Melatih dan Mencerahkan Jiwa

Dr. KH. Abduh Al-Manar, M.Ag.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah. Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

PAUD Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MI Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MTS Al-Iryadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Friday, December 29, 2017

Saripati Surat Al-Fatihah



Setiap muslim tentu tidak asing dengan surat al Fatihah. Dari kecil kita sudah diajarkan untuk menghapal surat yang satu ini. Itu karena surat al Fatihah adalah surat pembuka kitab suci Al-Qur`an. Ia juga wajib dibaca di setiap rakaat shalat sebagai rukun. Tidak membaca surat Al Fatihah, berarti shalat tersebut tidak dinyatakan sah. “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat al Fatihah.” Begitu kata Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Kali ini kami akan mengutip intisari surat yang agung ini, dari uraian ringkas yang ditulis oleh Syaikh Mahmud Syalthut –rahimahullah– dalam risalahnya yang berjudul, “Ilal Qur`aanil Kariim” Hal. 15 – 16:

Surat al Fatihah, disebut Ummul Kitab (Induk al Qur`an). Al Fatihah merupakan salah satu dari lima surat dalam al Qur`an al Karim yang dimulai dengan al hamdu lillah (segala puji hanya milik Allah). Kelima surat itu adalah (1) al Fatihah, (2) al An’aam, (3) al Kahfi, (4) Saba` dan (5) Fathir.

Al Fatihah merangkum seluruh substansi yang dijelaskan oleh al Qur`an al Karim secara global, berupa tauhid, hari kebangkitan, penjelasan tentang jalan yang lurus yang ditempuh oleh manusia untuk mengatur kehidupannya dengan Allah, dirinya dan orang lain.

Al hamdulillahi rabbil ‘aalamiin.” (segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam) dan “ar-rahmaanir-rahiim”(Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) Kedua ayat ini menetapkan ketauhidan Allah dalam hal penciptaan dan pengaturan (seluruh makhluk) melalui sifat rahmat yang pengaruhnya sampai kepada hamba-hamba-Nya.

Maaliki yaumid-diin.” (yang menguasai di hari Pembalasan) Ayat ini menegaskan kehidupan akhirat, hari dimana seluruh amalan akan menerima balasan.

Iyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin” (hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan) Ayat ini menjelaskan prinsip beribadah kepada Allah saja, dan menegaskan status manusia yang lemah yang senantiasa membutuhkan pertolongan Rabbnya. Ayat ini juga menegasikan seluruh sikap menghadap kepada selain Allah, baik dalam bentuk ibadah, juga dalam isti’anah (pemohonan bantuan)

Ihdinash-shiraathal mustaqiim.” (Tunjukilah Kami jalan yang lurus) Ayat ini sebuah permohonan manusia untuk hidup dalam hukum-hukum Allah yang dapat mengatur urusan-urusannya. Dialah Allah yang memberi ilmu dan membuat Syariat, serta satu-satunya yang memberi taufik berupa kemampuan untuk mengamalkan ilmu dan syariat-Nya.

Shiraathalladziina na’amta ‘alaihim. Ghairil maghduubi ‘alaihim waladh-dhaaliin” (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.) Ayat ini menjelaskan bahwa manusia, dihadapan jalan dan syariat Allah terbagi menjadi tiga golongan:

Golongan pertama: Mereka yang dikenal sebagai orang-orang yang komit terhadap jalan yang lurus. Jalan itu sangat identik dengan mereka, mereka pun menjadi teladan untuk selain mereka dalam sikapnya itu. Mereka adalah, “Yang diberi nikmat.”

Golongan kedua: Mereka yang ingkar kepada jalan Allah dan hukum-hukum-Nya, karena sombong dan takabur, mereka adalah, “Yang dimurkai.”

Golongan ketiga: Mereka yang ragu antara menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran, mereka adalah, “Yang tersesat.”

Semua ini menunjukkan, surat al Fatihah mengandung akidah (keyakinan) dalam hal permulaan (makhluk) dan tempat kembalinya. Dengan akidah ini, manusia menjadi sempurna dari sisi ilmu (ilmy). Al Fatihah juga mengandung penjelasan mengenai jalan beramal shaleh. Dengan amal shaleh, manusia menjadi sempurna dari sisi amal (amaly). Surat ini juga mengisyaratkan satu sejarah manusia yang istimewa, yang komit terhadap kebenaran dalam berilmu dan beramal.

Demikianlah, sebuah penjelasan global untuk seluruh rincian yang dijelaskan dalam al Qur`an al Karim. Oleh karena itu, al Fatihah menjadi pendahuluan kitab suci al Qur`an dan induk al Qur`an.

Sumber Gambar Ilustrasi:
http://singduwedotcom.blogspot.co.id
Share:

Thursday, December 28, 2017

Doa Mohon Perlindungan


“Allahumma inni audzubika min al-‘azji wa al-kasli wa al-bukhli wa al-Harami wa azab al-qabri”(“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari penyakit lemah, malas, bakhil, tua, dan siksa kubur”).

Ini merupakan doa yang dilantunkan oleh Rasulullah SAW yang direkam dalam hadis riwayat Imam Muslim. Doa ini menjadi bahan renungan dan pelajaran untuk kita semua bahwa beliau saja berdoa kepada Allah apalagi kita yang memang sangat membutuhkan kekuatan Allah hadir dalam hidup ini. Mari kita coba pahami butir-butir doa Rasulullah SAW tersebut :

1. al-‘azji (lemah): 
Lemah tidak saja berupa fisik jasmani tetapi juga bisa berupa sikap mental, keduanya harus dapat kita hindari. Lemah fisik dapat kita atasi dengan olah raga yang teratur sedangkan lemah mental dapat kita atasi dengan olah jiwa. Rasulullah berdoa kepada Allah agar terhindar dari kondisi lemah tersebut. Allah pun mengingatkan dalam Al-Qur’an tentang kondisi lemah ini :
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS. An-Nisa : 9 ).

Rasulullah pun menginginkan umatnya menjadi umat yang kuat. Beliau mengatakan : “Orang mukmin yang kuat lebih baik daripada orang mukmin yang lemah”.

2. al-kasal (malas):
Rasulullah SAW sebagai orang yang super sibuk saja masih mohon perlindungan kepada Allah dari sifat malas. Bagaimana dengan kita ? ini merupakan pelajaran agar umatnya pun harus menghindari diri dari sifat dan sikap malas. Bermalas-malasan hanya akan membuang-buang waktu, tenaga dan pikiran. Jiwa kita pun menjadi kosong dan hampa sehingga yang muncul hanya angan-angan yang kosong. Hal ini sangat membahayakan bagi kesehatan jiwa kita. Oleh karena itu sedini mungkin harus segera kita jauhi sifat dan sikap malas ini. Caranya dengan mengisi waktu yang penuh dengan berbagai kegiatan: apakah itu membaca, menulis, bekerja, beraktifitas di masyarakat, beribadah dan sebagainya.

3. al-bukhl (kikir) 
Perilaku kikir atau pelit sebenarnya merugikan kita sendiri. Coba kita renungkan, pada saat orang lain membutuhkan pertolongan, kita tidak mau menolongnya. Pada kesempatan lain, kita butuh pertolongan orang lain, tetapi kemudian orang itu tidak menolong kita. Bagaimana perasaan kita ? Tentu saja kita kecewa, kesal dan jengkel. Kondisi ini pula yang terjadi pada orang lain yang membutuhkan pertolongan kita. Oleh karena itu, mari kita melatih diri jangan sampai berperilaku kikir. Sesuai dengan kemampuan, kita bantu orang lain yang butuh pertologan: apakah bantuan itu berupa uang, jasa tenaga atau pikiran. Semua itu bisa bermanfaat sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya.


4. al-haram (tua)
Menjadi tua merupakan sunnatullah. Sesuatu yang tak dapat dihindari. Tetapi tua yang dimaksud dalam doa ini ialah agar kita terhidar dari penyakit tua berupa pikun yang akut, kembali bersikap seperti anak-anak, penyakit tak kunjung sembuh dan lain-lain yang sejenisnya. Kalau penyakit tua semacam ini sudah terkena pada diri seseorang, maka hal ini membuat anggota keluarga kita menjadi repot. Walaupun anggota keluarga wajib berbakti kepada orang tua, bukan berarti kita sebagai orang tua tidak perlu mempersiapkan diri. Justru seharusnya kita berhap dan berdoa kepada Allah agar anggota keluarga kita tidak dibuat repot dengan kondisi kita yang menjadi tua. Kita mohon kepada Allah walaupun kita menjadi tua, kita masih bisa beraktifitas, berfikir, bekerja dan beribadah.

5. azab al-qabr (siksa kubur) 

Siapa pun tak ada yang menginginkan siksa kubur termasuk orang-orang yang durhaka sekalipun. Siksa kubur merupakan peristiwa yang benar akan terjadi dan dirasakan bagi orang-orang yang durhaka kepada Tuhan. Rasulullah mengajarkan kepada kita agar terhindar dari siksa kubur. Dahsyatnya siksa kubur tak terbayangkan oleh kita. Karena itu, janganlah kita lalai dalam hidup ini. Sekecil apapun amal tidak boleh kita anggap enteng. Yang terpenting dalam hidup ini adalah istiqamah (konsisten/teguh pendirian) dan mulazamah (terus-menerus) tanpa bosan beramal sekalipun amal kita kecil dalam pandang orang lain seperti memindahkan duri atau batu kerikil dari jalan. 

Semoga Allah SWT senantiasa mengabulkan segala permohonan kita terutama doa yang kita panjatkan berupa perindungan dari penyakit lemah, malas, kikir, tua, dan siksa kubur.

Sumber Gambar Ilustrasi:
http://infoyunik.com
Share:

Mengundang Allah


Pada suatu hari, beberapa orang dari Bani Israil datang menemui Nabi Musa As dan berkata, “wahai Musa, bukankah kau boleh bicara dengan Tuhan? Tolong sampaikan kepada-Nya, kami ingin mengundang Tuhan makan malam.” Nabi Musa marah luar biasa. Ia berkata bahwa Tuhan tidak perlu makan atau minum. Ketika Musa datang ke Gunung Sinai untuk berbicara dengan Tuhan, Tuhan berkata, “Mengapa engkau tidak menyampaikan Kepada-Ku undangan makan malam dari hamba-Ku?” Musa menjawab, “Tapi Tuhanku, Engkau tidak makan. Engkau pasti tidak akan menerima undangan tolol itu.” Tuhan berkata: “Simpan pengetahuanmu antara engkau dan Aku. Katakan kepada mereka, Aku akan datang memenuhi undangan mereka.” 

Turunlah Musa dari Gunung Sinai dan mengumumkan bahwa Tuhan akan datang untuk makan malam bersama Bani Israil. Tentu saja semua orang, termasuk Musa, menyiapkan semua jamuan yang sangat mewah. Ketika mereka sedang sibuk memasak hidangan-hidangan terlezat dan mempersiapkan segalanya, seorang kakek tua muncul tanpa diduga.

Orang itu miskin dan kelaparan. Ia meminta sesuatu untuk dimakan. Para juru masak yang sibuk memasak menolaknya, “Tidak, tidak. Kami sedang menunggu Tuhan. Nanti ketika Tuhan datang, kita makan bersama-sama.” Mengapa kamu tidak ikut membantu. Lebih baik kamu mengambilkan air dari sumur ! 

Mereka tidak memberi apa-apa untuk kakek malang itu. Waktu berlalu, tetapi Tuhan ternyata tidak datang. Musa menjadi sangat malu dan tidak tahu harus berkata apa kepada para pengikutnya. 

Keesokan harinya, Musa pergi ke Gunung Sinai dan berkata, “Tuhan, apa yang Kau lakukan kepadaku? Aku berusaha meyakinkan setiap orang bahwa Kau ada. Kau katakan akan datang ke jamuan kami, tapi kau ternyata tidak muncul. Sekarang tidak ada yanag akan mempercayai aku lagi !”

Tuhan menjawab, “Aku datang. Jika saja kau memberi makan kepada hamba-Ku yang miskin, kau telah memberi makan Kepada-Ku.” Tuhan berkata, “Aku, yang tidak boleh dimasukkan ke seluruh semesta, boleh dimasukkan ke dalam hati hamba-Ku yang beriman.”

Ketika kita berkhidmat kepada hamba Tuhan, kita telah berkhidmat kepada-Nya. Ketika kita mengabdi kepada makhluk, sesungguhnya kita juga mengabdi kepada Sang Khalik. 

Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa semua makhluk Tuhan harus kita layani dengan sebaik mungkin apapun rupanya dan siapapun orangnya, semua harus mendapat perlakuan yang sama. 

Sumber Gambar Ilustrasi:

http://akuislam.id
Share:

Tuesday, December 26, 2017

Kisah Thalut dan Tentaranya


Allah SWT menceritakan kisah Thalut dan bala tentaranya di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 249 : ”Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku”. Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya”. Orang-orang yang meyakini akan bertemu Allah berkata:”Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Kisah ini menggugah kita bahwa tidak ada suatu perjuangan tanpa adanya ujian. Ujian sebagai bunga rampai kehidupan harus dijalani setiap insan yang ingin sukses. Kesuksesan bukan suatu pemberian Tuhan begitu saja bagai mendapat durian runtuh. Kesuksesan harus diperjuangkan dengan darah dan air mata. Demikian juga dengan kisah Thalut dan bala tentaranya. Allah menguji mereka dengan kesenangan dunia yang dilambangkan dengan sungai sebagai sumber kehidupan. Kita boleh menikmati sumber kehidupan tetapi tidak boleh berlebihan. Sebab, bila kita terlalu banyak menikmati air sungai kehidupan dunia fana ini, maka perjuangan untuk mereguk air sungai kehidupan abadi tak akan pernah kita nikmati nanti. 


Sebagian besar tentara Thalut tidak lulus dalam menghadapi ujian Tuhan. Mereka lebih senang menikmati kehidupan fatamorgana. Akhirnya perjuangan mereka melawan Jalut dan bala tentaranya tidak mampu lagi dilanjutkan. Hanya sebagian kecil saja yang masih disiplin mematuhi Thalut dan mampu lulus menghadapi ujian Tuhan. Mereka yakin walaupun secara kuantitatif jumlah mereka sedikit, tetapi dengan kualitas keimanan mereka kepada Tuhan dapat meruntuhkan kekuasaan Jalut dan tentaranya.

Memang fakta dan realitas kehidupan, banyak umat manusia seperti sebagian besar tentara Thalut yang telah terlena oleh kenikmatan dunia sesaat. Hanya sebagian kecil saja di antara kita yang masih yakin dan iman pada kekuatan Tuhan. Padahal fakta historis selalu memberikan pelajaran berharga pada kita bahwa kelompok yang sedikit sering kali menang dalam pertempuran di medan perang dan sukses dalam perjuangan hidup melawan hawa nafsu. Kunci sukses mereka adalah iman. Iman menjadi sumber energi besar yang mendorong mereka untuk selalu menang karena yakin akan selalu datang pertolongan Tuhan. 

Sumber Gambar Ilustrasi:

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiw6XYDwKbNyh8qJvJQP3FDexeEg9UE5jQ8WOEVR2znxbBNnWPOgU1N3Cz8sMyXhSSboCHOw9eutWW7dof0A_2pqjxC4gfYCuJsjpLFMZUy50Bn6-86FavkWFxlM0YEkUENW8fZnTF4swMh/s1600/perang.jpg
Share:

KH. Maimoen Zubair, Sarang Rembang


Nama beliau adalah KH. MAIMOEN ZUBAIR, biasa dipanggil MBAH MOEN oleh santri-santri-nya. Beliau lahir di daerah Sarang Kabupaten Rembang – Jawa Tengah, pada tanggal 28 Oktober 1928 Masehi*.

Beliau adalah putra pertama dari KH. ZUBAIR DAHLAN, seorang ulama alim yang juga merupakan murid dari Ulama besar dari Kota Makkah yaitu Syaikh Saíd al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makky.

Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.

Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri.

Pendidikan

Sejak kecil, Beliau mendapat gemblengan langsung dari ayahandanya sendiri dengan berbagai ilmu agama seperti Nahwu, Shorof, Fiqih, Balaghoh, serta ilmu-ilmu agama yang lain. Dengan didikan ayahandanya secara langsung itulah yang menjadikan Beliau tumbuh menjadi seorang yang alim di usianya yang masih remaja, Bahkan beliau sudah hafal beberapa kitab diantaranya kitab Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, dan lain-lain.

Menginjak remaja Beliau kemudian melanjutkan pendidikan agamanya ke pondok pesantren Lirboyo Kediri yang pada saat itu diasuh oleh KH. Mahrus Aly dan KH. Marzuky.

Ketika menginjak usia 21 tahun, Kyai Maimoen bersama Kyai Ahmad bin Syuaib dan putra-putranya berangkat ke Makkah Almukarromah dengan biaya ditanggung oleh Kyai Ahmad bin Syuaib. Di sanalah Beliau dan KH. Abdur Rohim bin Ahmad tinggal dan belajar di bawah bimbingan para ulama Haramain. Selama kurang lebih 2 tahun berkutat dengan ilmu-ilmu agama didalam bimbingan Sayyid Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al-Fadani dan masih banyak lagi.

Sekembalinya dari Tanah suci, beliau dengan semangat masih menimba ilmu dan memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada ulama-ulama besar tanah air seperti seperti KH. Baidlowi Lasem (mertua beliau), KH. Ma’shum Lasem, KH. Ali Ma’shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas, Buntet Cirebon, Sayikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abul Fadhol, Senori.

Dekat dengan Tokoh Nasional

Mbah Maimoen dikenal sebagai seorang ulama yang dekat dengan tokoh-tokoh nasional seperti Bapak Prabowo, Amin Ra’is, Hamzah Haz, Susilo Bambang Yudoyono, Joko Widodo, serta tokoh nasional lainnya. Namun itu tidak menjadikannya seseorang yang mengharapkan jabatan maupun materi duniawi. Banyak dari mereka yang sowan ke kediaman beliau baik sebelum menjadi presiden maupun setelah menjadi presiden. Seperti Bapak SBY misalnya pernah sowan di kediaman beliau ketika menjabat sebagai presiden, atau Bapak Jokowi yang pernah sowan setika akan mencalonkan diri sebagai presiden.

Beliau juga pernah menjadi anggota DPRD kabupaten Rembang selama 7 tahun. Setelah berakhir masa tugasnya, beliau mulai berkonsentrasi mengurus pondoknya yang saat itu baru berdiri selama sekitar 7 atau 8 tahun. Tapi rupanya tenaga dan pikiran beliau masih dibutuhkan oleh negara sehingga beliau diangkat menjadi anggota MPR RI utusan Jateng selama tiga periode. 

Berkhidmat pada Agama

Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada di sisi kediaman beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.

Dari sinilah Pondok Pesantren Al Anwar mulai membuka kesempatan bagi para calon santri dari seluruh kepulauan di Nusantara untuk menimba ilmu langsung dengan beliau. Hingga kini telah ribuan santri yang lulus. Diantara mereka telah ada yang menjadi tokoh-tokoh besar di berbagai sektor di negeri ini.

Kemudian sekitar tahun 2008 beliau kembali mengibarkan sayapnya dengan mendirikan Pondok Pesantren Al-Anwar 2 di Gondan Sarang Rembang, yang kemudian oleh beliau dipasrahkan kepada putranya KH. Ubab Maimoen.

Istri dan Putra-putri Mbah Maimoen

KH. Maimoen Zubair mempunyai 2 istri, yang pertama yaitu Hj. Fahimah putri KH. Baidhowi Lasem, dari sini beliau dikaruniai 7 anak, empat diantaranya meninggal pada waktu masih kecil. Sedangkan 3 yang lainnya yaitu :
  1. KH Abdullah Ubab
  2. KH Muhammad Najih
  3. Neng Shobihah
Setelah istri pertama meninggal beliau memutuskan untuk menikah lagi, kali ini beliau memperistri Nyai Masthi'ah Putri KH. Idris asal cepu Blora. Dan dari sini beliau dikaruniai 6 anak putra, dan 2 anak putri.

Berikut putra-putri Beliau dari Ibu Masthi`ah :
  1. KH Majid Kamil
  2. Gus Ghofur
  3. Gus Ro'uf
  4. Gus Wafi
  5. Gus Yasin
  6. Gus Idror
  7. Neng Shobihah (meninggal)
  8. Neng Rodhiyah
Demikian sedikit coretan Biografi KH. Maimoen Zubair Pengasuh Pondok Pesantren AL ANWAR Karangmsangu – Sarang – Rembang – Jawa Tengah.

Catatan:
Tanggal lahir beliau yang banyak diyakini mayoritas orang adalah tanggal 28 Oktober 1928. Tapi Beliau pernah ngendikan (Ind : berkata) bahwa tanggal 28 Oktober 1928 itu sebenarnya hanyalah perkiraan saja. Dan Beliau (dengan yakin) juga pernah ngendikan bahwa Beliau lahir hari kamis legi bulan sya’ban

Karena penasaran saya pun mencoba menkonversi dengan menggunakan metode ilmu falaq ke penanggalan hirjiyyah dan ternyata benar hasilnya tidak bertepatan dengan bulan sya’ban justru ketemu di tanggal 26 Jumadal ula 1347 H.

Menurut riset yang pernah dilakukan oleh Ustadz Najib Buchori di situs resminya ppalanwar.com mengatakan bahwa Hari Kamis Legi bulan Rojab Tahun 1347H betepatan dengan tanggal 7 Februari 1929 M. dengan menggunakan metode ilmu Hisab Ephimeris dengan markaz atau epoch Sarang yaitu: 6' 44' LS dan 111' 36', serta batas minimal imakanur ru'yah 2'.
Jadi kesimpulan yang in sya'Allah lebih mendekati kebenaran adalah beliau lahir pada hari Kamis Legi, 7 februari 1929 M. bertepatan dengan 27 Sya'ban 1347 H. Semoga bermanfaat

Daftar Pustaka:

Source:
http://kholil-putratunggal.blogspot.co.id/2016/12/biografi-kh-maimoen-zubair-sarang.html 
Share:

Friday, December 22, 2017

Membeli Surga


Imam Ali bin Abi Thalib, tidak seperti biasanya, hari itu ia pulang lebih awal menjelang sholat ashar. Fatimah putri Rasulullah menyambut kedatangan suaminya yang sehari penuh mencari karunia Allah dengan penuh harapan siapa tahu Ali membawa uang yang banyak untuk keperluan di rumah yang makin besar. Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada Fatimah :”Maaf sayangku, hari ini aku tidak membawa uang sedikitpun”. Fatimah menyahut sambil tersenyum, “Memang yang mengatur rizki tidak duduk di pasar, bukan ? Yang memiliki kuasa itu Allah SWT. “Terima kasih,” jawab Ali. Matanya memberat lantaran istrinya begitu tawakal. Padahal keperluan dapur sudah habis sama sekali. Walaupun begitu Fatimah tidak menunjukkan sikap kecewa atau sedih.

Ali lalu berangkat ke masjid menjalankan sholat berjamaah. Sepulang dari sholat, di jalan ia diberhentikan seorang tua. “Maaf anak muda, betulkah engkau Ali anaknya Abi Thalib ?” “Ya betul. Ada apa, Tuan?” jawab Ali setengah heran. Orang tua itu berkata : “Dahulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit, Aku belum sempat membayar upahnya, ayahmu sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya.” Dengan gembira Ali mengambil haknya dari orang itu sebanyak 30 dinar.

Tentu saja Farimah sangat senang memperoleh rizki yang tidak disangka-sangka ketika Ali menceritakan kejadian itu. Dan ia menyuruh membelanjakan semua agar tidak pusing-pusing lagi merisaukan keperluan sehari-hari.

Ali pun bergegas berangkat ke pasar. Sebelum masuk ke dalam pasar, ia melihat seorang fakir menadahkan tangan, “Siapakah yang mau menghutangkan hartanya karena Allah, bersedekahlah Kepada saya, seorang musafir kehabisan bekal perjalanan.” Tanpa berpikir panjang, Ali memberikan seluruh uangnya Kepada orang itu.

Pada waktu Ali pulang, Fatimah heran melihat suaminya yang tidak membawa apa-apa. Ali menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya. Fatimah, masih dalam senyum, berkata, “Keputusan kanda adalah yang juga akan saya lakukan seandainya saya yang mengalaminya. Lebih baik kita menghutangkan harta karena Allah daripada bakhil yang dimurkaiNya, dan yang menutup pintu surga untuk kita.

Apa yang dicontohkan oleh Imam Ali dan istrinya, dapat kita katakan, membeli surga dengan amal sedekah.

Sumber Gambar Ilustrasi:

http://www.cahayaislam.id

Share:

Menatap Masa Depan


Allah SWT berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, betakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. Al-Hasyr : 18-19).

Ketika kita mengakhiri tahun dan memasuki tahun baru, selalu kita melakukan mawas diri atau introspeksi. Apa yang sudah kita kerjakan pada tahun lalu dan apa yang akan kita kerjakan pada masa tahun berikutnya.

Hari ini adalah kenyataan, kemarin adalah kenangan, dan hari esok adalah harapan, cita-cita, dan khayalan. Apa yang terjadi hari ini merupakan hasil amal kita pada hari kemarin. Bagaimana hari esok yang cerah itu bisa terwujud? tergantung kerja keras kita pada hari ini.

Orang-orang yang beriman dipanggil oleh Allah SWT untuk selalu menjaga takwanya. Sampai-sampai kalimat takwa itu diulang dua kali. Penekanan pesan ini menunjukkan bahwa jangan sampai kita lupa kepada Allah dalam setiap gerak langkah kehidupan. Setelah pesan ketakwaan, Allah berpesan juga agar kita memperhatikan apa yang sudah kita kerjakan pada hari kemarin untuk perbaikan hari esok yang lebih baik. Masa depan yang lebih indah, bahagia dan selamat, bukan sekedar mengejar kebahagiaan hidup di dunia yang fana ini, tetapi juga mencari dan berusaha mengejar kehidupan yang langgeng abadi yaitu akhirat. Oleh karena itu, sekali lagi Allah mengingatkan pada ayat berikutnya, janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, atau pura-pura lupa kepada Allah. Akhirnya, Allah menghukum orang-orang semacam itu, mereka menjadi lupa beneran kepada diri mereka sendiri. 

Dengan amal dan kerja keras akan tampak hasil buah manfaatnya. Dengan amal akan terlihat mana yang sudah tercapai tujuan dan mana yang belum. Dengan amal ada rasa kepuasan tersendiri bagi diri kita, dan hal ini sangat mempengaruhi kejiwaan kita, sehingga terbebas dari stress yang berkepanjangan. 


Sumber Gambar Ilustrasi:
http://www.jalandakwah.info

Share:

Wednesday, December 20, 2017

Sejarah Al Qur'an (Menguak Sisi Pengumpulan dan Penulisan Al Qur’an) Bagian III


E.  Perbedaan Mushaf Abu Bakar dengan Mushaf Usman

Jika diperbandingkan, nampak beberapa perbedaan antara Mushaf Abu Bakar dengan Mushaf Usman berkaitan dengan motif dan cara pengumpulannya. Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Al Qur’an karena banyak para Huffaz dan Qori yang gugur dalam peperangan. Sedangkan motif Usman ialah karenabanyaknya perbedaandalamm cara-cara membaca Al Qur’an di daerah yang menimbulkansaling menyalahkan satu sama lain.

Pengumpulan Al Qur’an yang dilakukanAbu Bakar ialah memindahkan semua tulisan atau catatn yang berceceran di aneka media ke dalam satu bundel mushaf, dengan ayat-ayat dan surat-suratnya yang tersusuan serta terbatas pada bacaan yang tidak dimansukh, mencakuptujuh huruf (dialek) persis ketika Al Qur’an diturunkan. Sementara Usman menyalinnya hanya kepada satu huruf untuk mempersatukan kaum muslimin tanpa termasuk enam sisanya.

Penulisan mushaf di masa Abu Bakar bersumberpada hafalan dan tulisan dan tampaknya antara hafalan dan tulisan tidak ada yang diutamakan. Sedangkan dimata Usman, bahasa Arab Quraisy dijadikan standard manakala terjadi ikhtiar dalam bacaan Al Qur’an.

Penyusunan mushaf dimasa Abu Bakar dilakukan  oleh zaid ibn Sabit, dengan demikian penyusunan dilakukan secara perorangan, sedangkan mushaf Usman disusun oleh panitia empat : (a)Zaid ibn Sabit, (b) Sa’d ibn Abi Waqqas, (c) Abdullah ibn Zuber, dan (d) Abdulal-Rahman ibn Haris ibn Hisyam. Oleh karena itu pada masa ini penyempurnaan AlQur’an dilakukan secara berkelompok.

Perbedaan mushaf Abu Bakar dengan mushaf Usmanmenunjukkan peran dua tokoh ini dalammemelihara Al Qur’an. Abu Bakar telah berhasilmenyatukan catatan Al Qur’an yang berserakan dan dipadukan denganhafalanpara penghafal Al Qur’an. Di samping itu, ia telah melakukan penertiban urutan ayat Al Qur’an. Di samping itu, ia telah melakukan penertiban urutan ayat Al Qur’an. Sedangkan Usman berhasil menjadikan mushaf yang disusun di masa Abu Bakar sebagai mushaf resmi, terutama setelah mushaf lainnya di hancurkan. Di samping itu, ia juga berperan dalam menentukan surat-surat dalam Al Qur’an.


 F. Penutup

Sejarah pengkodifikasian Al Qur’an telah membuktikan bahwa sehebat apapun kritikan dan tuduhanyang dilontarkan pihak-pihak yangmeragukankeabsahan AlQur’an, ternyata mereka hingga dewasa ini belum juga mampumendatanngkanbukti-bukti akurat yang meragukankeaslian wahyuAllah yang satu ini. Apapun tudingan terhadap Nabi, Abu Bakar, dan sahabat lainnya tidak akan mengurangi keharuman nama mereka dalam sejarah percaturan umat islam.

Al-Zarkasy di dalam al-burhan fi Ulum al-Qur’an (1:297) menyatakan bahwasebagianorang mempungai pengetahuanyangkeliru mengenai sejarah Al Qur’an. Menurut mereka, Usman adalah orang yang pertama menyusun Al Qur’an. Padahal, tegas Al-Zakarsy, orang yang pertama yang menyusun dan mengumpilkan Al Qur’an adalah Abu Bakar.

Inilah buah yang dapat dipetik darisejarah AlQur’an,dasar perjuangan membentuk negara dan umat baru yang sangat kuat dan kukuh, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Joseph  Marzini : ”perubahan-perubahan besar yang sejati hanyalah akan tercapai dengan  kekuatankeyakinan yang kukuh dan suci belaka. Mudah-mudahan Al Qur’an menjadi pedoman pula bagi kita rakyat Indonesia yang sedang memperjuangkan hak keadilan dan kemerdekaan kita, yang setiapdetik sedia turut melaksanakan perdamaian duniayang jujur abadi.

Catatan Akhir :
  1. Abu Bakar Aceh. Sejarah Al Qur’an. Solo. CV. Ramadhani. Tahun 1989. Cet. 6. Hlm. 16.
  2. Muhammad Amin wa Akharun. Al-Tafsir wa ’ulumuhu. Jakarta ; Al-Idara Al Itmah LiRi’ayati Al-Muassasat Al Islamiyah Li Wazarah Al-Syu’un Al-Diniyah Al-Indunusiyah, 1412H/1991M,Cet 1,hlm.97.
  3. Jlala Al-Din Al-Sayuti, Al-Itqan Fi ’Ulum Al-Qur’an, Beirut, Maktabah Al Asriah, tahun 1987, jilid I, hlm. 163.
  4. Dikutip dari Kitab Shahih Bukhari oleh Subki Al Salih, lihat Subki Al Salih, Mabisfi ’Ulm Al-Qur’an, Beirut, Dar al-ilm lil al-Malayin, tahun 1977, hlm.65-66.
  5. Ibid,hlm.68.
  6. Manna Khalil Al_Qttan, Mahabis fi Ulum Al-Qur’an, Beirut, Muassasah Al-Risalah, tahun 1973, cet 2,hlm.118-110.
  7. Ibid.
  8. Abdullah Al-Zarkasy, Al-Burhan fi ’ulum Al Qur’an, Beirut, Dar Al Fikr, tahun 1998, Jilid I hlm.291.
  9. Jalal Al-Din Al-Suyuti, Op. Cit, hlm.59-61.
  10. Muhammad Abdul Azim Al-Razzaq, Manahil Al-Irfan fi ‘ulum Al Qur’an, Cairo, Isa Al-Babr Al-Halabi war Syirkahu,tt. Jilid, hlm.250-251
  11. Sejak sampai di tangan Hafsah tidak ada keterangan qarinah yang menyebutkan adanya naskah Qur’an selain yang satu ini.
  12. W. Montgomery Watt, Islamic Survey, Bell’s Introductionto the Qur’an, Edinburgh University Press, tahun 1970,hlm.41.
  13. M. Quraisy Syihab, Mukjizat Al Qur’an, Bandung, Mizan, tahun 1977, cet. I. hlm. 25-26.
  14. Abdul ShaburSahin, Tarikh Al-Qur’an, Cairo, Dar Al Qur’an, 1977, hlm.111-115. lihat pula Jlal Al-Din Al-Syuyuti, op.cit,hlm. 165. bandingkan dengan W. Montgomery Watt,op.cit,hlm. 51-55
  15. Disamping dialek Quraisy, ada beberapa dialeklagi yangberkembang saat itu, diantaranya dialekDamaskus yang diterima dari Miqdad ibn Al-Aswad, Dialek Kuffah yang diterima dari Abdullahibn Mas’ud, dialek Basrah yang diterima dari Abu Musa Al Asy’ari, dialek Syam yang diterima dari Ubai ibn Ka’b, dan dialek lainnya. Keterangan lebih lanjut bias diteliti di Ahmad Adil Kamal, Ulm Al-Qur’an, Cairo, Al-Mukhtar Al-Islami, tt. Hlm. 37. Lihat pulaMuhammad Ali Al Sabuni, Al Tibyan di Ulum Al-Qur’an, Beirut, Muassasah Manahil Al Irfan, tt. Hlm.45, atau Labib Al-Said Al Jam Al Shauty Al Awwal lil Al Qur’an Al Karim Au Al Murattal Al Mushaf Bawaisuhu wa Mukhattatuhu, Dar AlKatib Al Arabi, Cairo,tt.
  16. Tim Puslitbang Lektur Agama, Pedoman Pentashihan mushaf Al Qur’an, Jakarta, Departemen Agama RI, 1876,hlm.15-16. untuk keterangan lebih rinci ada di Muhammad Abdal Azim Al-Zarqani, Manahil Al Irfan fi Ulum Al Qur’an, Beirut, Dar al Ihya al-Kutub al-Arabiah,tt,ct. 1, hlm.247, atau dapat di pula dibandingkan dengan Manna KHalil Al-Qattan,op.cit,hlm.124-130.
  17. Abdul Mun’im al-Namr. Ulum Al Qur’an Al-Karim, Cairo, Dar al-Kitab al-Misri, tahun.1983,ce.2, hlm. 162.
  18. Manna Khalil Al-Qattan,op.cit,hlm. 132-133.

Sumber Gambar Ilustrasi:
http://ukhuwahislamiah.com


Share:

Sejarah Al Qur'an (Menguak Sisi Pengumpulan dan Penulisan Al Qur’an) Bagian II


C.  Pengumpulan Al-Qur'an Pada Masa Abu Bakar

Abu Bakar naik ke tampuk pimpinan kekhalifahan sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu Ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun kedua belas Hijriah melibatkan sejumlah besar Sahabat yang hafal Al Qur’an. Dalam peperangan ini tujuh puluh Qorri dari para sahabat gugur. Umar bin Khattab merasa sempat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab perang Yamamah telah banyak membunuh para Qorri.

Pada mulanya Abu Bakar agak ragumelaksanakan tugas tersebut karena ia tidak menerima otoritas dari Nabi, disamping khawatir pekerjaanya jatuh kepad bid’ah. Setelah berdiskusi panjang, Abu Bakar setuju karena pertimbangan mashlahat. Ia kemudian memilih Zaid Ibn Sabit yang pernah memimpin komisi pengumpulan Al Qur’an di zaman Nabi. Abu Bakar memilih Zaid karena pemuda ini dikenal sangat cerdas, sangat wara’, memegang teguh amanah, akhlaknya sempurna, dan agamanya lurus. Semula Zaid keberatan, bahkan ia menyatakan sekiranya dibebani untuk memikul gunung pun tugas mengumpulkan Al Qur’an ini terasa lebih berat. Namun akhirnya Zaid menerima permintaan Abu Bakar.

Zaib bin Sabit memulai tugasnya yang berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati Qurra dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran (naskah) itu disimpan di tangan Abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun tiga belas hijriyah manuscript itu berpindah ke tangan Umar dan tetap berada ditangannya hingga ia wafat. Kemudian naskah itu berpindah ke tangan hafsah, putri Umar. Pada permulaan kekhalifahan Usman, ia memintanya dari tanga hafsah.

W.Montgomery Watt dalam edisi revisi karya Richard Bell, Introduction to the Al Qur’an, meragukan sisi kemurnian manuscript Al Qur’an yang diterima Usman dari Hafsah, karena hamper merupakan suatu hal yang mustahil bila naskah itu jatuh ke tangan putri khalifah jika naskah yang digarap Zaid Ibn Sabit merupakan kumpulan resmi. Memang Hafsah adalah putrid Umar, dan Watt tampak berasumsi bahwa karena umar menjadi khalifah segera setelah Zaid bib Sabit menyelesaikan tugasnya, maka naskah diberikan kepada Umar, dan selanjutnya pindah ke tangan putrinya. Dalam karyanya, Richard Bell tidak pernah menyinggung bahwa naskah-naskah Al Qur’an yang dikodifikasi oleh Zaid Ibn Sabit disimpan oleh Abu Bakar, melainkan langsung diserahkan ke tangan Umar.

Ketika Al Qur’an di kumpulkan di masa Abu Baka, mulailah timbul kritikan di san-sini, seperti tentang dugaantentang dimasukkannya beberapabagian Al Qur’an karena ”pernah lupa”nya Rasulullah berdasarkan riwayat Aisyah. Kritikan senada,agaknya dari kalangan syi’ah yang selalu memandang bahwa Al Qur’an telah disunat dengan memupus beberapa bagian yang merujuk kepada keluarga Ali dan keluarga Nabi. Belum lagi kritikan-kritikan yang dilontarkan para orientalis dan musuh-musuh islam. Namun demikian pakar-pakar islam tetap mempertimbangkan kritikan-kritikan tersebut dan menelusuri letak kevaliditasannya ataukah memang mengada-ngada.

Berkaitan dengan hal diatas, menarik untuk kita bahas sekilas pertanyaan sebagian ilmuwan tentang apakah Nabi Muhammad bisa membaca dan menulis. Bagi kaum muslimin memang hampir merupakn dogma bahwa Muhammad tidak bisa membaca dan menulis. Hal ini secara tidak langsung mempertinggi kemukjizatan Al Qur’an bahwa ia telah disampaikan oleh orang yang sama sekali buta huruf. Sekaligus memperkecil dugaan bahwa Al Qur’an itu hasil rekayasa (tulisan) Muhammad. Namun jika kita telusuri makna-makna yang terkandung dalam QS.3 :20, QS 62 : 2, QS 2 : 175dan 158 tidak ada argumen apapun disini yang menyatakan bahwa Nabi sama sekali buta huruf, tetapi ayat-ayat ini setidaknya mengacu kepada ketidaktahuannya terhadap kitab-kitab suci orang Yahudi dan Kristen. Dalam beberapaversi kisah penandatanganan perjanjian AlHudaibiyah pada 620,dikatakan bahwa Muhammad telah menulisdengan tangannya sendiri.

Tatkala tidak ada bukti otentik yang meyakinkan bahwa Nabi bisa menulis,dan juga bukan merupakan suatu hal yang mustahil bahwa ia dapat menulis. Muhammad bisa saja telah mempelajari seni tulis menulis di Mekkah. Karena pada masa muda, ia merupakan seorang pemimpin niaga untuk Khadijah dan atas namanya sendiri. Tentunya Muhammad perlu membuat catatan-catatan transaksinya. Jadi secara keseluruhan, tampaknya sangat mungkin bkalaun Nabi membaca dan menulis seperti rata-rata pedagang Mekkah. Kalau hal ini terjadi mengapa Nabi tidak langsung saja menulis bagian-bagian ayat Al Qur’an yang turun kepadanya ketika tidak seorang sahabatpun berdada di hadapannya, hal inilah yang hingga saat ini menjadi problema yang masih misterius. Padahal kalu hal-hal seperti ini beliau lakukan lebih lagi kalau selluruh Al Qur’an beliau tulis sendiri atau paling tidak beliau dapat memeriksa hasil tulisann sahabat terhadap Al Qur’an tanpa harus mendengar bacaan dan hafalan mereka. Kecil sekali kemungkinan Al Qur’an yang sekarang itu masih ada secuil orang yang mempertanyakan keotentikannya.


 D. Pengumpilan Al Qur’an Pada Masa Usman

Seiring dengan bertambah luasnya penyebaran islam dan para Qurra pun tersebar diberbagai wilayah yang penduduk dimasing-masing wilayah itu mempelajari Qiraat yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan ini memicu pertengkaran yang menjurus, disebahagian kalangan bahkan saling kafir-mengkafirkan. Hal ini dikarenakan masing-masing kelompok merasa memiliki cara baca yang paling benar.

Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Irak, diantara orang ikut menyerbu kedu tempat itu ialah Huzaifah bin Al Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al Qur’an yang sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Usman segera bertindak. Ia menunjuk beberapa sahabat pilihan dan ahli hafal Al Qur’an, terdiri dari Zaid ibn Sabit, Abdullah ibn zuber, Said ibn al-Ash dan Abdul Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam (tiga terakhir dari Quraisy) untuk menyalin Al Qur’an. Salinanitumencontoh mushaf Abu Bakar yang dipinjam dari Hafsah. Usai disalin mushaf dikembalikan lagi kepada Hafsah.

Ada dua nasihat yang diberikan Usman saat Al Qur’an akan disalin kembali.
  1. Pengambilan keputusan dalam penulisan Al Qur’an berdasarkan bacaan para Huffaz
  2. Bila ditemukan perbedaan antara mereka tentang bacaan, maka haruslah ditulis menurut dialek Quraisy, sebab Al Qur’an diturunkan menurut dialek mereka.
Setelah salinan naskah baku selesai ditulis, dikirimkan ke setiap daerah terutama yangberdialek beda dengan mushaf imam, lalu Usman memerintahkan untuk membakar  semua bentuk lembaran yang selain mushaf imam, dan Qiraat dengan enam huruf lainnya resmilah ditinggalkan. Keputusan ini tidak salah, sebab Qiraat dengan tujuh huruf itu tidak wajib.

Dengan adanya penyatuan mushaf ini berarti pembukuan Al Qur’an di masa Usman memberi beberapa faedah terutama:

  1. Menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan dan tulisannya.
  2. Menyatukan bacaan, kendatipun masih ada yang berlainan bacaan, tetapi hendaknya bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan mushaf Usman.
  3. Menyatukan tertib susunan surat-surat menurut tertib urutan sebagaimana yang kita saksikan pada Al Qur’an sekarang.
  4. Mushaf tersebut terhindar dari percampuran dengan selain ayat Al Qur’an seperti tulisan beberapa sahabat dalam mushafnya sebagai penjelas terhadap makna atau penjelasan mengenai nasikh dan mansukh, terutama dengan mengabaikan ayat yang dinasakh bacaannya.
  5. Mushaf tersebut memuat ayat-ayat yang diriwayatkan secara mutawatir saja, tidak memuat ayat yang diriwayatkan secara ahad.
Namun walaupun demikian Mushaf Usman masih belum sempurnakarena masih ditulis dengan Tulisan Kufi yang berhuruf gundul, sehingga menimbulkanproblembaca di kalangan non-Arabic Native Speaker. Karena Tulisan Kufi ini tanpa disertai nuktah (tanda baca titik)dan syakal (baris/harakat) yang lazim kita temui dewasa ini, sehingga sepintas lalu bila kita melihat mushaf Usman ini layaknya seperti simbol-simbol gambar yang bisa di baca dengan berbagai versi sesuai dengan kehendak pembaca. Hal ini dapat memberi interprestasi dan makna yang bebeda bahkan bertolak belakang dengan maksud sejarah. Untunglah Khalifah Ali datang dan menjadi problem solver dalam hal ini.

Sumber Gambar Ilustrasi: http://ukhuwahislamiah.com

Share:

Sejarah Al-Qur'an (Menguak Sisi Pengumpulan dan Penulisan Al Qur’an) Bagian I



A.      Pendahuluan
           
       Menoleh ke masa Al Qur’an diturunkan, identik dengan membuka kembali lembar-lembar sejarah pengumpulan dan penulisannya. Karena sejarah itu sendiri merupakan laboratorium ilmu-ilmu sosial, maka sejarah Al Qur’an dapat pula dijadikan laboratorium bagi ilmu sosial dalam memahami islam dan umatnya. Dengan demikian, kajian sejarah Al Qur’an mempunyai arti penting karena dari sejarah itulah dapat difahami variabek-variabelnya sehingga dapat diamati dan dijadikan pelajaran.
     
    Kita  telah sepakat bahwa  Al Qur’an itu diturunkan berangsur-angsur selama 23 tahun sejak pengangkatan Muhammad sebagai Nabi di Mekkah hingga wafatnya di Madinah. Setiap turun Al Qur’an, Nabi SAW menyuruh penulis wahyu menulisnya. Walaupun kebanyakan sahabat menghafalnya. Namun ada sekelumit kontroversi berkenaan dengan ayat pertama dan terakhir diturunkan. Ada empat pendapat ulama yang berbeda mengenai ayat yang pertama turun. Pertama adalah “ Iqra Bismi Robbikal Ladzi Khalaq …..” (QS. Al ‘Alaq: 1-5 ),berdasarkan riwayat Syaikhani dan lain-lain dari Aisyah ra. Kedua “ Yaa Ayyuha Mudatsir…..”, berdasarkan riwayat Syaikhani namun dari Abi Salmah Ibn Abdirahman. Ketiga surat Al Fatihah. Keempat “ Bismillahirrahmanirrohiim “, riwayat dari Al Wahidi. Pendapat pertama di pandang paling akurat. Terhadap pendapat ketiga Ibn Hajar menyatakan kecenderungan kepada pendapat ini minoritas, sedangkan umumnya pendapat kapada “ Iqra “.                                                                                       
      Di kutip  dari  segi  waktu, Al Qur’an  menurut al Hakim dalam Al Mustadrah seperti di kutip oleh Al Suyuti, dikumpulkan sebanyak tiga kali. Pertama di masa Rasul. Kedua, di masa Abu Bakar. Dan ketiga, di masa Utsman bin Affan. Di masa Rasul Al Qur’an dipelihara dengan dua cara: dihafal dan ditulis. Dengan cara pertama lahirlah para penghafal Al Qur’an. Nama-nama para penghafal Al Qur’an di masa Rasul disebutkan dalam tiga riwayat: (a) Menurut hadits riwayat Bukhori dari ‘Amr ibn ‘As, Rasulullah memerintahkan untuk mengambik Al Qur’an kepada enpat orang: Abdullh Ibn Mas’ud, Salim, Mu’az dan Ubai ibn Ka’ab. (b) Menurut Anas Ibn Malik, para penghafal Al Qur’an adalah empat orang : Ubai ibn Ka’b, Mu’az ibn Jabal, Zaid ibn Sabit dan Abu Zaid. (c) Menurut riwayat Sabit dan Anas, para penghafal Al Qur’an adalah Abu al-Darba, Mu’az ibn Jabal, Zaid ibn Sabit, dan Abu Zaid.
     
      Walaupun  tiga  riwayat diatas menyebutkan nama-nama para penghafal Al Qur’an, namun penghafal Al Qur’an yang mashur dari akangan sahabat berjumlah tujuh orang : Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubai ibn Ka’ab, Zaid Ibn Sabit, Abdullah ibn Mas’ud, Abu Darba, Abu Musa Al Asy’ari. Ibn Abbas mengambil hafalan kepada Ubai ibn Ka’ab dan Zaid ibn Sabit. Abu Hurairah dan Abdullah ibn Saib mengambil hafalan Ubai ibn La’ab saja. Selain dengan cara menghafal, Al Qur’an dilestarikan dengan cara ditulis. Banyak diantara sahabat memelihara Al Qur’an dengan caa menulias pada pelepah kurma dan benda-benda lainnya. Sebelum dibukukan di masa Abu Bakar, Al Qur’an telah dicatat oleh beberapa sahabat dalam bentuk catatan tidak resmi. Catatan tidak remi dimaksud adlah bahwa Al Qur’an ditulis pada pelepah kurma, daun, batu, dan lainnya bukan untuk disebarkan kepada yang lain, tetapi hanya untuk dirinya sendiri.
           
              Pengumpulan  Al Qur’an  yang  kedua  dan  ketiga  secara  lebih  ekstensif.  Masa  Abu  Bakar  dapat di ketahui sebagai masa penyatuan mushaf. Oleh karena itu, upaya pengumpulan naskah Al Qur’an sangat menonjol. Sedangkan masa Utsman ibn Affan dapat di ketahui sebagai masa penyempurnaandan penggandaan.
           
            Dari  pendahuluan  ini  dapat  diketahui  bagaimana Al Qur’an  dikumpulkan  dan  dipelihara. Hal  ini penting untk di fahami, karena pemicu perselisihan pendapat telah terjadi di masa ini. Dari sini akan di mulai upaya penelusuran factor-faktor yang mendorong Abu Bakar dan Utsman membukukan dan menggandakan Al Qur’an, kendala-kendala yang di hadapinya dan cara-cara penyelesaian kendala-kendala tersebut sehingga nantinya akan terjawab apakah Al Qur’an yang kita lihat sekarang ini memang benar-benar Al Qur’an seperti apa yang diwahyukan oleh Allah kepada Rasul Nya atau telah terjadi perubahan yang pada akhirnya akan mempengaruhi terhadap sisi-sisi keotentikan Al Qur’an itu sendiri walaupun pada hakikatnya Tuhan sendiri telah menjamin kemurnian dan keabsahan wahyuNya itu ( QS.15:39 )


B.       Pengumpulan Al Qur’an pada masa Nabi
      
Yang dimaksud dengan  pengumpulan Al Qur’an oleh para Ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut:

Pertama :
Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dengan hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-nabi senatiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Al Qur’an ketika Al Qur’an itu turun kepadanya sebelum jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalkannya:”Janganlah kamu kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya, sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai ) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, atas tanggungan kami lah penjelasannya” (QS.75:16-19)

Kedua :
Pengumpulan dalam arti Kitabatuhu Kullihi (Penulisan Al Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran terkumpul yang menghimpun semua surah sebagaimana ditulis sesudah bagian yang lain.

Rasulullah adalah penghafal Al Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafaldalam dada dan ditempatkan dalam hati.sebab bangsa arab secara kodrati mempunyai daya hafal yang kuat. Hal itu karena umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair, dan silsilah mereka, dilakukan dengan catatan di hati mereka. Berbeda  halnya dengan penulisan Al Qur’an. Rasulullah ternyata mengangkat para penulis wahyu dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali,Muawiyah,Ubai ibn Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, mereka menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah. Para sahabat memikul kesulitan yang sangat besar dalam menuliskan Al Qir’an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana yang sangat sederhana seperti lempengan batu, daun lontar, pelana, tulang belakang binatang dan sebagainya. Hal ini sempat menjadi keragu-raguan kalangan sarjana kontemporer atas keorisinilan penulisan Al Qur’an. Disamping bangsa Arab kala itu memang lebih identik dengan bangsa penghafal ketimbang bangsa penulis ditambah lagi sarana-sarana yang mendukung penulisan sangat ketinggalan dibandingkan bangsa-bangsa lain pada masanya.

Tulisan-tulisan Al Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki olaeh yang lain. Dan Rasulullah berpulang ka Rahmatullah di saat Al Qur’an yang dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan ayat-ayat dan surah-surah yang terpisah-pisah. Di samping pula Al Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Disamping itu, terkadang terdapat ayat yang me-nasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya. Andai kata (pada masa Nabi) Al Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan diantara dua sampul (dalam satu mushaf – pen), hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi. Hal ini untuk menjawab pertanyaan mengapa Al Qur’an tidak diturunkan saja dalam satu mushaf pada masa Nabi agar otentisitasnya lebih terjamin? Az Zarkasy menambahkan dalan Al Burhan “Al Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu (seperti ketika adanya nasikh). Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah wafatnya Rasulullah.

Ketika Rasulullah masih hidup beliau sebagai sumber sejuta pengaduan, dapat dipastikan tidak adanya problem Al Qur’an dizaman beliau masih hidup. Jika pun ada, beliau sendiri yang menuntaskannya, lagian masyrakat Arab-Muslim di lingkungan beliau yang masih sederhana cara berfikirnya lebih suka langsung mempraktekkan pesa-pesa AL Qur’an yang diisyaratkan Rasulullah dari pada memfilosofikannya (bahkan termasuk mempertanyakan teknis pengumpulan atau system penulisannya, sama sekali tak terbayang di pikiran mereka). Persoalan terjadi belakangan, sepeninggal Rasulullah, Karena perubahan berbagai situasi, hal ini juga menuntut terjadinya corak-corak pengumpulan Al qur’an untuk memenuhi standart kebutuhan tersebut.

Sumber gambar ilustrasi:
http://ukhuwahislamiah.com
Share:

Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, Pekalongan


Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (lahir di Kota Pekalongan10 November 1947; umur 70 tahun, tanggal lahirnya bertepatan dengan 27 Rajab 1367 H) adalah pendakwah (syekh) kelahiran Kota Pekalongan berkebangsaan Indonesia. Selain menjadi pendakwah, Habib Luthfi juga menjadi ketua MUI Jawa Tengah.

Nasab Jalur Ibu
Dilahirkan dari seorang syarifah, yang memiliki nama dan nasab: sayidah al Karimah as Syarifah Nur binti Sayid Muhsin bin Sayid Salim bin Sayid al Imam Shalih bin Sayid Muhsin bin Sayid Hasan bin Sayid Imam ‘Alawi bin Sayid al Imam Muhammad bin al Imam ‘Alawi bin Imam al Kabir Sayid Abdullah bin Imam Salim bin Imam Muhammad bin Sayid Sahal bin Imam Abd Rahman Maula Dawileh bin Imam ‘Ali bin Imam ‘Alawi bin Sayidina Imam al Faqih al Muqadam bin ‘Ali Bâ Alawi.

Nasab Jalur Ayah
·         Nabi Muhammad SAW
·         Sayidatina Fathimah az-Zahra + Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
·         Imam Husein ash-Sibth
·         Imam Ali Zainal Abiddin
·         Imam Muhammad al-Baqir
·         Imam Ja’far Shadiq
·         Imam Ali al-Uraidhi
·         Imam Muhammad an-Naqib
·         Imam Isa an-Naqib ar-Rumi
·         Imam Ahmad Al-Muhajir
·         Imam Ubaidullah
·         Imam Alwy Ba’Alawy
·         Imam Muhammad
·         Imam Alwy
·         Imam Ali Khali Qasam
·         Imam Muhammad Shahib Marbath
·         Imam Ali
·         Imam Al-Faqih al-Muqaddam Muhammd Ba’Alawy
·         Imam Alwy al-Ghuyyur
·         Imam Ali Maula Darrak
·         Imam Muhammad Maulad Dawileh
·         Imam Alwy an-Nasiq
·         Al-Habib Ali
·         Al-Habib Alwy
·         Al-Habib Hasan
·         Al-Imam Yahya Ba’Alawy
·         Al-Habib Ahmad
·         Al-Habib Syekh
·         Al-Habib Muhammad
·         Al-Habib Thoha
·         Al-Habib Muhammad al-Qodhi
·         Al-Habib Thoha
·         Al-Habib Hasan
·         Al-Habib Thoha
·         Al-Habib Umar
·         Al-Habib Hasyim
·         Al-Habib Ali
·         Al-Habib Muhammad Luthfi

Masa Pendidikan
Pendidikan pertama Maulana Habib Luthfi diterima dari ayah al Habib al Hafidz ‘Ali al Ghalib. Selanjutnya ia belajar di Madrasah Salafiah. Guru-gurunya di Madrasah itu di antaranya:
·         Al Alim al ‘Alamah Sayid Ahmad bin ‘Ali bin Al Alamah al Qutb As Sayid ‘Ahmad bin Abdullah bin Thalib al Athas
·         Sayid al Habib al ‘Alim Husain bin Sayid Hasyim bin Sayid Umar bin Sayid Thaha bin Yahya (pamannya sendiri)
·         Sayid al ‘Alim Abu Bakar bin Abdullah bin ‘Alawi bin Abdullah bin Muhammad al ‘Athas Bâ ‘Alawi
·         Sayid ‘Al Alim Muhammad bin Husain bin Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
Muhammad Luthfi bin Yahya belajar di madrasah tersebut selama tiga tahun.

Perjalanan Ilmiah
Selanjutnya pada tahun 1959 M, ia melanjutkan studinya ke pondok pesantren Benda Kerep, Cirebon. Kemudian Indramayu, Purwokerto dan Tegal. Setelah itu melanjutkan ke Mekah, Madinah dan di negara-negara lainnya. Ia menerima ilmu syari’ah, thariqah dan tasawuf dari para ulama-ulama besar, wali-wali Allah yang utama, guru-guru yang penguasaan ilmunya tidak diragukan lagi.
Dari guru-guru tersebut ia mendapat ijazah Khas (khusus), dan juga ‘Am (umum) dalam Da’wah dan nasyru syari’ah (menyebarkan syari’ah), thariqah, tashawuf, kitab-kitab hadits, tafsir, sanad, riwayat, dirayat, nahwu, kitab-kitab tauhid, tashwuf, bacaan-bacaan aurad, hizib-hizib, kitab-kitab shalawat, kitab thariqah, sanad-sanadnya, nasab, kitab-kitab kedokteran. Dan ia juga mendapat ijazah untuk membai’at.

Silsilah Thariqah dan Baiat
Al Habib Muhammad Luthfi Bin Ali Yahya mengambil thariqah dan hirqah Muhammadiah dari para tokoh ulama. Dari guru-gurunya ia mendapat ijazah untuk membaiat dan menjadi mursyid. Di antara guru-gurunya itu adalah:
Thariqah Naqsyabandiah Khalidiyah dan Syadziliah al ‘Aliah
Dari Al Hafidz al Muhadits al Mufasir al Musnid al Alim al Alamah Ghauts az Zaman Sayidi Syekh Muhammad Ash’ad Abd Malik bin Qutb al Kabir al Imam al Alamah Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid
·         Sanad Naqsyabandiayah al Khalidiyah
Sayidi Syekh ash’ad Abd Malik dari bapaknya Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid dari Quth al Kabir Sayid Salaman Zuhdi dari Qutb al Arif Sulaiman al Quraimi dari Qutb al Arif Sayid Abdullah Afandi dari Qutb al Ghauts al Jami’ al Mujadid Maulana Muhammad Khalid sampai pada Qutb al Ghauts al Jami’ Sayidi Syah Muhammad Baha’udin an Naqsyabandi al Hasni.
·         Syadziliyah
Dari Sayidi Syekh Muhammad Ash’Ad Abd Malik dari al Alim al al Alamah Ahmad an Nahrawi al Maki dari Mufti Mekah-Madinah al Kabir Sayid Shalih al Hanafi ra.
Thariqah al ‘Alawiya al ‘Idrusyiah al ‘Atha’iyah al Hadadiah dan Yahyawiyah:
·         Dari al Alim al Alamah Qutb al Kabir al Habib ‘Ali bin Husain al ‘Athas.
·         Afrad Zamanihi Akabir Aulia al Alamah al habib Hasan bin Qutb al Ghauts Mufti al kabir al habib al Iamam ‘Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Bâ ‘Alawi.
·         Al Ustadz al kabir al Muhadits al Musnid Sayidi al Al Alamah al Habib Abdullah bin Abd Qadir bin Ahmad Bilfaqih Bâ ‘Alawi.
·         Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Ali bin Sayid Al Qutb Al Al Alamah Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
·         Al Alim al Arif billah al Habib Hasan bin Salim al ‘Athas Singapura.
·         Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar bin Salim Bâ ‘Alawi.
Dari guru-guru tersebut ia mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah dan ijazah untuk baiat, talqin dzikir khas dan ‘Am.
Thariqah Al Qadiriyah an Naqsyabandiyah:
·         Dari Al Alim al Alamah tabahur dalam Ilmu syaria’at, thariqah, hakikat dan tashawuf Sayidi al Imam ‘Ali bin Umar bin Idrus bin Zain bin Qutb al Ghauts al Habib ‘Alawi Bâfaqih Bâ ‘Alawi Negara Bali. Sayid Ali bin Umar dari Al Alim al Alamah Auhad Akabir Ulama Sayidi Syekh Ahmad Khalil bin Abd Lathif Bangkalan. ra.
Dari kedua gurunya itu, al Habib Muhammad Luthfi mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah, talqin dzikir dan ijazah untuk bai’at talqin.
Jami’uthuruq (semua thariqat) dengan sanad dan silsilahnya:
Al Imam al Alim al Alamah al Muhadits al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain Syekh Muhammad al Maliki bin Imam Sayid Mufti al Haramain ‘Alawi bin Abas al Maliki al Hasni al Husaini Mekah.
Darinya, Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah mursyid, hirqah, talqin dzikir, bai’at khas, dan ‘Am, kitab-kitab karangan syekh Maliki, wirid-wirid, hizib-hizib, kitab-kitab hadis dan sanadnya.
Thariqah Tijaniah:
·         Al Alim al Alamah Akabir Aulia al Kiram ra’su al Muhibin Ahli bait Sayidi Sa’id bin Armiya Giren Tegal. Kiyai Sa’id menerima dari dua gurunya; pertama Syekh’Ali bin Abu Bakar Bâsalamah. Syekh Ali bin Abu Bakar Bâsalamah menerima dari Sayid ‘Alawi al Maliki. Kedua Syekh Sa’id menerima langsung dari Sayid ‘Alawi al Maliki.
Dari Syekh Sa’id bin Armiya itu Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah, talqin dzikir, dan menjadi mursyid dan ijazah bai’at untuk khas dan ‘am.

Kegiatan-kegiatan
·         Pengajian Thariqah tiap jum’at Kliwon pagi (Jami'ul Usul thariq al Aulia).
·         Pengajian Ihya Ulumidin tiap Selasa malam.
·         Pengajian Fath Qarib tiap Rabu pagi(husus untuk ibu-ibu)
·         Pengajian Ahad pagi, pengajian thariqah husus ibu-ibu.
·         Pengajian tiap bulan Ramadhan (untuk santri tingkat Aliyah).
·         Da’wah ilallah berupa umum di berbagai daerah di Nusantara.
·         Rangakain Maulid Kanzus (lebih dari 60 tempat) di kota Pekalongan dan daerah sekitarnya. Dan kegiatan lainnya.

Jabatan Organisasi
·         Ra’is ‘Am jam’iyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an Nahdiyah.
·         Ketua Umum MUI Jawa Tengah, dll.

Peranan Habib Muhammad Lutfi bin Yahya dalam Organisasi MATAN
Mahasiswa Ahlith Thoriqoh Al Mu'tabaroh An Nahdliyyah /MATAN adalah organisasi tarekat untuk kalangan mahasiswa yang diprakarsai oleh Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan, Ro'is 'am JATMAN (Jamiyyah Ahlith Thariqah Al Mu'tabarah An Nahdliyyah) yang berafiliasi kepada organisasi Islam Nahdlatul Ulama.

Source:
https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Luthfi_bin_Yahya 
Share:

Konsultasi dengan Gus Abduh

Data Kunjungan