Menoleh ke masa Al Qur’an diturunkan,
identik dengan membuka kembali lembar-lembar sejarah pengumpulan dan
penulisannya. Karena sejarah itu sendiri merupakan laboratorium ilmu-ilmu
sosial, maka sejarah Al Qur’an dapat pula dijadikan laboratorium bagi ilmu
sosial dalam memahami islam dan umatnya. Dengan demikian, kajian sejarah Al
Qur’an mempunyai arti penting karena dari sejarah itulah dapat difahami
variabek-variabelnya sehingga dapat diamati dan dijadikan pelajaran.
Kita telah sepakat bahwa Al Qur’an itu
diturunkan berangsur-angsur selama 23 tahun sejak pengangkatan Muhammad sebagai
Nabi di Mekkah hingga wafatnya di Madinah. Setiap turun Al Qur’an, Nabi SAW
menyuruh penulis wahyu menulisnya. Walaupun kebanyakan sahabat menghafalnya.
Namun ada sekelumit kontroversi berkenaan dengan ayat pertama dan terakhir
diturunkan. Ada
empat pendapat ulama yang berbeda mengenai ayat yang pertama turun. Pertama
adalah “ Iqra Bismi Robbikal Ladzi Khalaq …..” (QS. Al ‘Alaq: 1-5 ),berdasarkan
riwayat Syaikhani dan lain-lain dari Aisyah ra. Kedua “ Yaa Ayyuha
Mudatsir…..”, berdasarkan riwayat Syaikhani namun dari Abi Salmah Ibn
Abdirahman. Ketiga surat
Al Fatihah. Keempat “ Bismillahirrahmanirrohiim “, riwayat dari Al Wahidi.
Pendapat pertama di pandang paling akurat. Terhadap pendapat ketiga Ibn Hajar
menyatakan kecenderungan kepada pendapat ini minoritas, sedangkan umumnya
pendapat kapada “ Iqra “.
Di kutip dari segi waktu, Al Qur’an menurut al Hakim dalam Al Mustadrah seperti di kutip oleh Al Suyuti, dikumpulkan sebanyak tiga kali. Pertama di masa Rasul. Kedua, di masa Abu Bakar. Dan ketiga, di masa Utsman bin Affan. Di masa Rasul Al Qur’an dipelihara dengan dua cara: dihafal dan ditulis. Dengan cara pertama lahirlah para penghafal Al Qur’an. Nama-nama para penghafal Al Qur’an di masa Rasul disebutkan dalam tiga riwayat: (a) Menurut hadits riwayat Bukhori dari ‘Amr ibn ‘As, Rasulullah memerintahkan untuk mengambik Al Qur’an kepada enpat orang: Abdullh Ibn Mas’ud, Salim, Mu’az dan Ubai ibn Ka’ab. (b) Menurut Anas Ibn Malik, para penghafal Al Qur’an adalah empat orang : Ubai ibn Ka’b, Mu’az ibn Jabal, Zaid ibn Sabit dan Abu Zaid. (c) Menurut riwayat Sabit dan Anas, para penghafal Al Qur’an adalah Abu al-Darba, Mu’az ibn Jabal, Zaid ibn Sabit, dan Abu Zaid.
Di kutip dari segi waktu, Al Qur’an menurut al Hakim dalam Al Mustadrah seperti di kutip oleh Al Suyuti, dikumpulkan sebanyak tiga kali. Pertama di masa Rasul. Kedua, di masa Abu Bakar. Dan ketiga, di masa Utsman bin Affan. Di masa Rasul Al Qur’an dipelihara dengan dua cara: dihafal dan ditulis. Dengan cara pertama lahirlah para penghafal Al Qur’an. Nama-nama para penghafal Al Qur’an di masa Rasul disebutkan dalam tiga riwayat: (a) Menurut hadits riwayat Bukhori dari ‘Amr ibn ‘As, Rasulullah memerintahkan untuk mengambik Al Qur’an kepada enpat orang: Abdullh Ibn Mas’ud, Salim, Mu’az dan Ubai ibn Ka’ab. (b) Menurut Anas Ibn Malik, para penghafal Al Qur’an adalah empat orang : Ubai ibn Ka’b, Mu’az ibn Jabal, Zaid ibn Sabit dan Abu Zaid. (c) Menurut riwayat Sabit dan Anas, para penghafal Al Qur’an adalah Abu al-Darba, Mu’az ibn Jabal, Zaid ibn Sabit, dan Abu Zaid.
Walaupun tiga riwayat diatas menyebutkan nama-nama para penghafal Al Qur’an, namun
penghafal Al Qur’an yang mashur dari akangan sahabat berjumlah tujuh orang :
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubai ibn Ka’ab, Zaid Ibn Sabit, Abdullah
ibn Mas’ud, Abu Darba, Abu Musa Al Asy’ari. Ibn Abbas mengambil hafalan kepada
Ubai ibn Ka’ab dan Zaid ibn Sabit. Abu Hurairah dan Abdullah ibn Saib mengambil
hafalan Ubai ibn La’ab saja. Selain
dengan cara menghafal, Al Qur’an dilestarikan dengan cara ditulis. Banyak
diantara sahabat memelihara Al Qur’an dengan caa menulias pada pelepah kurma
dan benda-benda lainnya. Sebelum dibukukan di masa Abu Bakar, Al Qur’an telah
dicatat oleh beberapa sahabat dalam bentuk catatan tidak resmi. Catatan tidak
remi dimaksud adlah bahwa Al Qur’an ditulis pada pelepah kurma, daun, batu, dan
lainnya bukan untuk disebarkan kepada yang lain, tetapi hanya untuk dirinya
sendiri.
Pengumpulan Al Qur’an yang kedua dan ketiga secara lebih ekstensif. Masa Abu Bakar dapat di
ketahui sebagai masa penyatuan mushaf. Oleh karena itu, upaya pengumpulan
naskah Al Qur’an sangat menonjol. Sedangkan masa Utsman ibn Affan dapat di
ketahui sebagai masa penyempurnaandan penggandaan.
Dari pendahuluan ini dapat diketahui bagaimana Al Qur’an dikumpulkan dan dipelihara.
Hal ini penting untk di fahami, karena pemicu perselisihan pendapat telah
terjadi di masa ini. Dari sini akan di mulai upaya penelusuran factor-faktor
yang mendorong Abu Bakar dan Utsman membukukan dan menggandakan Al Qur’an,
kendala-kendala yang di hadapinya dan cara-cara penyelesaian kendala-kendala
tersebut sehingga nantinya akan terjawab apakah Al Qur’an yang kita lihat
sekarang ini memang benar-benar Al Qur’an seperti apa yang diwahyukan oleh
Allah kepada Rasul Nya atau telah terjadi perubahan yang pada akhirnya akan
mempengaruhi terhadap sisi-sisi keotentikan Al Qur’an itu sendiri walaupun pada
hakikatnya Tuhan sendiri telah menjamin kemurnian dan keabsahan wahyuNya itu (
QS.15:39 )
B. Pengumpulan Al Qur’an pada masa Nabi
Yang dimaksud dengan pengumpulan Al
Qur’an oleh para Ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut:
Pertama :
Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya
dengan hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-nabi
senatiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Al Qur’an
ketika Al Qur’an itu turun kepadanya sebelum jibril selesai membacakannya,
karena ingin menghafalkannya:”Janganlah kamu kamu gerakkan lidahmu untuk
membaca Al Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya, sesungguhnya atas
tanggungan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai )
membacanya. Apabila kamu telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu.
Kemudian, atas tanggungan kami lah penjelasannya” (QS.75:16-19)
Kedua :
Pengumpulan dalam arti Kitabatuhu Kullihi
(Penulisan Al Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan
surat-suratnya dalam lembaran-lembaran terkumpul yang menghimpun semua surah
sebagaimana ditulis sesudah bagian yang lain.
Rasulullah adalah penghafal Al Qur’an pertama dan
merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya. Setiap kali
sebuah ayat turun, dihafaldalam dada dan ditempatkan dalam hati.sebab bangsa
arab secara kodrati mempunyai daya hafal yang kuat. Hal itu karena umumnya
mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair, dan
silsilah mereka, dilakukan dengan catatan di hati mereka. Berbeda halnya dengan penulisan Al Qur’an. Rasulullah
ternyata mengangkat para penulis wahyu dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti
Ali,Muawiyah,Ubai ibn Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, mereka
menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah. Para sahabat
memikul kesulitan yang sangat besar dalam menuliskan Al Qir’an. Alat-alat tulis
tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana yang sangat sederhana
seperti lempengan batu, daun lontar, pelana, tulang belakang binatang dan
sebagainya. Hal ini sempat
menjadi keragu-raguan kalangan sarjana kontemporer atas keorisinilan penulisan
Al Qur’an. Disamping bangsa Arab kala itu memang lebih identik dengan bangsa
penghafal ketimbang bangsa penulis ditambah lagi sarana-sarana yang mendukung
penulisan sangat ketinggalan dibandingkan bangsa-bangsa lain pada masanya.
Tulisan-tulisan Al Qur’an pada masa Nabi tidak
terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki olaeh
yang lain. Dan Rasulullah berpulang ka Rahmatullah di saat Al Qur’an yang
dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan ayat-ayat dan surah-surah yang
terpisah-pisah. Di samping pula Al Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf,
sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Disamping
itu, terkadang terdapat ayat yang me-nasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun
sebelumnya. Andai kata (pada masa Nabi) Al Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan
diantara dua sampul (dalam satu mushaf – pen), hal yang demikian tentu akan
membawa perubahan bila wahyu turun lagi. Hal ini untuk menjawab pertanyaan
mengapa Al Qur’an tidak diturunkan saja dalam satu mushaf pada masa Nabi agar
otentisitasnya lebih terjamin? Az Zarkasy
menambahkan dalan Al Burhan “Al Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada
zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu (seperti ketika adanya
nasikh). Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah wafatnya
Rasulullah.
Ketika Rasulullah masih hidup beliau sebagai
sumber sejuta pengaduan, dapat dipastikan tidak adanya problem Al Qur’an
dizaman beliau masih hidup. Jika pun ada, beliau sendiri yang menuntaskannya,
lagian masyrakat Arab-Muslim di lingkungan beliau yang masih sederhana cara
berfikirnya lebih suka langsung mempraktekkan pesa-pesa AL Qur’an yang
diisyaratkan Rasulullah dari pada memfilosofikannya (bahkan termasuk
mempertanyakan teknis pengumpulan atau system penulisannya, sama sekali tak
terbayang di pikiran mereka). Persoalan terjadi belakangan, sepeninggal
Rasulullah, Karena perubahan berbagai situasi, hal ini juga menuntut terjadinya
corak-corak pengumpulan Al qur’an untuk memenuhi standart kebutuhan tersebut.
0 comments:
Post a Comment