)
Mencari rezeki yang halal dalam agama Islam hukumnya wajib. Ini menandakan bagaimana penting mencari rezeki yang halal. Dengan demikian, motivasi kerja dalam Islam, bukan hanya memenuhi nafkah semata tetapi sebagai kewajiban beribadah kepada Allah setelah ibadah fardlu lainnya.
Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dll). (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)
Perlu diperhatikan dalam hadist di atas, ada kata sesudah. Artinya hukumnya wajib sesudah ibadah lain yang fardhu. Jangan sampai karena merasa sudah bekerja, tidak perlu ibadah-ibadah lainnya. Meski kita bekerja, kita tetap wajib melakukan ibadah fardhu seperti shalat, puasa, ibadah haji, zakat, jihad, dan dakwah. Jangan sampai kita terlena dengan bekerja tetapi lupa dengan kewajiban lainnya.
Jika motivasi kerja kita sebagai ibadah, tentu yang namanya ibadah ada aturannya. Memang berbeda dengan ibadah ritual atau ibadah mahdhah, sebab bekerja sebagai ibadah ghair mahdhah. Artinya, dalam kaidah ushul Fiqh, kita memiliki kebebasan yang luas untuk bekerja selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Langkah pertama agar bekerja menjadi sebuah ibadah ialah harus diawali dengan niat, sebab amal akan tergantung niat. Niatkanlah bahwa bekerja sebagai salah satu ibadah kepada Allah.
Langkah kedua ialah pastikan dalam bekerja tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu kita perlu memperhatikan:
Apa yang dikerjakan? Untuk apa kita bekerja? Apakah kita bekerja untuk sesuatu yang dihalalkan oleh agama? Pastikan kita bekerja untuk sesuatu yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.Cara melakukan pekerjaan kita. Apakah cara-cara Anda bekerja sesuai dengan ajaran Islam? Bagaimana dengan pakaian, batasan antara laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.

Jika tujuan bekerja begitu agung. Untuk mendapatkan ridha Allah Subhaanahu wa ta’ala, maka etos kerja seorang Muslim haruslah tinggi. Sebab motivasi kerja seorang Muslim bukan hanya harta dan jabatan, tetapi pahala dari Allah. Tidak sepantasnya seorang Muslim memiliki etos kerja yang lemah. Coba perhatikan diatas, ada kata-kata “susah payah” dan “kelelahan” yang menandakan etos kerja yang tinggi, suka bekerja keras, dan jauh dari sifat malas.

Jadi, tidak ada kata malas atau tidak serius bagi seorang Muslim dalam bekerja. Motivasi kerja dalam Islam bukan semata mencari uang semata, tetapi serupa dengan seorang mujahid, diampuni dosanya oleh Allah SWT, dan tentu saja ini adalah sebuah kewajiban seorang hamba kepada Allah SWT.
Dalam hadits diatas juga disebutkan kata profesional dan ahli. Jika motivasi kerja Anda sebagai ibadah, maka Anda akan melakukannya dengan sebaik mungkin. Anda akan terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan Anda dalam bekerja. Anda terus belajar dan berlatih agar semakin hari menjadi semakin ahli dalam bekerja. Kemauan Anda untuk belajar dan meningkatkan kemampuan bisa dijadikan ukuran apakah motivasi kerja Anda untuk ibadah atau bukan.

Salah satu bentuk profesional itu adalah ‘adil, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jika waktunya bekerja, Anda bekerja. Jika waktunya istirahat atau shalat, Anda bisa shalat dan istirahat. Jika tidak, maka bisa termasuk melakukan hal yang dzalim, tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. ‘Adil juga berarti, Anda bekerja sesuatu tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang Anda miliki.
Semoga motivasi kerja kita sebagai ibadah mencari ridho Allah SWT dapat terwujud. Kebahagiaan dunia akhirat dapat kita raih. Aamiin ya Allah.
Share:

Wednesday, June 20, 2018

Tiga Pilar Islam

Hadis Ke 2 Kitab Arbain
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ   وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ .
[رواه مسلم]

Arti hadits / ترجمة الحديث :

Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang  membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“.  Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata:  “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda:  “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian)  berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “.
(Riwayat Muslim)

Hadits ini merupakan hadits yang sangat dalam maknanya, karena didalamnya terdapat pokok-pokok ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan.
Hadits ini mengandung makna yang sangat agung karena berasal dari dua makhluk Allah yang terpercaya, yaitu: Amiinussamaa’ (kepercayaan makhluk di langit/Jibril) dan Amiinul Ardh (kepercayaan makhluk di bumi/ Rasulullah)

Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
Disunnahkan untuk memperhatikan kondisi  pakaian, penampilan dan kebersihan, khususnya jika menghadapi ulama, orang-orang mulia dan penguasa.
Siapa yang menghadiri majlis ilmu dan menangkap bahwa orang–orang yang hadir butuh untuk mengetahui suatu masalah dan tidak ada seorangpun yang bertanya, maka wajib baginya bertanya tentang hal tersebut meskipun dia mengetahuinya agar peserta yang hadir dapat mengambil manfaat darinya.
Jika seseorang yang ditanya tentang sesuatu maka tidak ada cela baginya untuk berkata: “Saya tidak tahu“,  dan hal tersebut tidak mengurangi kedudukannya.
Kemungkinan malaikat tampil dalam wujud manusia.
Termasuk tanda hari kiamat adalah banyaknya pembangkangan terhadap kedua orang tua. Sehingga anak-anak memperlakukan kedua orang tuanya sebagaimana seorang tuan memperlakukan hambanya.
Tidak disukainya mendirikan bangunan yang tinggi dan membaguskannya sepanjang tidak ada kebutuhan.
Didalamnya terdapat dalil bahwa perkara ghaib tidak ada yang mengetahuinya selain Allah ta’ala.
Didalamnya terdapat keterangan tentang adab dan cara duduk dalam majlis ilmu.
Share:

Kajian Al-Qur'an Surat Al Baqarah 6-7


Surat Al-Baqarah : 6-7: “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman (6) 
Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat (7)”.
Hubungan kedua ayat tersebut dengan ayat sebelumnya
Ketika Allah Ta’ala menyinggung tentang orang-orang yang beriman, bertaqwa dan orang-orang yang mendapat hidayah serta keberuntungan, Dia kemudian menyinggung tentang orang-orang yang berbuat kekufuran, kesesatan dan mendapatkan kerugian .
Penjelasan :
Ayat 6
Sesungguhnya orang-orang yang bersikeras/ngotot dalam mengingkari risalahmu wahai Muhammad, serta mengingkari juga ayat-ayat yang jelas yang engkau bawa padahal kebenaran bagi mereka sudah jelas disamping tidak adanya syubhat/kesamar-samaran serta keyakinan mereka bahwa engkau adalah orang yang jujur ; (namun begitu) peringatanmu kepada mereka tidak akan bermanfaat sama sekali bagi mereka karena mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka belaka.
Ayat 7
Mereka tidak melihat adanya petunjuk, tidak mendengar, memahami dan mengerti. Ibnu Jarir berkata: “ Sesungguhnya bila secara terus menerus dosa-dosa mengikuti/menempel ke hati maka ia akan menutupnya rapat-rapat, dengan demikian tidak akan ada lagi jalan untuk menggapainya sementara tidak ada jalan keluar pula bagi kekufuran .
siksaan yang dirasakan sehingga menghilangkan kenikmatan dan kelezatan hidup. 
Artinya : Allah Ta’ala memberitahukan bahwa mereka tidak siap untuk beriman sehingga adanya peringatan terhadap mereka dan tidak adanya, sama saja disisi mereka, karena demikianlah sunnatullah pada mereka yang telah mencap/mengunci mati hati-hati mereka hingga tidak dapat memahami, dan pendengaran-pendengaran mereka hingga tidak dapat mendengar serta menyumbat/menutupi mata-mata mereka hingga mereka tidak dapat melihat. Yang demikian itu sebagai akibat dari kesombongan, kebangkangan/keengganan serta kengototan mereka dalam kekufuran. Oleh karena itu, mereka pantas/wajib mendapatkan azab yang amat dahsyat, untuk kemudian mereka dihukum dengan azab tersebut. Inilah hukum Allah Ta’ala terhadap orang-orang yang membangkang, sombong dan bersikeras sepanjang masa dan di setiap tempat.)
Saripati  ayat ini menunjukkan : Penjelasan mengenai sunnatullah terhadap orang-orang yang membangkang, sombong dan bersikeras/ngotot (dalam kekufuran) bahwa Allah mengharamkan mereka untuk mendapatkan hidayah yaitu dengan tidak memfungsikan pancaindera mereka hingga mereka tidak dapat memanfaatkannya yang oleh karenanya pula mereka tidak beriman dan mendapat hidayah. Peringatan terhadap sikap bersikeras/ngotot dalam kekufuran, kezhaliman dan berbuat kerusakan dimana hal ini akan mendapatkan timpalannya yaitu wajib/pantasnya mereka mendapat azab yang besar.


Share:

Monday, June 18, 2018

Ayo Jaga Spirit Ramadan

Bulan Ramadan sudah berakhir. Lantas akankah masih membekas rutinitas kita di bulan Ramadan tahun ini, sebagai bekal untuk menggapai Ridho ilahi dan menyambut Ramadhan tahun berikutnya.
Kita semua berharap, masih ada kekuatan Ramadhan yang senantiasa kita bawa di bulan-bulan berikutnya, yaitu takwa sebagai spirit (kekuatan) yang melekat pada diri kita, yang menjadi tujuan utama pelaksanaan ibadah puasa, sesuai dengan apa yang tersirat dalam firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”  (QS. Al Baqarah [2]: 183)
Imam ath-Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah "Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rosul-Nya.."
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, "Firman Allah SWT ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa.”
Dari ayat ini kita melihat dengan sangat gamblang adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah SWT memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman. Dengan demikian Allah SWT pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.
Sejatinya perintah puasa di bulan Ramadhan semata-mata ditujukan hanya kepada orang yang beriman agar ia menjadi hamba yang bertakwa. Untuk itulah penting kita memahami apa itu iman, sudahkah kita menjadi hamba yang beriman yang tergolong kedalam orang-orang yang diseur dalam ayat tadi, dan takwa seperti apakah yang diharapkan melekat pada diri kita pasca Ramadhan.
Makna Iman
Apakah iman itu? Secara  bahasa artinya percaya atau membenarkan (Lihat: QS Yusuf [12]: 17).
Dan secara gamblang Rosulullah swa. Mejelaskan makna iman dalam sebuah hadis: “Iman adalah engkau mengimani Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Kiamat, qadha dan qadar yang baik maupun yang buruk.” (HR Muslim).
Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang beriman. Orang yang enggan beribadah hanya kepada Allah, atau menyembah selain kepada Allah, bukanlah orang yang beriman. Orang yang enggan mengimani Muhammad saw. Sebagai Rasulullah, tidak mempercayai keberadaan maikat, tidak percaya kedatangan Hari Kiamat dan tidak mempercayai takdir juga bukan orang yang beriman. Orang yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, misalnya menghalalkan zina atau menolak penerapan Islam secara kaffah, adalah kafir (tidak beriman). Orang yang mengingkari atau ragu terhadap perkara yang pasti (qath’i) juga tidak beriman (kafir), sama saja apakah dalam perkara akidah ataupun dalam perkara syariah.
Iman menuntut konsekuensi, tidak hanya ucapan dimulut, Allah SWT berfirman: “Demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka tidak menerima dengan sepenuhnya.” (QS an-Nisa’ [4]: 65).
“Tidaklah patut laki-laki Mukmin maupun perempuan Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, aka nada bagi mereka pilihan (lain) tentang urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah benar-benar tersesat.” (QS al-Ahzab [33]: 36).
Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan shalat, membayar zakat dan amalan-amalan lahiriah lainya, atau enggan terikat dengan syariah Allah SWT yang manapun. Orang mukmin itu harus terikat dengan Islam secara keseluruhan tanpa kecuali. Dia wajib menjalankan ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Dia wajib terikat dengan syariah dalam hal makanan, minuman, pakaian dan akhlaq. Dia juga wajib terikat dengan syariah dalam hal muamalah seperti masalah politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, pendidikan, kesehatan dan bernegara secara keseluruhan. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara keseluruhannya (kaffah), dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS al-Baqarah [2]: 208).
Memelihara Takwa
Allah SWT berfirman di ujung QS al-Baqarah [2]: 183: la’allakum tattaqun. Imam ath-Thabari menafsirkan ayat ini, “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjimak dengan wanita ketika berpuasa.”
Imam al-Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya, “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertakwa dengan sebab berpuasa. Puasa adalah wasilah menuju takwa karena dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jimak.”
Dalam tafsir jalalayn dijelaskan dengan ringkas, “Maksudnya, agar kalian bertakwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat.”
Dalam bahasa arab, takwa berasal dari kata kerja ittaqo-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertakwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Adapun secara istilah, definisi takwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq bin Habib al-‘Anazi: “Takwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil). Mengharap ampunan-Nya, meninggalkan maksiat dengan cahaya-Nya (dalil) dan takut terhadap azab-Nya.”
Demikianlah sifat orang yang bertakwa. Orang yang bertakwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena teringat dalil yang menjanjikan pahala dari Allah SWT; bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta atau orientasi duniawi. Orang bertakwa juga senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia selalu mengingat ancaman-Nya yang pedih. Dari sini kita tahu bahwa ketakwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki ilmuu tentang al-Qur’an dan as-Sunnah.
Orang yang bertakwa tidak akan berani memilih-milah perintah dan larangan Allah SWT. Semua perintah dan larangan-Nya akan diperhatikan secara seksama agar tidak ada yang dilanggar. Semua ajaran Islam diyakini dan ditaati tanpa bersikap mendua. Termasuk berjuang menerapkan Islam secara sempurna, karena kewajiban ini adalah tajul furudh (mahkota kwajiban) karena begitu banyak saat ini kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan disebabakan Islam tidak diterapkan secara sempurna termasuk dalam ranah pemerintahan.
Kita bisa melihat dengan jelas hal ini yaitu ketika bulan Ramadhan ini seluruh umat Islam melaksanakkan perintah Allah SWT“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Pada akhir ayat tersebut dijelaskan bahwa hikmah diwajibkannya puasa tidak lain adalah agar mereka yang menjalaninya menjadi orang-orang yang bertakwa.
Apakah takwa itu? Sebagaimana yang dijelaskan di atas Dalam bahasa arab, takwa berasal dari kata kerja ittaqo-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertakwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Caranya dengan menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Itulah pengertian taqwa.
Pertanyaan sekarang: apakah kita benar-benar telah menjadi orang yang bertakwa? Untuk mengetahuinya, mari kita lihat bagaimana sikap dan ketaatan kita terhadap berbagai perintah dan larangan Allah SWT.
Misalnya, ketika Allah SWT memerintahkan kita berpuasa, alhamdulillah, kita telah mampu menaati dan mengamalkan kewajiban tersebut.
Selanjutnya, bagaimana sikap dan ketaatan kita terhadap perintah Allah SWT yang lain, seperti kewajiban yang telah tertuang dalam QS. Al-Baqarah 178: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh,..”
Sekali lagi, bagaimana sikap kita terhadap hal itu? Apakah kita siap untuk menaatinya? Atau, justru mengabaikannya dan tidak peduli terhadap kewajiban tersebut? Padahal hikmah dari diwajibkannya menjalankan qishaas tersebut juga sama dengan pengamalan puasa, yaitu agar kita menjadi orang yang bertakwa.
Disinilah esensi takwa yang harus senantiasa kita pelihara, yang harus kita lekatkan dalam jiwa kita, tidak hanya di bulan Ramadhan akan tetapi juga bulan-bulan lainnya hingga akhir hayat kita. Hingga Allah benar-benar memuliakan kita dengan takwa tersebut.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa diantara kalian.” (QS al-hujarat [49]: 13)
Share:

Sunday, June 17, 2018

Puasa Syawal

Sebagian ulama menyatakan bahwa seseorang harus mengingat ‘puasa sunah Syawwal’ saat niat di dalam batinnya.
Sedangkan sebagian ulama lain menyatakan bahwa tidak wajib ta’yin. Hal ini dijelaskan oleh Syekh Ibnu Hajar Al-Haitamisebagai berikut.
( ﻭْﻟُﻪُ ﻧَﻌَﻢْ ﺑَﺤَﺚَ ﺇﻟَﺦْ ‏) ﻋِﺒَﺎﺭَﺓُ ﺍﻟْﻤُﻐْﻨِﻲ ﻭَﺍﻟﻨِّﻬَﺎﻳَﺔِ ﻭَﺍﻟْﺄَﺳْﻨَﻰ ﻓَﺈِﻥْ ﻗِﻴﻞَ ﻗَﺎﻝَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺠْﻤُﻮﻉِ
ﻫَﻜَﺬَﺍ ﺃَﻃْﻠَﻘَﻪُ ﺍﻟْﺄَﺻْﺤَﺎﺏُ ﻭَﻳَﻨْﺒَﻐِﻲ ﺍﺷْﺘِﺮَﺍﻁُ ﺍﻟﺘَّﻌْﻴِﻴﻦِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻮْﻡِ ﺍﻟﺮَّﺍﺗِﺐِ ﻛَﻌَﺮَﻓَﺔَ
ﻭَﻋَﺎﺷُﻮﺭَﺍﺀَ ﻭَﺃَﻳَّﺎﻡِ ﺍﻟْﺒِﻴﺾِ ﻭَﺳِﺘَّﺔٍ ﻣِﻦْ ﺷَﻮَّﺍﻝٍ ﻛَﺮَﻭَﺍﺗِﺐِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﺃُﺟِﻴﺐُ ﺑِﺄَﻥَّ ﺍﻟﺼَّﻮْﻡَ ﻓِﻲ
ﺍﻟْﺄَﻳَّﺎﻡِ ﺍﻟْﻤَﺬْﻛُﻮﺭَﺓِ ﻣُﻨْﺼَﺮِﻑٌ ﺇﻟَﻴْﻬَﺎ ﺑَﻞْ ﻟَﻮْ ﻧَﻮَﻯ ﺑِﻪِ ﻏَﻴْﺮَﻫَﺎ ﺣَﺼَﻞَ ﺃَﻳْﻀًﺎ ﻛَﺘَﺤِﻴَّﺔِ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ؛
ﻟِﺄَﻥَّ ﺍﻟْﻤَﻘْﺼُﻮﺩَ ﻭُﺟُﻮﺩُ ﺻَﻮْﻡٍ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺍ ﻫـ ﺯَﺍﺩَ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ ﻭَﺑِﻬَﺬَﺍ ﻓَﺎﺭَﻗَﺖْ ﺭَﻭَﺍﺗِﺐَ ﺍﻟﺼَّﻠَﻮَﺍﺕِ ﺍ ﻩ
Artinya, “Perkataan ‘Tetapi mencari…’ merupakan ungkapan yang digunakan di Mughni, Nihayah, danAsna. Bila ditanya, Imam An-Nawawi berkata di Al-Majmu‘, ‘Ini yang disebutkan secara mutlak oleh ulama Syafi’iyyah.
Semestinya disyaratkan ta’yin (penyebutan nama puasa di niat) dalam puasa rawatib seperti puasa ‘Arafah, puasa Asyura, puasa bidh (13,14, 15 setiap bulan Hijriyah), dan puasa enam hari Syawwal seperti ta’yin dalam shalat rawatib’.
Jawabnya, puasa pada hari-hari tersebut sudah diatur berdasarkan waktunya. Tetapi kalau seseorang berniat puasa lain di waktu-waktu tersebut, maka ia telah mendapat keutamaan sunah puasa rawatib tersebut.
Hal ini serupa dengan sembahyang tahiyyatul masjid. Karena tujuan dari perintah puasa rawatib itu adalah pelaksanaan puasanya itu sendiri terlepas apapun niat puasanya. Guru kami menambahkan, di sinilah bedanya puasa rawatib dan sembahyang rawatib,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al- Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj)
Untuk memantapkan hati, ulama menganjurkan seseorang untuk melafalkan niatnya. Berikut ini lafal niat puasa Syawal.
ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺻَﻮْﻡَ ﻏَﺪٍ ﻋَﻦْ ﺃَﺩَﺍﺀِ ﺳُﻨَّﺔِ ﺍﻟﺸَّﻮَّﺍﻝِ ﻟِﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatis Syawwâli lillâhita‘âlâ.
Artinya, “Aku berniat puasa sunah Syawwal esok hari karena Allah SWT.”
Adapun orang yang mendadak di pagi hari ingin mengamalkan sunnah puasa Syawal, diperbolehkan baginya berniat sejak ia berkehendak puasa sunnah.
Karena kewajiban niat di malam hari hanya berlaku untuk puasa wajib. Untuk puasa sunah, niat boleh dilakukan di siang hari sejauh yang bersangkutan belum makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak subuh.
Ia juga dianjurkan untuk melafalkan niat puasa Syawal di siang hari. Berikut ini lafalnya.
ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺻَﻮْﻡَ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﻴَﻮْﻡِ ﻋَﻦْ ﺃَﺩَﺍﺀِ ﺳُﻨَّﺔِ ﺍﻟﺸَّﻮَّﺍﻝِ ﻟِﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adâ’i sunnatis Syawwâli lillâhi ta‘âlâ.
Artinya, “Aku berniat puasa sunah Syawwal hari ini karena Allah SWT.” Wallahu a’lam.
Waktu puasa sunnah Syawal
Puasa sunnah Syawal dimulai pada 2 Syawal hingga akhir bulan Syawal.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺻَﺎﻡَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺛُﻢَّ ﺃَﺗْﺒَﻌَﻪُ ﺳِﺘًّﺎ ﻣِﻦْ ﺷَﻮَّﺍﻝٍ ﻛَﺎﻥَ ﻛَﺼِﻴَﺎﻡِ ﺍﻟﺪَّﻫْﺮِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, ”Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut sehari setelah shalat ’Idul Fitri.
Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan. Karena seperti itu pun disebut menjalankan puasa enam hari Syawal setelah Ramadhan.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Kebanyakan ulama tidak memakruhkan puasa pada tanggal 2 Syawal yaitu sehari setelah Idul Fitri.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 385).
Syaikh Muhammad bin Rosyid Al Ghofiliy berkata, “Yang lebih utamaadalah memulai puasa Syawal sehari setelah Idul Fitri. Ini demi kesempurnaan dan menggapai keutamaan. Hal ini supaya mendapatkan keutamaan puasa segera mungkin sebagaimana disebutkan dalam dalil sebelumnya.
Namun, sah-sah saja puasa Syawal tidak dilakukan di awal-awal bulan Syawal karena menimbang mashalat yang lebih besar. Allah Ta’ala pun berfirman,
ﻟَﺎ ﻳُﻜَﻠِّﻒُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻧَﻔْﺴًﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻭُﺳْﻌَﻬَﺎ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqarah: 286).” 
Share:

Saturday, June 16, 2018

Makna Idul Fitri

Makna Idul Fitri
Fithrah mempunyai tiga arti yaitu suci, asal kejadian,dan agama yang benar. Kalau memahami bahwa idul fitri kembali kepada kesucian, suci itu sendiri mempunyai tiga makna yaitu indah, baik, dan benar.
Menurut Pakar Tafsir Prof Dr Muhammad Quraish Shihab (Membumikan Al-Qur’an, 1999), seseorang yang beridul fitri dia akan selalu menjaga keindahan dalam setiap aspek kehidupan, selalu berusaha mencari kebenaran, dan selalu menampilkan kebaikan.
Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, Ad-Din Al-Muamalah. Nasihat menasihati dan tenggang rasa juga termasuk ajaran agama karena Nabi juga bersabda, Ad-Din Al-Nashihah. Dengan demikian, setiap yang ber-idul fitri harus sadar bahwa setiap orang dapat melakukan kesalahan; dan dari kesadarannya itu ia bersedia untuk memberi dan menerima maaf.
Fithrah yang juga berarti kesucian dapat dipahami dan dirasakan maknanya pada saat seorang hamba duduk merenung sendirian. Ketika pikiran mulai tenang, kesibukan hidup atau haru hati telah dapat teratasi, akan terdengar suara nurani yang mengajaknya berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Maha Mutlak, yang mengantarnya untuk menyadari betapa lemahnya manusia di hadapan-Nya, dan betapa kuasa dan perkasanya Yang Maha Agung itu.
Suara yang didengar itu adalah suara fithrah manusia, suara kesucian. Setiap orang memiliki fithrah itu, terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walaupun sering terabaikan karena kesibukan dan dosa-dosa sehingga suaranya begitu lemah hanya sayup-sayup terdengar. Suara itulah yang dikumandangkan pada Idul Fitri, yakni Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Jika kalimat pengagungan Allah itu tertancap dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada unsur-unsur lain selain Allah semata. Tiada tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi, kecuali kepada-Nya. Ketika hal itu terjadi pada seseorang, terjadilah apa yang seperti dilukiskan oleh ulama kenamaan Ibnu Sina dalam Al-Isyarat wa Tanbihat (Disadur dari Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kutub Al-Lubnaniy, 1982) sebagai berikut:
Orang tersebut menjadi arif, yang bebas dari ikatan raganya. Dalam dirinya terdapat ikatan yang tersembunyi, namun pada dirinya sendiri tampak sebagai sesuatu yang nyata. Ia selalu gembira, banyak senyum. Betapa tidak, sejak ia mengenal-Nya, hatinya dipenuhi oleh kegembiraan. Dengan melihat Yang Maha Suci, semua dianggapnya sama, karena memang semua makhluk Allah. Semua wajar mendapatkan Rahmat, baik yang taat maupun yang bergelimang dosa. Ia tidak akan mengintip-intip kelemahan orang, tidak pula mencari kesalahannya. Ia tidak akan marah, tidak pula tersinggung, walaupun melihat yang mungkar sekalipun, karena jiwanya selalu diliputi Rahmat dan kasih sayang, dan karena ia memandang keindahan, ia melihat sir Allah (rahasia Allah) terbentang ke dalam qudrat-Nya. Bila ia mengajak kepada kebaikan, ia akan melakukannya dengan lemah lembut, tidak dengan kekerasan, tidak pula dengan kecaman, kritikan yang melukai atau ejekan. Ia akan selalu menjadi pemaaf. Betapa tidak, sedang di dadanya sedemekian lapang, sehingga tidak ada tempat bagi kesalahan orang lain. Ia tidak akan menjadi pendendam. Bagaimana ia mampu mendendam, sedang seluruh ingatannya hanya tertuju kepada Yang Maha Suci lagi Maha Agung itu.
Seseorang yang ber-idul fitri juga seorang yang berilmu, karena kebenaran yang terkandung dalam makna suci merupakan buah dari pencarian ilmu. Ia juga bisa dikatakan sebagai seorang seniman karena mengekspresikan keindahan. Seseorang yang ber-idul fitri juga manusia budiman karena dengan berbuat kebaikan, ia merupakan seorang yang budiman.
Sebab itu, ketika seorang merayakan idul fitri, dia akan berusaha dalam semua kegiatannya agar menjadi benar, baik, dan indah. Pada hakikatnya ketika seseorang ber-idul fitri, umat Islam mengenakan pakaian takwa, pakaian yang mereka tenun selama bulan Ramadhan, sekaligus pakaian yang mestinya mereka pakai sepanjang waktu, khususnya setelah manusia menempa diri selama sebulan penuh berpuasa.

Dalam konteks ini, manusia harus mengingat pesan ilahi, “Janganlah kamu menjadi seperti seorang perempuan dalam cerita lama, mengurai kembali tenunannya, sehelai demi sehelai benang dalam tenunannya”.
Artinya, jangan sampai setelah mencapai fithrah, manusia melepaskan kendali sehingga kita kembali melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama.
Dengan memasuki idul fitri atau dengan memasuki bulan syawal yang artinya meningkat, manusia diharapkan meningkatkan segala keindahan, kebenaran, kebaikannya, dan meningkatkan ilmunya. Demikianlan makna kesyukuran kepada Allah SWT dan makna di balik hakikat idul fitri.
Share:

Wednesday, June 13, 2018

Hikmah Berzakat

Zakat dalam segi istilah adalah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya). Zakat dari segi bahasa berarti bersih,suci,subur,berkat dan berkembang.Menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Zakat merupakan rukun ketiga dari rukun Islam.
Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Alquran. Pada awalnya, Alquran hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M.Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan zakat bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin. Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.

Pada zaman khilafah, zakat dikumpulkan oleh pegawai negara dan didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, budak yang ingin membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar. Syari’ah mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan.

Manfaat zakat

Zakat memiliki beberapa faedah yang sangat berguna bagi umat Islam, di antaranya faedah agama (diniyyah), akhlak (khuluqiyah) dan kesosialan (ijtimaiyyah). Berikut penjelasan lebih rinci mengenai faedah-faedahnya.

Faedah agama
Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari rukun Islam yang mengantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.Merupakan sarana bagi hamba untuktaqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabb-nya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah, yang artinya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (Al Baqarah: 276). Dalam sebuah hadits muttafaq alaih, nabi
 juga menjelaskan bahwa sedekah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah berlipat ganda.Zakat merupakan sarana penghapus dosa.

Faedah akhlak
Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum Muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia akan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.Menjadi tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.

Faedah kesosialan.
Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.Memberikan dukungan kekuatan bagi kaum Muslimin dan mengangkat eksistensi mereka. Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang mengambil manfaat.

Hikmah zakat
Hikmah dari zakat antara lain:
Mengurangi kesenjangan sosial antara mereka yang berada dengan mereka yang miskin.Pilar amal jama’i antara mereka yang berada dengan para mujahid dan da’i yang berjuang dan berda’wah dalam rangka meninggikan kalimat Allah.Membersihkan dan mengikis akhlak yang burukAlat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahatUngkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah berikanUntuk pengembangan potensi ummatDukungan moral kepada orang yang baru masuk IslamMenambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.

Zakat Dalam Al Quran
“…dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku'”. (Al-Baqarah 2:43)”“Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (At-Taubah 9:35)”“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka…” (At-Taubah 9:103)”“…dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (al-An’am 6:141)”
Share:

Monday, June 11, 2018

Amalan Rasulullah di Akhir Ramadhan

AMALAN RASULULLAH DI AKHIR RAMADHAN
“Adalah Rasulullah SAW jika telah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau mengencangkan kainnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hikmah di balik meningkatnya volume ibadah nabi saw itu adalah karena sepuluh hari yang terakhir ini merupakan penutup bagi bulan Ramadhan, sedangkan amal perbuatan itu tergantung pada penutupannya atau akhirnya.
Berikut ini adalah amal-amalan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di sepuluh hari yang terakhir :
Pertama, menghidupkan malam.
Menghidupkan malan di sini mengandung kemungkinan bahwa beliau menghidupkan seluruh malamnya atau kemungkinan pula beliau menghidupkan sebagian besar darinya. Aisyah ra berkata:
“Tidak pernah aku melihat beliau (Nabi SAW) melakukan ibadah pada malam hari hingga pagi harinya dan berpuasa selama satu bulan penuh kecuali di bulan Ramadhan.” (HR. Muslim)
Kedua, Membangunkan keluarganya.
Amalan kedua ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW membangunkan keluarganya untuk mengerjakan shalat sunnah pada malam-malam sepuluh hari yang terakhir. Padahal, hal demikian tidak beliau lakukan di malam-malam yang lain.
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: ia berkata: “Rasulullah SAW membangunkan keluarganya di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Turmudzi)
Ketiga, “mengencangkan ikat pinggang”.
Maksudnya, beliau menjauhkan diri dari menggauli istri-istrinya. Diriwayatkan bahwa beliau tidak kembali ke tempat tidurnya sampai rampungnya bulan Ramadhan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas disebutkan bahwa beliau melipat ranjangnya dan menjauhkan diri dari menggauli istri.
Namun, jika diri Anda sedang ‘bergejolak’ tentunya lebih baik Anda menunaikan ‘hajat’ terlebih dahulu, barulah Anda kembali fokus dalam menghidupkan malam-malam di sepuluh hari yang terakhir ini.
Keempat, mandi antara Maghrib dan Isya.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Aisyah, ia berkata:
“Di bulan Ramadhan, Rasulullah biasanya tidur dan bangun malam, namun jika telah masuk sepuluh hari terakhir, beliau mengencangkan ikat pinggang, menjauhi istri-istrinya, dan mandi di waktu antara Magrib dan Isya.”
Hikmah yang bisa dipetik dari amalan ini adaah untuk menghadirkan kesegaran dan kebugaran pada tubuh sehingga kuat dalam memburu malam demi malam untuk meraih malam yang lebih baik dari seribu malam, Lailatul Qadar.
Amalan kelima bisa dilakukan, kecuali oleh Anda yang memiliki rekam jejak penyakit tulang dan persendian seperti encok, rematik, dan sebagainya.
Kelima, Iktikaf.
Aisyah berkata:
“Nabi SAW melakukan iktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau meninggal. Kemudian, istri-istrinya yang melakukan iktikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari-Muslim)
Tujuan nabi melakukan iktikaf pada sepuluh hari terakhir ialah untuk menghentikan berbagai rutinitas kesibukannya, mengosongkan pikiran, mengasingkan diri demi bermunajat kepada Allah, berdzikir dan berdoa kepada-Nya.
Semoga Allah swt memberi kita kemampuan untuk kita bisa melakukan 5 amalan yang telah dilakukan oleh Nabi SAW dalam mengisi sepuluh hari yang terakhir di bulan suci ini. والله اعلم
Share:

Sunday, June 10, 2018

Lailatul Qadar

Lailatul Qadar
Di dalam Qur’an Surat Al-Qadr ayat 2 dijelaskan, wama adraka ma lailatul qadar (dan tahukah kamu malam lailatul qadar itu?). Wahyu Allah SWT tersebut ingin menegaskan bahwa betapa mulianya malam lailatul qadar dan hal itu dijelaskan oleh ayat-ayat selanjutnya dalam QS Al-Qadr tersebut.
Penulis Kitab Tafsir Al-Misbah Prof Dr Muhammad Quraish Shihab (Membumikan Al-Qur’an, 1999) menjabarkan tentang potongan ayat wama adraka. Semua uraian Al-Qur’an yang dimulai dengan wama adraka menunjukkan bahwa sesuatu itu tidak terjangkau atau hampir tidak terjangkau oleh nalar manusia.
Lailatul qadar sedemikian agung sehingga tidak terjangkau oleh nalar manusia. Sebab itu dalam ayat kedua QS Al-Qadr dijelaskan wama adraka ma lailatul qadar. Hari kiamat itu wama adraka, wama adrakamal haqqah. Bintang, wama adrakamat thariq. Tidak terjangkau kecuali Allah SWT atau Rasulullah SAW menyingkap sebagian darinya.
Datangnya malam lailatul qadar tidak seorang pun yang mengetahui tepatnya kapan. Selama ini umat Islam hanya membaca tanda-tanda malam yang menurut Al-Qur’an lebih baik dari 1.000 bulan ini. Betapa mulianya malam lailatul qadar karena mampu membawa seorang hamba pada ketakwaan yang hakiki.
Untuk bertemu dengan malam lailatul qadar, seorang hamba sesungguhnya bisa mempersiapkan diri sedari awal Ramadhan tiba. Ini menunjukkan bahwa kebaikan harus bersifat kontinu sebagaimana kemulian yang ditunjukkan pada malam lailatul qadar dan dampaknya terhadap kehidupan di masa-masa yang akan datang.
Quraish Shihab mengungkapkan amalan-amalan agar seorang hamba bisa bertemu malam tersebut. Namun, yang harus diperhatikan ialah selain bertemu malam lailatul qadar, manusia juga mendapatkannya sehingga amalan-amalan baik harus dilakukan untuk mendapatkan kemuliaan malam tersebut.
Pertama, Al-Qur’an menyatakan, bahwa dalam malam lailatul qadar, Malaikat turun (QS Al-Qadr: 4). Ketika Malaikat turun dan mengunjungi seseorang, Malaikat senang dengan kebaikan, melingkupi kebaikan apa saja. Malaikat mendukung manusia yang berbuat baik. Dengan demikian, melakukan kebaikan secara terus-menerus bisa mengantarkan manusia mendapatkan malam lailatul qadar.
Lalu kebaikan yang seperti apa? Berbuat baik juga terkait dengan kesempatan dan waktu. Artinya, manusia jangan menunda kebaikan, apalagi ketika orang lain sangat membutuhkan bantuan dan kebaikan tersebut saat itu juga. Di situlah malam kemuliaan akan datang kepada manusia yang Malaikat juga turut datang kepadanya.
Kedua, di malam lailatul qadar ada kedamaian sampai fajar (QS Al-Qadr: 5). Artinya, damai dengan diri dan damai dengan orang lain. Damai itu ada damai aktif dan ada damai pasif. Misal ketika manusia naik bus, banyak orang di bus, lalu hanya duduk diam, tidak menyapa samping kiri dan samping kanannya. Hal itu termasuk damai, tetapi damai pasif.
Lain halnya dengan damai aktif yaitu ketika saling menyapa atau memberi sesuatu kepada orang lain dengan tujuan yang baik. Hal ini juga berlaku bahwa ketika manusia tidak bisa memuji orang lain, tidak perlu memakinya. Kalau tidak bisa memberi sesuatu kepada orang lain, jangan lalu mengambil haknya.
Begitu juga kalau tidak bisa membantunya, jangan menjerumuskannya. Ini prinsip kedamaian yang dapat mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin seperti dijelaskan QS Al-Qadr ayat 5. Di saat itulah manusia mendapat malam kemuliaan, yaitu malam lailatul qadar.
Berikut QS Al-Qadr: 1-5
(1) إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan.
(2) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
(3) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
(4) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
(5) سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
Share:

Kitab Arbain: Hadis 1

Hadits ke- 1


الحــديث الأول
HADITS PERTAMA

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة


Kosa kata / مفردات :
الأعمال (العمل) : Perbuatan امرء : Seseorang
نوى : (Dia) niatkan امرأة : seorang wanita

Arti Hadits / ترجمة الحديث :
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan( ) tergantung niatnya( ). Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya ( ) karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kita Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang) .

Catatan :
1. Hadits ini merupakan salah satu dari hadits-hadits yang menjadi inti ajaran Islam. Imam Ahmad dan Imam syafi’i berkata : Dalam hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu. Sebabnya adalah bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan dan anggota badan, sedangkan niat merupakan salah satu dari ketiganya. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa dia berkata : Hadits ini mencakup tujuh puluh bab dalam fiqh. Sejumlah ulama bahkan ada yang berkata : Hadits ini merupakan sepertiga Islam.
2. Hadits ini ada sebabnya, yaitu: ada seseorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi seorang wanita yang konon bernama : “Ummu Qais” bukan untuk mendapatkan keutamaan hijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan “Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah karena Ummu Qais).

Pelajaran yang terdapat dalam Hadits / الفوائد من الحديث :
1. Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).
2. Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati.
3. Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shaleh dan ibadah.
4. Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.
5. Semua pebuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah.
6. Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
7. Hadits diatas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.
Tema-tema hadits / موضوعات الحديث
1. Niat dan keikhlasan : 7 : 29, 98 : 5
2. Hijrah : 4 : 97, 2 : 218, 3 : 195, 8 : 72
3. Fitnah dunia : 3 : 145, 4 : 134, 6 : 70, 8 : 67.
Share:

Friday, June 8, 2018

Biografi KH. M. Irsyad Muiny SH, Ulama Pejuang Asal Bogor

Biografi KH M Irsyad Muiny SH: Profil Ulama Pejuang asal Bogor

KHM. Irsyad Muiny, SH
Tempat dan tanggal lahir :  Bogor, 4 Juli 1922
Pekerjaan :  Pensiunan Hakim Agama Kementrian Agama. RI
Nama orang tua :
Ayah :  H. Ahmad Muiny
Ibu :  Hj. Ruqoyah Arifin
 Wafat :  Jakarta, 09 Februari 1994 (28 Sya’ban 1415 H)
 Keluarga :
Istri :  Alm. Siti Uminah binti M. Yusuf
 :  Alm. Hj. Siti Shofuro binti KH. Syueb Nawawi
 :  Hj. Ruqoyah Mujib
Anak :
Hj. Siti Zuhro (alm), Tahun 1944 s.d 2006
Siti Muslihah (alm), Tahun 1946 s.d 1963
H. Ahmad Shofwan, SH (Alm) 1949 s.d 2001
H.M. Syafruddin, MSc, Tahun 1951
Hj. Siti Mukhlishoh (alm), Tahun 1953
Sundusiyah (alm), Tahun 1955 s.d 1957
Drs. HM. Syaiful Anwar (Alm), Tahun 1956 s.d 2016
HM. Anshor (Alm), Tahun  1959 s.d 2015
Drs. HM. Abduh Almanar, M.Ag, Tahun 1961
Dra. Hj. Tuti Ulwiyah, MH, Tahun 1963
HM. Saifuddaulah, SH. MH. M.Pd, Tahun 1965
Abdur Rosyid (alm), Tahun 1966 s.d 1968

Pendidikan :
Formal
Pendidikan Dasar  ; Sekolah Rakyat (SR)
Pendidikan di LPDI Istiqlal Jakarta 1973
Meraih gelar Sarjana Muda Syariah (BA), Tahun 1976
Pendidikan di UID Fakultas Hukum Jakarta
Meraih gelar Sarjana Hukum (SH), Tahun 1979

Non Formal
Pesantren Salafiyah dan Sekolah Rakyat di Garisul Bogor, Tahun 1928 s.d 1934 (KH. Hasbullah)
Pesantren Al-Ma’had Ali Cisempur Bogor, Tahun 1935 s.d 1938
 Pesantren Salafiyah Babakan Ciwaringin Cirebon, Tahun 1938 s.d 1940
Pesantren Cianjur, Tahun 1940 s.d 1943
Pesantren Nurul Huda Rumpak Sinang Tangerang, Tahun 1943 s.d 1946.

Pengabdian/Perjuangan :

Hizbullah battalion IV Singandara Daerah XXXV Sektor Komando IV Bogor, Kesatuan TNI D/X-16, Tahun 1945 s.d 1950 :
Pengasuh Pondok Pesantren Cibeuteung Udik, Tahun 1950 s.d 1955
Mengelola Majlis Ta’lim Setia Budi Jakarta, Tahun 1956 s.d 1990
Anggota Badan Kerjasama Ulama Militer DAM V JAYA Jakarta, Tahun 1959 s.d 1963
Hakim Agama di Wilayah DKI Jakarta, Tahun 1967 s.d 1987

Dosen Tetap Fakultas Hukum/Ekonomi Tarbiyah di Universitas Islam Jakarta, dengan Mata Kuliah :
Hukum Acara Peradilan Agama
Tafsir Qur’an
Pendidikan Agama Islam
Akhlak, Tasawuf
Ketua Pusat bantuan Hukum dan Anggota tetap Pusat Pengkajian Studi Islam Universitas Islam  Jakarta.
Pendiri Yayasan Al-Irsyadiyah, Tahun 24 Januari 1990
Pimpinan Umum Pesantren Madinah Ulum Al-Irsyadiyah, Tahun 1990 s.d Wafat

Penghargaan atau Tanda Jasa :

Satyalantjana Peristiwa Aksi Militer Kesatu Penghargaan dari Menteri Pertahanan (Djuanda) Republik Indonesia, Tanggal 10 November 1958.
Satyalantjana Gerakan Operasi Militer II dari Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Tanggal 29 Djanuari 1959.
Satyalantjana Gerakan Operasi Militer V dari Menteri Pertahanan Djuanda) Republik Indonesia, Tanggal 29 Djanuari 1959
Tanda Jasa Pahlawan, Bintang Gerilya, Tanggal 17 Agustus 1958 dari Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno.
Bogor, 06 Mei 2016 (28 Rajab 1437)
Disusun oleh
HM. Syafruddin, MSc
(Putra Ke-2/Anak ke-4 dari 12 Bersaudara)
Share:

Konsultasi dengan Gus Abduh

Data Kunjungan