Melatih dan Mencerahkan Jiwa

Wednesday, December 20, 2017

Sejarah Al Qur'an (Menguak Sisi Pengumpulan dan Penulisan Al Qur’an) Bagian II


C.  Pengumpulan Al-Qur'an Pada Masa Abu Bakar

Abu Bakar naik ke tampuk pimpinan kekhalifahan sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu Ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun kedua belas Hijriah melibatkan sejumlah besar Sahabat yang hafal Al Qur’an. Dalam peperangan ini tujuh puluh Qorri dari para sahabat gugur. Umar bin Khattab merasa sempat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab perang Yamamah telah banyak membunuh para Qorri.

Pada mulanya Abu Bakar agak ragumelaksanakan tugas tersebut karena ia tidak menerima otoritas dari Nabi, disamping khawatir pekerjaanya jatuh kepad bid’ah. Setelah berdiskusi panjang, Abu Bakar setuju karena pertimbangan mashlahat. Ia kemudian memilih Zaid Ibn Sabit yang pernah memimpin komisi pengumpulan Al Qur’an di zaman Nabi. Abu Bakar memilih Zaid karena pemuda ini dikenal sangat cerdas, sangat wara’, memegang teguh amanah, akhlaknya sempurna, dan agamanya lurus. Semula Zaid keberatan, bahkan ia menyatakan sekiranya dibebani untuk memikul gunung pun tugas mengumpulkan Al Qur’an ini terasa lebih berat. Namun akhirnya Zaid menerima permintaan Abu Bakar.

Zaib bin Sabit memulai tugasnya yang berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati Qurra dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran (naskah) itu disimpan di tangan Abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun tiga belas hijriyah manuscript itu berpindah ke tangan Umar dan tetap berada ditangannya hingga ia wafat. Kemudian naskah itu berpindah ke tangan hafsah, putri Umar. Pada permulaan kekhalifahan Usman, ia memintanya dari tanga hafsah.

W.Montgomery Watt dalam edisi revisi karya Richard Bell, Introduction to the Al Qur’an, meragukan sisi kemurnian manuscript Al Qur’an yang diterima Usman dari Hafsah, karena hamper merupakan suatu hal yang mustahil bila naskah itu jatuh ke tangan putri khalifah jika naskah yang digarap Zaid Ibn Sabit merupakan kumpulan resmi. Memang Hafsah adalah putrid Umar, dan Watt tampak berasumsi bahwa karena umar menjadi khalifah segera setelah Zaid bib Sabit menyelesaikan tugasnya, maka naskah diberikan kepada Umar, dan selanjutnya pindah ke tangan putrinya. Dalam karyanya, Richard Bell tidak pernah menyinggung bahwa naskah-naskah Al Qur’an yang dikodifikasi oleh Zaid Ibn Sabit disimpan oleh Abu Bakar, melainkan langsung diserahkan ke tangan Umar.

Ketika Al Qur’an di kumpulkan di masa Abu Baka, mulailah timbul kritikan di san-sini, seperti tentang dugaantentang dimasukkannya beberapabagian Al Qur’an karena ”pernah lupa”nya Rasulullah berdasarkan riwayat Aisyah. Kritikan senada,agaknya dari kalangan syi’ah yang selalu memandang bahwa Al Qur’an telah disunat dengan memupus beberapa bagian yang merujuk kepada keluarga Ali dan keluarga Nabi. Belum lagi kritikan-kritikan yang dilontarkan para orientalis dan musuh-musuh islam. Namun demikian pakar-pakar islam tetap mempertimbangkan kritikan-kritikan tersebut dan menelusuri letak kevaliditasannya ataukah memang mengada-ngada.

Berkaitan dengan hal diatas, menarik untuk kita bahas sekilas pertanyaan sebagian ilmuwan tentang apakah Nabi Muhammad bisa membaca dan menulis. Bagi kaum muslimin memang hampir merupakn dogma bahwa Muhammad tidak bisa membaca dan menulis. Hal ini secara tidak langsung mempertinggi kemukjizatan Al Qur’an bahwa ia telah disampaikan oleh orang yang sama sekali buta huruf. Sekaligus memperkecil dugaan bahwa Al Qur’an itu hasil rekayasa (tulisan) Muhammad. Namun jika kita telusuri makna-makna yang terkandung dalam QS.3 :20, QS 62 : 2, QS 2 : 175dan 158 tidak ada argumen apapun disini yang menyatakan bahwa Nabi sama sekali buta huruf, tetapi ayat-ayat ini setidaknya mengacu kepada ketidaktahuannya terhadap kitab-kitab suci orang Yahudi dan Kristen. Dalam beberapaversi kisah penandatanganan perjanjian AlHudaibiyah pada 620,dikatakan bahwa Muhammad telah menulisdengan tangannya sendiri.

Tatkala tidak ada bukti otentik yang meyakinkan bahwa Nabi bisa menulis,dan juga bukan merupakan suatu hal yang mustahil bahwa ia dapat menulis. Muhammad bisa saja telah mempelajari seni tulis menulis di Mekkah. Karena pada masa muda, ia merupakan seorang pemimpin niaga untuk Khadijah dan atas namanya sendiri. Tentunya Muhammad perlu membuat catatan-catatan transaksinya. Jadi secara keseluruhan, tampaknya sangat mungkin bkalaun Nabi membaca dan menulis seperti rata-rata pedagang Mekkah. Kalau hal ini terjadi mengapa Nabi tidak langsung saja menulis bagian-bagian ayat Al Qur’an yang turun kepadanya ketika tidak seorang sahabatpun berdada di hadapannya, hal inilah yang hingga saat ini menjadi problema yang masih misterius. Padahal kalu hal-hal seperti ini beliau lakukan lebih lagi kalau selluruh Al Qur’an beliau tulis sendiri atau paling tidak beliau dapat memeriksa hasil tulisann sahabat terhadap Al Qur’an tanpa harus mendengar bacaan dan hafalan mereka. Kecil sekali kemungkinan Al Qur’an yang sekarang itu masih ada secuil orang yang mempertanyakan keotentikannya.


 D. Pengumpilan Al Qur’an Pada Masa Usman

Seiring dengan bertambah luasnya penyebaran islam dan para Qurra pun tersebar diberbagai wilayah yang penduduk dimasing-masing wilayah itu mempelajari Qiraat yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan ini memicu pertengkaran yang menjurus, disebahagian kalangan bahkan saling kafir-mengkafirkan. Hal ini dikarenakan masing-masing kelompok merasa memiliki cara baca yang paling benar.

Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Irak, diantara orang ikut menyerbu kedu tempat itu ialah Huzaifah bin Al Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al Qur’an yang sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Usman segera bertindak. Ia menunjuk beberapa sahabat pilihan dan ahli hafal Al Qur’an, terdiri dari Zaid ibn Sabit, Abdullah ibn zuber, Said ibn al-Ash dan Abdul Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam (tiga terakhir dari Quraisy) untuk menyalin Al Qur’an. Salinanitumencontoh mushaf Abu Bakar yang dipinjam dari Hafsah. Usai disalin mushaf dikembalikan lagi kepada Hafsah.

Ada dua nasihat yang diberikan Usman saat Al Qur’an akan disalin kembali.
  1. Pengambilan keputusan dalam penulisan Al Qur’an berdasarkan bacaan para Huffaz
  2. Bila ditemukan perbedaan antara mereka tentang bacaan, maka haruslah ditulis menurut dialek Quraisy, sebab Al Qur’an diturunkan menurut dialek mereka.
Setelah salinan naskah baku selesai ditulis, dikirimkan ke setiap daerah terutama yangberdialek beda dengan mushaf imam, lalu Usman memerintahkan untuk membakar  semua bentuk lembaran yang selain mushaf imam, dan Qiraat dengan enam huruf lainnya resmilah ditinggalkan. Keputusan ini tidak salah, sebab Qiraat dengan tujuh huruf itu tidak wajib.

Dengan adanya penyatuan mushaf ini berarti pembukuan Al Qur’an di masa Usman memberi beberapa faedah terutama:

  1. Menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan dan tulisannya.
  2. Menyatukan bacaan, kendatipun masih ada yang berlainan bacaan, tetapi hendaknya bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan mushaf Usman.
  3. Menyatukan tertib susunan surat-surat menurut tertib urutan sebagaimana yang kita saksikan pada Al Qur’an sekarang.
  4. Mushaf tersebut terhindar dari percampuran dengan selain ayat Al Qur’an seperti tulisan beberapa sahabat dalam mushafnya sebagai penjelas terhadap makna atau penjelasan mengenai nasikh dan mansukh, terutama dengan mengabaikan ayat yang dinasakh bacaannya.
  5. Mushaf tersebut memuat ayat-ayat yang diriwayatkan secara mutawatir saja, tidak memuat ayat yang diriwayatkan secara ahad.
Namun walaupun demikian Mushaf Usman masih belum sempurnakarena masih ditulis dengan Tulisan Kufi yang berhuruf gundul, sehingga menimbulkanproblembaca di kalangan non-Arabic Native Speaker. Karena Tulisan Kufi ini tanpa disertai nuktah (tanda baca titik)dan syakal (baris/harakat) yang lazim kita temui dewasa ini, sehingga sepintas lalu bila kita melihat mushaf Usman ini layaknya seperti simbol-simbol gambar yang bisa di baca dengan berbagai versi sesuai dengan kehendak pembaca. Hal ini dapat memberi interprestasi dan makna yang bebeda bahkan bertolak belakang dengan maksud sejarah. Untunglah Khalifah Ali datang dan menjadi problem solver dalam hal ini.

Sumber Gambar Ilustrasi: http://ukhuwahislamiah.com

Share:

0 comments:

Post a Comment

Konsultasi dengan Gus Abduh

Data Kunjungan